Penjelasan Lengkap Sofyan Basir Terkait Kondisi Keuangan PLN

27 September 2017 19:22 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Dirut PLN Sofyan Basir  (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Dirut PLN Sofyan Basir (Foto: Nicha Muslimawati/kumparan)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Beredar bocoran surat Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati kepada Menteri ESDM Ignasius Jonan dan Menteri BUMN Rini Soemarno. Dalam surat tanggal 19 September 2017 itu, Sri Mulyani menyoroti risiko keuangan yang dihadapi PLN.
ADVERTISEMENT
Sri Mulyani khawatir PLN gagal bayar utang karena pertumbuhan penjualan listrik yang rendah, tarif listrik tidak boleh naik, subsidi listrik turun, sementara PLN harus menggenjot program 35.000 MW yang membutuhkan investasi besar.
Terkait hal ini, Direktur Utama PLN Sofyan Basir menjelaskan, sebenarnya keuangan PLN dalam keadaan sehat. Menurutnya, Sri Mulyani hanya mengingatkan saja agar jangan sampai debt service coverage ratio (DSR ratio) PLN tidak kurang dari 1,5.
DSR ratio adalah perbandingan antara utang pokok plus angsuran bunga yang harus dibayar dengan penerimaan. Sebagai gambaran, misalkan cicilan utang dan bunga yang harus dibayar dalam sebulan Rp 100 miliar, maka pendapatan pada periode yang sama harus 1,5 kali lipatnya alias Rp 150 miliar.
ADVERTISEMENT
"Dari surat yang disampaikan Ibu Sri ke Pak Jonan hanya mengingatkan bahwa PLN harus hati-hati, jangan sampai debt service coverage melampaui batas. Pada suatu saat jangan sampai di bawah 1,5 kali. Itu diingatkan Menkeu," kata Sofyan dalam diskusi di Kementerian ESDM, Jakarta, Rabu (27/9).
Gedung PLN (Foto: wikimapia.org)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung PLN (Foto: wikimapia.org)
Tapi rasio DSR sebesar 1,5 itu sebenarnya tak bisa menjadi tolok ukur keuangan PLN. Hanya Asian Development Bank (ADB) dan World Bank saja yang menjadikan rasio DSR 1,5 sebagai syarat untuk mendapatkan pinjaman.
Nyatanya, keuangan PLN masih kuat walaupun rasio DSR di bawah 1,5. PLN tak pernah gagal membayar utang, ruang untuk mengambil utang juga masih sangat besar.
"Itu ketentuan yang diberikan dari kreditur seperti ADB. Kewajiban kita enggak pernah default, cash kita kuat. Kita punya plafon stand by loan di perbankan Rp 30 triliun, cukup sekali, enggak pernah full dipakai. Kita bisa pinjam sampai Rp 2.000 triliun sekarang ini," paparnya.
ADVERTISEMENT
Ia menyebutkan, sekarang aset PLN Rp 1.300 triliun, equity Rp 900 triliun, total utang Rp 300 triliun, dan cash di tangan Rp 63 triliun, serta stand by loan Rp 30 triliun.
Rasio DSR PLN sekarang antara 1 hingga 1,2. Tapi itu masih aman, artinya pendapatan PLN sama atau 1,2 kali lipat dari cicilan utang plus bunga. "Sekarang DSR ratio posisi 1-1,2. Kalau penerimaan dari subsidi masuk, rasionya naik lagi," ucapnya.
Sofyan mengaku heran dengan kekhawatiran terhadap kondisi keuangan PLN. Sebab, tidak ada kreditur yang mempermasalahkan kondisi keuangan PLN. Pinjaman PLN ke ADB dan World Bank yang mensyaratkan rasio DSR 1,5 hanya kurang dari Rp 10 triliun. Utang PLN tak membahayakan keuangan negara.
ADVERTISEMENT
"Yang pakai syarat DSR hanya ADB dan Bank Dunia. Utang ke mereka rendah. Utang yang banyak ke bank lokal, seratusan triliun rupiah, enggak ada yang pakai syarat semacam ini. Saya juga kaget kok. Enggak ada risiko terhadap keuangan negara. Enggak ada kreditur yang mempersoalkan, rating kita terbaik," tegas Sofyan.
Ia juga mengungkapkan, kebijakan pemerintah yang menahan kenaikan tarif tenaga listrik (TTL) tak membuat keuangan PLN goyang. Penerimaan PLN mencapai Rp 300 triliun per tahun. Pendapatan yang hilang akibat tidak dinaikkannya tarif listrik hanya Rp 10 triliun.
"Potensi penerimaan hilang Rp 9-10 triliun karena TTL tak naik. Kami tidak ada masalah. Malah mau nurunin listrik," ujarnya.
Lalu soal program 35.000 MW, PLN bisa mengelolanya dengan baik untuk menghindari ekses pasokan listrik yang terlalu besar, risiko denda Take or Pay akibat listrik dari produsen listrik swasta tak terserap bisa dihindari. Program 35.000 MW dapat diatur agar sesuai dengan kebutuhan.
ADVERTISEMENT
"Kita bisa mundurkan sesuai dengan pertumbuhan ekonomi. Enggak ada revisi, waktunya saja yang kita mundurin. Ada pembangkit yang selesai 2020, 2021, ini kan pelan-pelan," tutupnya.