Bersiap Bila Pilkada 2022

Dhany Wahab
Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi (LKKSD)
Konten dari Pengguna
15 Januari 2021 22:56 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhany Wahab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simulasi pelaksanaan pilkada di masa pandemi (Foto: Bawaslu RI)
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi pelaksanaan pilkada di masa pandemi (Foto: Bawaslu RI)
ADVERTISEMENT
Sejarah mencatat keberhasilan Indonesia mengadakan pemilihan kepala daerah (pilkada) serentak 2020 yang digelar di tengah pandemi COVID-19. Sebanyak 270 daerah sukses melangsungkan hajatan demokrasi elektoral dengan menerapkan protokol kesehatan yang ketat tanpa ada gejolak yang berarti.
ADVERTISEMENT
Keberhasilan tersebut tidak lepas dari peran penyelenggara, peserta dan pemilih dalam menjalankan aturan yang baru pertama kali diterapkan. Proses pemutakhiran data pemilih, tahapan pencalonan, tata cara kampanye hingga pemungutan suara harus disesuaikan dengan protokol pencegahan penyebaran virus Corona.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah mengatur 15 hal baru pada Pilkada 2020 yang berbeda dibanding Pilkada sebelumnya. Tujuannya agar proses pencoblosan di tempat pemungutan suara (TPS) tidak menjadi cluster baru penyebaran COVID-19. Kebiasaan baru di TPS menjadi indikator perencanaan yang matang dalam persiapan pilkada di masa ‘new normal’.
Jumlah pemilih per-TPS maksimal 500, kehadiran pemilih ke TPS diatur merata, petugas KPPS dilakukan rapid tes atau tes swab sebelum bertugas, sehingga diyakini sehat (tidak menularkan virus). Petugas KPPS mengenakan masker dan sarung tangan karet selama bertugas. Setiap pemilih disediakan sarung tangan plastik (sekali pakai).
ADVERTISEMENT
Petugas KPPS mengenakan face shield (pelindung wajah) selama bertugas. Saat pemilih (antre) di luar maupun di dalam TPS diatur jaraknya. Wajib disediakan perlengkapan cuci tangan dan tisu kering bagi pemilih yang telah selesai mencuci tangan.
Setiap pemilih membawa alat tulis sendiri dari rumah, untuk mengisi daftar hadir. Dilarang bersalaman antara petugas KPPS dengan pemilih, atau sesama pemilih. Setiap pemilih yang akan masuk ke TPS dicek suhu tubuhnya.
Pemilih bersuhu tubuh di atas standar mencoblos di bilik suara khusus yang lokasinya terpisah, namun masih di lingkungan TPS. Dilakukan penyemprotan disinfektan di lingkungan TPS, baik sebelum, di tengah, maupun pasca-pencoblosan. Pemilih yang telah selesai mencoblos tidak lagi mencelup jari ke tinta namun tinta akan diteteskan petugas ke jari pemilih.
ADVERTISEMENT
Hal-hal baru tersebut menjadi contoh pembelajaran bagi masyarakat di daerah lain yang akan mengadakan pilkada gelombang berikutnya. Jika merujuk pada UU Nomor 10 Tahun 2016 pasal 201 ayat (8) berbunyi; Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Seandainya Pilkada berlangsung pada tahun 2024 mungkin kita tidak perlu khawatir karena pandemi COVID-19 diperkirakan sudah berlalu. Namun, jika Pilkada gelombang berikutnya diselenggarakan pada tahun depan, maka kita perlu mempersiapkan sedari tahun ini.
Ilustrasi pilkada Foto: Embong Salampessy/Antara
Wacana normalisasi pelaksanaan pilkada menguat seiring pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang sedang dibahas oleh DPR. Merujuk RUU Pemilu draft pemutakhiran 26 November 2020 pasal 731 ayat (2) berbunyi: Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2017 dilaksanakan pada tahun 2022.
ADVERTISEMENT
Sedangkan ayat (3) menyebutkan; Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah secara serentak untuk memilih Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Walikota dan Wakil Walikota hasil Pemilihan Kepala Daerah dan Wakil Kepala Daerah tahun 2018 dilaksanakan pada tahun 2023.
Wacana pengunduran pilkada serentak dari tahun 2024 ke tahun 2027 yang sedang digodok pemerintah dan DPR bermula dari niat melakukan normalisasi siklus pilkada tanpa menghilangkan pilkada di tahun 2022 dan 2023.
Wacana ini yang sedang dibahas secara mendalam dalam revisi undang-undang pemilu. Nantinya UU Pemilu akan mencakup aturan di Undang-undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pilkada dan Undang-undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu.
Sejumlah kalangan menilai pilkada serentak nasional pada November 2024 atau setelah pemilu nasional dianggap terlalu berisiko. Risiko itu baik dari sisi beban penyelenggaraan, kualitas pemilihan, maupun penetrasi politik gagasan dan program. Sehingga normalisasi jadwal adalah pilihan yang bijaksana.
ADVERTISEMENT
Pembina Perludem, Titi Anggraini menyebutkan ancaman elektoral cukup besar kalau pemungutan suara pilkada serentak nasional tetap dilaksanakan pada November 2024, pada tahun yang sama dengan pemilu legislatif dan pemilu presiden.
Pertama, beban teknis berlebih membuat penyelenggaraan pemilu potensial tidak terkelola dengan baik. Pelaksanaan tahapan akan beririsan satu sama lain. Sebab menuju pemungutan suara harus ada sejumlah tahapan persiapan yang dilakukan, dari pemutakhiran data pemilih, pencalonan, kampanye, dan distribusi logistik pemilihan. Tentu hal itu akan membuat beban petugas semakin berlipat ganda. Fenomena kelelahan petugas seperti Pemilu 2019 akan kembali terulang.
Kedua, politik gagasan bisa semakin menjauh dari diskursus pemilih karena terlalu banyak calon dan isu yang tersebar dari tiga jenis pemilihan yang berbarengan. Hal ini bisa menimbulkan ekses digunakannya cara-cara ilegal dalam berkampanye sebagai jalan pintas untuk menang. Misalnya politik uang, hegemoni identitas, dan hoaks.
ADVERTISEMENT
Ketiga, adanya Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang mengubah pendiriannya soal konstitusionalitas pemilu serentak 5 kotak sebagai satu-satunya pilihan yang konstitusional, sebagaimana termuat dalam Putusan MK Nomor 14/PUU-XI/2013 (23 Januari 2014), sesungguhnya merupakan refleksi atas kompleksitas Pemilu 2019. Semestinya tidak kita tambah dengan kerumitan baru lagi. (https://rumahpemilu.org/normalisasi-jadwal-pilkada-oleh-titi-anggraini/)
Berdasar sejumlah alasan tersebut hendaknya DPR dapat memastikan pembahasan RUU Pemilu diselesaikan tepat waktu. Sebelumnya Ketua Komisi II DPR, Ahmad Doli Kurnia menargetkan RUU Pemilu bisa selesai paling cepat pada pertengahan tahun ini sehingga bisa diimplementasikan pada gelaran Pilkada tahun 2022.
Sejumlah provinsi yang masa jabatan gubernurnya berakhir pada 2022 meliputi Aceh, Bangka Belitung, DKI Jakarta, Banten, Gorontalo, Sulawesi Barat, dan Papua Barat. Sedangkan pada 2023 ada 17 provinsi yang gubernurnya akan berakhir masa jabatan antara lain Sumatera Utara, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Kalimantan Timur, Sulawesi Selatan, Bali, Maluku, serta Papua.
ADVERTISEMENT
Sedangkan di Provinsi Jawa Barat ada 3 Kabupaten/Kota yaitu; Kabupaten Bekasi, Kota Cimahi dan Kota Tasikmalaya masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada 2022. Sementara 16 Kabupaten/Kota masa jabatan kepala daerahnya berakhir pada tahun 2023. Semua pihak harus memahami dan mematuhi regulasi pilkada di masa pandemi COVID-19.
Sejauh ini belum ada yang mampu memprediksi kapan pandemi berakhir. Analisis yang dilakukan oleh Citi Research mengungkap herd immunity kemungkinan belum terbentuk sampai akhir 2021. Kekebalan kelompok terjadi ketika cukup banyak orang dalam satu populasi mengembangkan perlindungan terhadap penyakit dan cara terbaik mendapatkannya adalah dengan vaksinasi.
Pemerintah Indonesia sudah mengeluarkan road map program vaksinasi corona atau COVID-19. Priortitas utama dan pertama akan diberikan kepada 1,3 juta tenaga kesehatan (nakes). Pemerintah bakal melakukan vaksinasi COVID-19 kepada 180 juta lebih rakyat Indonesia. Gelombang pertama dimulai sejak 13 Januari 2021 sampai April 2021. Sedangkan vaksinasi gelombang kedua dijadwalkan dari April 2021 sampai Maret 2022.
ADVERTISEMENT
Kita berharap vaksinasi corona berjalan lancar agar pandemi segera berakhir, sehingga jika tahun depan berlangsung pilkada, kita dapat melaksanakannya dengan lebih baik. Namun, bila ternyata COVID-19 masih melanda kita tetap optimis mampu menggelar pilkada dengan aman dan sehat seperti sebelumnya. Optimisme adalah kepercayaan yang mengarah pada pencapaian. Tidak ada yang bisa dilakukan tanpa harapan dan keyakinan (Hellen Keller).**