news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Pro Kontra RUU Pemilu

Dhany Wahab
Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi (LKKSD)
Konten dari Pengguna
28 Januari 2021 12:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhany Wahab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Pro Kontra RUU Pemilu
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Pemerintah dan Dewan Perwakilan Rakyat menyepakati 33 Rancangan Undang-undang masuk dalam Program Legislasi Nasional (Prolegnas) prioritas tahun 2021. Kesepakatan ini diambil dalam Rapat Kerja Menteri Hukum dan HAM, Badan Legislasi DPR, dan Dewan Perwakilan Daerah terkait pengambilan keputusan RUU Prolegnas prioritas 2021.
ADVERTISEMENT
Satu di antara RUU yang menjadi prioritas adalah Rancangan Undang-Undang tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang diusulkan oleh DPR. Namun, dinamika yang berkembang saat ini sejumlah petinggi partai politik menyuarakan penolakan terhadap RUU tersebut.
Sejumlah alasan dikemukakan di antaranya revisi UU Pemilu tidak mudah, lantaran banyak kepentingan yang harus diakomodir seperti kepentingan partai politik, pemerintah pusat dan daerah, penyelenggara pemilu dan masyarakat.
Selain itu demokrasi prosedural menjadi kurang baik akibat bongkar pasang melalui UU Pemilu. Perubahan UU Pemilu dalam waktu relatif cepat membuat tidak ada waktu untuk mematangkan demokrasi.
Sebaliknya bagi yang mendukung berpendapat semangat pembentukan RUU Pemilu adalah untuk jangka panjang. RUU Pemilu ini justru agar menghentikan kebiasaan revisi UU Pemilu setiap menjelang Pemilu. Urgensi pembentukan RUU Pemilu ini akan menguji efektivitas sistem Pemilu yang ada sekarang ini, dalam kerangka demokrasi, sirkulasi elite, dan kualitas demokrasi.
ADVERTISEMENT
Alasan lain perlunya RUU Pemilu ini adalah menghindari tumpang tindih antara UU Pemilu dengan UU Pilkada. Dua undang-undang itu akan disatukan dalam satu aturan utuh RUU Pemilu. Kodifikasi UU Pemilu dan UU Pilkada dalam peraturan yang terintegrasi untuk mengatur pemilu dari hulu sampai hilir secara komprehensif.
Pro kontra tentang pembahasan RUU Pemilu yang disuarakan oleh partai politik tentu beralasan karena sesuai kepentingan subjektif masing-masing parpol. Sedangkan pertimbangan objektif diperlukan untuk menghasilkan sistem pemilu yang demokratis dan inklusif bagi kepentingan bangsa dalam jangka panjang.
Secara substansi ada beberapa isu dalam draf RUU Pemilu (26 Novembder 2020) yang perlu kita cermati dan komparasikan dengan realitas sekarang ini, di antaranya;
Pertama, Normalisasi pelaksanaan pemilihan kepala daerah (pilkada). Dalam RUU Pemilu terdapat norma pemilihan kepala daerah yang selanjutnya disebut Pemilu Daerah pertama diselenggarakan pada tahun 2027, dan untuk selanjutnya diselenggarakan setiap lima tahun sekali (Pasal 734 ayat 1). Sedangkan pemilihan kepala daerah serentak masih akan dilaksanakan pada tahun 2022 dan 2023 (Pasal 731).
ADVERTISEMENT
Sementara UU Nomor 10 Tahun 2016 secara eksplisit menyebut waktu pelaksanaan pilkada serentak. Pasal 201 ayat (8) berbunyi; Pemungutan suara serentak nasional dalam Pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali kota dan Wakil Wali kota di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia dilaksanakan pada bulan November 2024.
Pilkada memiliki urgensi untuk tetap diselenggarakan pada 2022 dan 2023 sesuai siklus pemilihan bagi kepala daerah yang akhir masa jabatannya pada 2017 dan 2018. Jika pilkada diserentakan secara nasional pada tahun 2024 maka terdapat 271 daerah yang dipimpin oleh penjabat kepala daerah. Selain itu 270 kepala daerah terpilih dalam pilkada serentak 2020 mungkin hanya akan menjabat selama 3 (tiga) tahun hingga 2024.
ADVERTISEMENT
Pelaksanaan pilkada serentak tahun 2024 yang berbarengan dengan pemilu akan berpotensi membebani anggaran negara. Secara teknis penyelenggaraan pilkada yang tahapannya beririsan dengan pelaksanaan pemilu juga dapat menimbulkan ancaman elektoral. Sehingga, pelaksanaan pilkada sesuai dengan akhir masa jabatan kepala daerah dipandang sebagai pilihan yang rasional sebelum diselenggarakan pemilu daerah pada tahun 2027.
Kedua, Anggota Partai Politik Menjadi Penyelenggara Pemilu. Dalam draf RUU Pemilu yang Pasal 16 ayat 7 berbunyi: Komposisi keanggotaan KPU, KPU Provinsi, dan KPU Kabupaten/Kota memperhatikan keterwakilan Partai Politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.
Norma itu menyebut bahwa komposisi anggota KPU, KPU provinsi, hingga kabupaten/kota memperhatikan keterwakilan partai politik. Hal ini bertentangan dengan syarat menjadi anggota KPU seperti terdapat dalam pasal 27 ayat (1) huruf (i) yang berbunyi; mengundurkan diri dari keanggotaan partai politik sekurang-kurangnya 5 (lima) tahun pada saat mendaftar sebagai calon;
ADVERTISEMENT
Aturan soal keanggotaan KPU dari parpol ini bertentangan dengan Putusan Mahkamah Konstitusi No 81/PUU-IX/2011. Putusan ini menutup kesempatan anggota parpol untuk menjadi calon anggota KPU atau anggota Bawaslu. Jika hendak menjadi penyelenggara pemilu, mereka diharuskan mundur dari parpol sekurang-kurangnya lima tahun saat pendaftaran.
Sekadar contoh, pada pemilu tahun 1999 anggota KPU terdiri dari perwakilan partai politik dan perwakilan pemerintah. KPU tidak bisa menetapkan hasil pemilu karena ditolak oleh partai yang kalah sehingga mengakibatkan ketidakpastian politik. Selain itu sudah sepatutnya lembaga penyelenggara pemilu harus independen dari kepentingan partai politik.
Ketiga, Sistem pemilu proporsional terbuka. Dalam draf RUU Pemilu pasal 206 ayat (1) berbunyi: Pemilu untuk memilih Anggota DPR dilaksanakan dengan sistem proporsional terbuka. (2) Sistim proporsional sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan sistem yang menggunakan daftar nomor urut calon berdasarkan penetapan partai politik yang dihitung berdasarkan perolehan suara terbanyak.
ADVERTISEMENT
Sistem proporsional terbuka seperti yang diterapkan pada Pemilu 2019 dinilai menimbulkan praktik politik biaya tinggi. Pemilu menjelma seperti ‘pasar bebas’ yang menimbulkan persaingan tidak hanya antar parpol tapi juga memicu konflik antar caleg dalam satu parpol.
Praktik pemilu dengan sistem proporsional terbuka mengakibatkan biaya logistik pencetakan surat suara dan formulir menjadi lebih mahal. Ukuran surat suara yang relatif lebih lebar dan besar menyulitkan bagi para pemilih saat mencoblos di bilik suara.
Untuk mendukung sistem kepartaian yang kokoh dan profesional semestinya sistem proporsional tertutup menjadi pilihan seperti yang diterapkan pada masa lalu. Partai politik memiliki kewajiban untuk melakukan kaderisasi dengan menempatkan calon anggota legislatif yang kompeten dan berkualitas berada di nomor urut teratas. Sistem ini juga yang membedakan pemilihan anggota DPR/DPRD dengan anggota DPD RI.
ADVERTISEMENT
Keempat, pemberlakuan ambang batas perolehan suara (parliamentary threshold). Dalam RUU Pemilu pemberlakukan ambang batas diterapkan tidak hanya di DPR RI saja namun juga berlaku ditingkat DPRD Provinsi dan Kabupaten/Kota.
Pasal 217 berbunyi: Partai Politik Peserta Pemilu Anggota DPR harus memenuhi ambang batas perolehan suara paling sedikit 5% (lima persen) dari jumlah suara sah secara nasional pada Pemilu Anggota DPR untuk diikutkan dalam penentuan perolehan kursi anggota DPR.
Penerapan ambang batas DPR naik menjadi 5 persen dinilai akan menyebabkan semakin banyak suara sah yang terbuang. Bahkan diberlakukan ketentuan ambang batas di tingkat DPRD Provinsi sebesar 4 persen (pasal 238) dan DPRD Kabupaten/Kota sebesar 3 persen (pasal 251) akan berdampak pada eksistensi partai politik baru/kecil yang semakin sulit menempatkan anggotanya di parlemen.
ADVERTISEMENT
Selayaknya praktik demokrasi tetap memberikan ruang yang memadai bagi partai politik dan rakyat yang telah menggunakan hak suaranya. Upaya penyederhanaan partai politik mesti ditempuh dengan cara yang lebih bijak dan adil dengan pembatasan alokasi jumlah kursi di setiap dapil yang lebih proporsional.
Kelima, penerapan ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold). Tidak berbeda dengan pilpres pada tahun 2019 dalam draf RUU Pemilu terkait norma pencalonan presiden dan wakil presiden disyaratkan memiliki dukungan minimal 20 persen dari jumlah kursi DPR.
Pasal 187 ayat (1) berbunyi: Pasangan Calon Presiden dan Wakil Presiden sebagaimana dimaksud dalam Pasal 187, diusulkan oleh Partai Politik atau Gabungan Partai Politik Peserta Pemilu yang memenuhi persyaratan perolehan kursi paling sedikit 20% (dua puluh persen) dari jumlah kursi DPR atau memperoleh 25% (dua lima persen) dari suara sah secara nasional pada Pemilu anggota DPR sebelumnya.
ADVERTISEMENT
Pemilihan Presiden tahun 2014 dan 2019 memberi pengalaman yang memprihatinkan bagi kita. Pilpres yang hanya diikuti oleh dua pasangan calon menyebabkan pembelahan masyarakat dalam dua poros besar yang saling berhadapan. Dampak sosialnya masih terasa hingga saat ini, meski kedua calon presiden dan wakil presiden sudah menyatu dalam pemerintahan.
Pemilu presiden akan lebih adil dan kompetitif jika setiap partai politik yang mempunyai kursi di DPR dapat mengajukan calon presiden dan wakil presiden. Kita mendorong setiap parpol mengadakan konvensi untuk menjaring bakal kandidat yang akan diusung dalam pilpres. Tentu partai politik juga akan berpikir secara rasional untuk mengusung paslon sendiri atau membangun koalisi dengan parpol lainnya.
Di dunia ini ada banyak sistem dan aturan pemilu yang bisa dipilih untuk disepakati, namun tidak ada satu pun sistem dan aturan yang sempurna. Bangsa Indonesia sudah mempunyai pengalaman menyelenggarakan pemilu sejak tahun 1955 dengan berbagai kelebihan dan kekurangannya. Kita mendambakan terwujudnya praktik demokrasi substansial bukan sekadar demokrasi prosedural.
ADVERTISEMENT
Pemilu sebagai sarana kedaulatan rakyat seharusnya mampu memberi manfaat yang komprehensif bagi masyarakat. Pemilu yang menghasilkan eksekutif dan legislatif yang berwatak negarawan. Mengedepankan partisipasi daripada mobilisasi. Menjunjung tinggi toleransi dalam menghadapi perbedaan. Mendahulukan kewajiban untuk mensejahterakan rakyat ketimbang meminta hak dan fasilitas sebagai pejabat negara. Semoga.**