Macan Asia Hilang Taring, Negara Agraris Impor Beras

Dewi Nurngaini
Mahasiswi Prodi Hubungan Internasional Universitas Islam Indonesia
Konten dari Pengguna
12 Desember 2021 10:25 WIB
·
waktu baca 3 menit
comment
7
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dewi Nurngaini tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Gambar pribadi (petani mentraktor sawah)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar pribadi (petani mentraktor sawah)
Gambar pribadi (gubug ditengah sawah)
zoom-in-whitePerbesar
Gambar pribadi (gubug ditengah sawah)
ADVERTISEMENT
Lagi-lagi Indonesia melakukan impor beras hingga 41.800 ton senilai US$18,5 juta ton pada Juli 2021, data ini merujuk pada Badan Pusat Statistik. Di negara agraris ini, memang ironi apabila kebutuhan pokok seperti beras harus didatangkan dari negara lain. Sebenarnya apa yang terjadi dengan pertanian di Indonesia? Sebagai negara yang tergabung pada ASEAN, bahkan pelopor berdirinya ASEAN, tentu Indonesia menjadi sorotan internasional bahkan dalam pemenuhan sektor pangan di kancah regional
ADVERTISEMENT
Lebih lagi eksistensi ASEAN di mata global bukan lagi dipandang sebelah mata. Tentunya geografis Indonesia sangat menonjol sebagai negara terluas di kawasan Asia Tenggara dengan sumber daya alamnya yang kaya dan julukannya tersohor sebagai negeri agraris. Namun pada kenyataannya Indonesia masih kalah saing di kancah ASEAN dengan produksi beras Thailand yang menduduki posisi pertama dalam lumbung padi ASEAN disusul Vietnam. Myanmar bahkan Laos berada pada urutan ke-4 sedangkan Indonesia menjadi nomor 6, berdasarkan data yang diambil pada tahun 2020.
Disisi lain, pada era Soeharto, Indonesia pernah mengalami kejayaan pada bidang pertanian. Hingga yang santer terdengar adalah “The Tiger of Asia” atau Macan Asia, julukan kepada Indonesia. Hal tersebut dikarenakan Indonesia mampu mengekspor beras hingga 2 juta ton tiap tahunnya, bahkan membantu memberikan bantuan kemanusiaan kepada banyak negara di belahan dunia. Tak sampai di situ saja, Direktur Jenderal FAO Edouard Saouma, memberikan penghargaan atas keberhasilan Indonesia dalam sektor pertanian.
ADVERTISEMENT
Pada era tersebut, kemakmuran dalam bidang pertanian sangat dirasakan, dibuktikan dengan ciri khas Soeharto kala itu sering kali bergaya mengangkat padi sebagai simbol kemakmuran. Faktanya, era kala itu adalah era pembangunan, lalu ada apa dengan era pembangunan Jokowi?
Jika bicara masalah faktor yang mempengaruhi rendahnya produksi beras di Indonesia, tentunya sangat beragam. Salah satunya adalah metode yang masih konvensional. Kurangnya kemajuan teknologi sektor pertanian tentunya sangat menghambat produksi beras di Indonesia. Petani masih sangat awam dengan adanya teknologi misalnya, saja proses panen masih menggunakan alat serut padi yang sederhana. Faktanya, hama padi belakangan ini semakin beragam seperti misalnya burung dan wereng. Yang justru ini menjadi tantangan baru dalam mempertahankan produksi padi dalam negeri.
ADVERTISEMENT
Selain itu, perubahan iklim dan kerusakan alam yang belakangan terjadi membuat sawah mengering di musim kemarau dan kelebihan air di musim penghujan. Jika dibandingkan dengan Vietnam, Indonesia tertinggal beberapa langkah dalam bidang pertanian, meskipun sebenarnya penggunaan teknologi sepadan di antara keduanya.
Tak bisa dipungkiri, Thailand dan Myanmar memang memiliki persawahan yang lebih luas dibandingkan Indonesia. Namun, miris jika melihat kondisi saat ini, di mana Indonesia mengalami alih fungsi lahan pertanian digantikan dengan industri yang digarap besar-besaran pada era Jokowi menyebabkan Indonesia mengalami penyusutan lahan pertanian.
Luas panen padi tahun 2020 hanya mencapai 10,66 juta hektar, sedangkan tahun 2019 sejumlah 10,68 juta hektar atau 20,61 ribu hektar yang berarti luas panen padi mengalami penyusutan 0,19 persen menurut data statistik pusat. Meskipun produktivitas lahan mengalami kenaikan pada tahun 2020, namun hasil tersebut tidak mencukupi kebutuhan dalam negeri sehingga mengharuskan Indonesia melakukan impor beras.
ADVERTISEMENT
Meskipun begitu, Indonesia tetap berkontribusi di kancah ASEAN dengan menjadi Lumbung ASEAN di urutan ke-6. Meninjau ke belakang pada tahun 2013, Indonesia sempat menanamkan investasi kepada pertanian Myanmar dengan tujuan untuk meningkatkan ekonomi ASEAN. Indonesia tidak merasa tersaingi dengan eksistensi Myanmar dan negara ASEAN lainnya di bidang pertanian karena masing-masing negara di ASEAN memiliki potensi yang harus dikembangkan dan didukung.
Di sisi lain, produksi kebutuhan pokok seperti komoditas beras harus ditingkatkan dan lebih diperhatikan khususnya oleh pemerintah. Sehingga eksistensi Indonesia dalam kontribusi pengadaan komoditas beras di kancah ASEAN tidak dianggap remeh. Apabila langkah tersebut tidak segera diambil, tentunya gelarnya sebagai lumbung ASEAN akan semakin merosot bahkan hilang karena Indonesia berperilaku konsumtif dengan cara melakukan impor beras.
ADVERTISEMENT