Gelombang Citizen Journalism, Profesional atau Asal Tayang?

Dewi Nurngaini
Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
11 Januari 2022 11:58 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dewi Nurngaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
gambar wartawan sumber : Pixabay
zoom-in-whitePerbesar
gambar wartawan sumber : Pixabay
ADVERTISEMENT
Dewasa ini aliran informasi semakin mudah dan beragam. Media sosial salah satunya, dengan adanya internet membawa aspek perubahan besar. Tetapi hal tersebut membawa pengaruh yang besar juga dalam eksistensi media mainstream mengingat kecanggihan teknologi juga mempengaruhi lajunya pemberitaan dan membuka luas kesempatan publik untuk memasuki ranah jurnalistik. Bill Gates dalam ramalannya mengatakan bahwa digitalisasi dalam bidang komunikasi akan mematikan media cetak seperti koran dan tabloid. Dan pada masa sekarang, ramalan pada tahun 1990 tersebut memang terjadi khususnya di Indonesia pada saat ini.
ADVERTISEMENT
Selain adanya digitalisasi, eksistensi dari profesi wartawan profesional baik radio, televisi bahkan koran pun juga terancam dengan hadirnya Citizen Journalism (CJ) atau yang sering disebut Jurnalis Warganegara. Pada awal kemunculannya, CJ dianggap memiliki dampak buruk merusak reputasi wartawan profesional. Tentu saja hal itu memang perlu diperhatikan bahkan menjadi kajian besar mengingat CJ belum atau bahkan tidak memiliki keahlian khusus dalam menulis pemberitaan layaknya wartawan profesional. Selain itu, tidak ada batasan bagi siapa pun yang ingin menyampaikan berita dan menjadi ruang terbuka bagi warga negara mengunggah apa yang dialami dan dilihatnya.
Akan tetapi memang benar adanya, bahwa kebebasan dalam menyampaikan berita ini bisa menimbulkan ketidakpercayaan publik kepada semua media baik profesional maupun amatiran. Di sisi lain, CJ kerap kali disandingkan dengan hoaks dan “black campaign” karena pemberitaan yang berasal dari CJ tidak melalui proses editing dan juga checking tidak seperti wartawan media mainstream yang tentunya harus melalui editing redaksi dan juga verifikasi sebelum berita dimuat. Faktor lain timbulnya hoaks adalah tidak adanya kewajiban klarifikasi sesuai dengan Kode Etik Jurnalistik maupun undang-undang yang berlaku. Ini juga disebabkan hadirnya CJ tanpa dibarengi dengan payung hukum ataupun sejenisnya. Sehingga, berita hoax itu terus bermunculan di masyarakat dan menimbulkan ketidakpercayaan terhadap media.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, lambat laun CJ makin membesar bahkan di berbagai negara maju seperti Amerika Serikat, CJ memiliki porsi khusus. Menariknya, CJ di Amerika Serikat hadir sudah sejak internet itu ada dengan dipelopori oleh wartawan veteran untuk mengeksplorasi massa dan ekosistem media. Dengan begitu, perspektif khalayak mengenai CJ bergeser menjadi lebih baik. Nama-nama khusus mengenai CJ pun bermunculan di berbagai belahan dunia seperti Netizen, Participatory Journalism, bahkan Grassroot Journalism. Tetapi tidak semua negara mampu menerima dengan baik kehadiran CJ, kembali lagi kepada masyarakat yang tentunya juga bergantung kepada tingkat pendidikan.
Di samping itu, peran CJ sebenarnya sangat besar untuk wartawan profesional yaitu memberikan informasi dari wilayah yang bahkan tidak terjangkau dan berperan penting mempercepat laju informasi. Faktanya juga banyak sekali pemberitaan yang berawal dari CJ yang kemudian selang beberapa menit media mainstream mengunggahnya. Adanya persaingan merebut perhatian khalayak di antara banyaknya media membuat peran CJ terlihat nyata kepada media pers untuk menyajikan kecepatan memberitakan berita. Seperti halnya bencana-bencana yang ada di Indonesia, CJ lebih dahulu memberikan informasi keadaan terkini dan ramai-ramai mengunggah postingan di Twitter bahkan sebelum adanya info resmi dari BMKG
ADVERTISEMENT
Tetapi membandingkan Amerika Serikat dengan Indonesia itu bukan perkara yang gampang, masyarakat Indonesia jauh dibandingkan dengan warga Amerika Serikat yang sudah sejak lama mengalami beredarnya hoaks dan juga simpang siur berita. Namun, keadaan itu membuat warga Amerika Serikat memilih untuk kembali kepada media mainstream terutama media cetak. Berbeda halnya dengan masyarakat Indonesia yang terkadang tidak mengetahui mana fakta dan mana hoaks bahkan enggan untuk melakukan verifikasi berita yang didapatkan. Sehingga dalam hal ini, konsumen berita juga ikut andil dalam laju berita hoaks dengan melalui broadcast maupun unggahan sosial media.