Pemberontakan Komunis Filipina Menentang Diktator Marcos dan Rodrigo Duterte

Nazar EL Mahfudzi
Direktur Pusat Studi Demokrasi dan Pancasila
Konten dari Pengguna
9 Maret 2021 7:01 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Nazar EL Mahfudzi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Militer Filipina. Foto: Reuters/Erik De Castro
zoom-in-whitePerbesar
Militer Filipina. Foto: Reuters/Erik De Castro
ADVERTISEMENT
Oleh : Nazar EL Mahfudzi, SIP, MHI*
Presiden Ferdinand Marcos pada awal tahun 1970-an hingga memasuki tahun 1980-an, mendirikan rezim otoriter dengan menggunakan hukum darurat militer sebagai alat untuk menekan oposisi. Menekan aktivitas mahasiswa hingga mendorong banyak orang untuk bergabung dengan Partai Komunis bawah tanah. Pemimpin mahasiswa dibunuh, dipenjara, dan disiksa, sementara yang apolitis bermigrasi ke Amerika Serikat.
ADVERTISEMENT
Secara umum, rezim Marcos mempunyai doktrin Masyarakat Baru:
Kekuasaan Marcos selama 21 tahun, terhitung sejak 30 Desember 1965 hingga 25 Februari 1986. Panjangnya kekuasaan Marcos setelah dua periode pada tahun 1973, melanjutkan kembali 14 tahun menggunakan darurat militer meningkatnya pembangkangan sipil dengan represi yang makin keras kepada berbagai elemen oposisi juga memegang penuh kontrol militer. Hak mengungkapkan pendapat dan kebebasan pers dikekang. Kongres Filipina dibubarkan serta berbagai media ditutup izin beroperasinya. Terdapat tiga faktor mengakhiri kekuasaan Ferdinand Emmanuel Edralin Marcos: Pertama, kediktatoran. Kedua, korupsi dan Ketiga, pelanggaran HAM. (25/02/2018. Tirto.id) . Pemberontak komunis merencanakan kudeta yang secara tidak langsung memicu pemberontakan rakyat yang akhirnya menggulingkan rezim Marcos.
ADVERTISEMENT
Mahasiswa dan Pemberontak Komunis
Gejolak sosial di Filipina yang dilupakan dan diputarbalikkan kembali untuk memenuhi kebutuhan Presiden Rodrigo Duterte. Menteri Pertahanan Delfin Lorenzana secara sepihak melanggar perjanjian puluhan tahun yang melarang militer dan polisi memasuki kampus Universitas Filipina sebagai pusat aktivisme politik. Berbagai Poster-poster yang muncul di kampus terasa menyeramkan. Pemerintah memberikan peringatan bahwa Universitas Filipina telah menjadi tempat berkembang biaknya simpatisan komunis dan mahasiswa serta profesor harus meningkatkan kewaspadaan terhadap pemberontak antipemerintah. Beberapa mahasiswa bahkan dicurigai sebagai pelaku yang diperingatkan dalam poster tersebut. (18/02/21 Merdeka.com )
Lorenzana membela tindakannya sebagai bagian dari mandat militer untuk melindungi pemuda dari pengaruh apa yang pemerintah Duterte tandai sebagai organisasi teroris. Meskipun Lorenzana berjanji bahwa militer akan menghormati kebebasan akademik universitas yang didambakan, tidak ada yang mempercayainya. Surat itu dipandang hanya sebagai satu bagian lagi dari kampanye pemberian tanda merah yang sedang berlangsung oleh pemerintah untuk menghancurkan pemberontakan politik. Sementara penolakan menyebar ke seluruh internet dengan apa yang terjadi di bawah Marcos.
ADVERTISEMENT
Perjuangan Pemerintah Filipina dan Pemberontak Komunis
Angkatan Bersenjata Filipina memiliki sosok populis Presiden Duterte seorang panglima tertinggi mengagumi otoriterisme Marcos dan juga berpikir bahwa gaya kepemimpinan dapat membantunya menyelesaikan sesuatu tanpa beban debat publik atau oposisi politik.
Pihak pemberontak Komunis yang mempunyai paham Moeis tidak menerima Duterte karena dianggap tidak menerima pikiran orang lain "distrust of other reasons", penyanggahan terhadap persamaan manusia "denial of human equality", dan interpretasi secara sistem ekonomi terhadap sejarah "economic interpretation of history". (Nur Sayyid Santoso Kristeva. Sejarah Ideologi Dunia. Lentera Kreasindo. 2015). Pola konflik terus berlanjut selama setahun terakhir 2021. Pembicaraan antara pemerintah Duterte dan Partai Komunis Filipina (CPP) bersama dengan sayap bersenjatanya, Tentara Rakyat Baru (NPA), tidak menghasilkan kemajuan berkelanjutan apa pun di luar siklus awal dan akhir.
ADVERTISEMENT
Pelanggaran yang dirasakan oleh kedua belah pihak pada akhirnya mengarah hingga gangguan dalam pembicaraan di tengah siklus bolak-balik antara negosiasi dan kekerasan.Namun perkembangan tersebut juga mencerminkan tantangan yang lebih luas yang melekat dalam mencapai perdamaian. Terlepas dari kemauan politik di antara beberapa segmen di pemerintah dan pihak komunis, ada perpecahan di kedua kubu. Pihak pemberontak komunis tidak nyaman dengan aspek-aspek tertentu dari kesepakatan dengan pemerintah Duterte dan pasukan keamanan Filipina.
Sementara itu, Presiden Filipina, Rodrigo Duterte juga memerintahkan pasukan militer dan polisi untuk ‘membantai’ kaum komunis di negara tersebut. Dia menginstruksikan pasukan bersenjata Filipina untuk ‘menghabisi’ dan ‘membunuh’ seluruh pemberontak komunis. Perintah pembantaian komunis tersebut disampaikan Rodrigo Duterte dalam pertemuan Pemerintah terkait penentangan komunisme, sebagai dalih akan adanya gelombang baru pertumpahan darah, yang sebelumnya terjadi saat pemberantasan narkoba. (06/03/2021. Pikiran-Rakyat.com)
ADVERTISEMENT
*Pengamat Sosial-Politik Ilmu Hubungan Internasional