Urgensi Pendidikan Pemilih Jelang Pemilu 2024

Dhany Wahab
Lembaga Kajian Komunikasi Sosial dan Demokrasi (LKKSD)
Konten dari Pengguna
26 Oktober 2023 9:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dhany Wahab tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Simulasi pemungutan dan penghitungan suara untuk Pemilu 2024
zoom-in-whitePerbesar
Simulasi pemungutan dan penghitungan suara untuk Pemilu 2024
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pemilu Serentak akan digelar pada 14 Februari 2024 untuk memilih Presiden dan Wakil Presiden, anggota DPR, anggota DPD, anggota DPRD Provinsi dan anggota DPRD Kabupaten/Kota. Momentum ini harus digunakan sebagai sarana untuk melakukan pendidikan pemilih ditengah masyarakat.
ADVERTISEMENT
Komisi Pemilihan Umum (KPU) telah menerima pendaftaran tiga pasang bakal calon Presiden/Wakil Presiden pada 19-25 Oktober 2023. Mereka adalah paslon Anies Baswedan-Muhaimin Iskandar, Ganjar Pranowo-Mahfud MD dan Prabowo Subianto-Gibran Rakabuming Raka.
Munculnya tiga paslon capres/cawapres diharapkan dapat meminimalisir potensi polarisasi ditengah masyarakat. Sebelumnya pada pilpres tahun 2014 dan 2019 yang hanya diikuti dua paslon capres/cawapares menyisakan residu segegrasi atau keterbelahan masyarakat dalam dua kutub yang memprihatinkan.
Sejumlah tantangan yang muncul setiap menjelang Pemilu dan Pilkada perlu diantisipasi. Berdasar pada pengalaman pemilu 2019, kita dihadapkan pada tingginya suara tidak sah (invalid vote), maraknya hoaks, disinformasi, ujaran kebencian, polarisasi serta praktik politik uang (money politic).
Kondisi tersebut harus kita antisipasi agar tidak terulang kembali pada pemilu mendatang. Salah satu caranya dengan melakukan sosialisasi dan pendidikan pemilih berkelanjutan yang bertujuan untuk meningkatkan kualitas pemilu dan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Perludem mencatat hasil pemilu di dunia dengan rata-rata global, maka besaran suara tidak sah masih dianggap wajar pada kisaran 3 sampai 4 persen. Sementara pada Pemilu 2019 lalu, terdapat 11,12 persen atau sekitar 17 juta suara tidak sah. Sistem pemilu Indonesia yang kompleks dinilai menyulitkan masyarakat dalam menyalurkan aspirasinya.
Sistem proporsional terbuka untuk pemilu DPR, DPRD Provinsi, DPRD Kabupaten/Kota ditambah DPD, Presiden/Wakil Presiden dalam satu hari yang sama. Pemilih mendapatkan lima jenis surat suara yang berukuran cukup besar sehingga tidak mudah untuk mencoblos dengan benar.
Persoalan yang juga perlu dicegah adalah penyebaran kabar bohong (hoaks) dan disinformasi yang marak melalui media sosial. Pemilih memerlukan informasi yang benar serta relevan tentang rekam jejak para kandidat dan program yang ditawarkan. Karena itu semua pihak perlu bahu-membahu memerangi informasi yang sesat dan menyesatkan tersebut.
ADVERTISEMENT
Dampak yang paling membahayakan dari maraknya hoaks dan ujaran kebencian adalah terjadinya polarisasi (pembelahan sosial) ditengah masyarakat serta mengancam persatuan dan kesatuan bangsa. Sedangkan disinformasi jika tidak ditanggulangi dapat mempengaruhi kepercayaan publik terhadap penyelenggara dan pelaksanaan pemilu.
Politik uang harus dilawan, sebab jika dibiarkan akan mengancam masa depan demokrasi di tanah air. Jumlah pemilih yang terlibat politik uang dalam Pemilu 2019 sekitar 19,4 persen hingga 33,1 persen (Burhanuddin dkk, 2019). Kisaran politik uang ini sangat tinggi menurut standar internasional dan menempatkan Indonesia sebagai negara dengan peringkat politik uang terbesar nomor tiga sedunia.
Politik uang telah menjadi praktik normal baru dalam pemilu Indonesia. Temuan Bawaslu dan berbagai lembaga survei mencatat kasus politik uang yang terjadi pada Pemilu serentak tahun 2019. Masyarakat seakan permisif dengan politik uang sehingga enggan melaporkan kepada pihak berwenang. Hasil survei Litbang Kompas pada tahun 2020 menegaskan hal tersebut.
ADVERTISEMENT
Kita berharap bahwa penyelenggaraan Pemilu 2024 akan lebih baik dan berkualitas dibanding dari pemilu sebelumnya. Tingkat partisipasi pemilih pada Pemilu 2019 yang relatif tinggi, yakni mencapai 81,9 persen, perlu dibarengi dengan program pendidikan pemilih agar output pemilu 2024 selaras dengan harapan masyarakat.
Pendidikan pemilih merupakan investasi jangka panjang yang penting untuk dilakukan. Mayoritas pemilih pemula perlu mendapat pencerahan supaya menjadi pemilih yang cerdas dan rasional. Sebab, mereka baru pertama kali menggunakan hak politiknya pada pemilu atau pemilihan mendatang.
Pendidilkan Pemilih harus dilakukan secara kontinyu sepanjang tahun sebagai upaya peningkatan kesadaran berpolitik warga negara. Biasanya masyarakat mendapatkan informasi seputar pemilu dan kandidat saat menjelang pelaksanaan pemilu.
Partai politik mempunyai tanggungjawab untuk memberikan pendidikan politik kepada konstituen secara reguler. Namun, karena alasan terbatasnya pendanaan, parpol baru gencar melakukan sosialisasi pada masa kampanye atau saat injury time.
ADVERTISEMENT
Fenomena itu yang memicu munculnya apatisme politik ditengah masyarakat dan menurunnya kepercayaan publik terhadap partai politik dan penyelenggara negara. Pendidikan pemilih memerlukan kolaborasi dan koordinasi antar lembaga, seperti penyelenggara pemilu, partai politik, peserta pemilu, pemerintah, organisasi masyarakat sipil, akademisi, kalangan profesional dan lainnya.
Undang Undang Nomor 7 Tahun 2017 pasal 198 ayat (1) menyebutkan; Warga negara Indonesia yang pada hari pemungutan suara sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin atau sudah pernah kawin mempunyai hak memilih. Ketentuan ini dapat menjadi parameter dalam merumuskan target sasaran program pendidikan pemilih.
Setiap warga negara yang mempunyai hak politik harus mendapatkan informasi dan pengetahuan yang memadai agar dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik dan benar. Pendidikan pemilih akan memberikan dampak positif bagi pendewasaan politik masyarakat.
ADVERTISEMENT
Pemilih perlu mendapat pemahaman seputar prinsip-prinsip demokrasi, kewarganegaraan, sejarah pemilu di Indonesia dan praktik pemilu yang paling mutakhir. Menanamkan sikap anti politik uang sejak dini kepada generasi muda, mengutamakan nilai-nilai kebenaran dan keadaban dalam berpolitik di masa depan.
Pendidikan pemilih akan mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pelaksanaan pemilu dan pemilihan. Pemilih yang sadar dengan kewajiban dan haknya sebagai warga negara akan berperan aktif dalam menentukan pemimpin dan wakilnya di semua tingkatan. Partisipasi pemilih yang tinggi menjadikan hasil pemilu lebih legitimate.
Pendidikan pemilih menjadi sarana pembekalan calon anggota badan adhoc, yang akan bertugas mulai dari tingkat PPK, PPS dan KPPS. Pemilih yang tercerahkan akan mempunyai kepedulian untuk memantau semua proses pemilu. Memiliki keberanian untuk mengawasi setiap tahapan pemilu dan memastikan semuanya dilaksanakan sesuai aturan.
ADVERTISEMENT
Pendidikan pemilih meningkatkan rasionalitas dan daya kritis masyarakat terhadap kandidat, tidak gampang percaya dengan janji kampanye yang diusung oleh kontestan. Mereka menelusuri rekam jejak dan integritas kandidat sebagai preferensi sebelum menentukan pilihan.
Pendidikan pemilih sebagai gerakan kolektif anti korupsi dan anti politik uang yang sering muncul menjelang pemilu atau pemilihan. Praktik jual beli suara (vote trading) akan berpengaruh buruk dalam proses pengambilan kebijakan publik.
Pendidikan pemilih untuk menyadarkan masyarakat bahwa pengelolaan negara bermula dari proses pemilu yang digelar setiap
lima tahun sekali. Urgensi pendidikan pemilih bertujuan menumbuhkan kesadaran dan kepedulian masyarakat dalam mewujudkan demokrasi yang berkualitas dan berintegritas. Sebab, negara bisa saja tergadai jika rakyat bersikap masa bodoh dalam proses perhelatan politik di tanah air.**
ADVERTISEMENT