Melihat Revisi UU MD3 yang Membuat Anggota DPR Antikritik

13 Februari 2018 7:37 WIB
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Sidang paripurna DPR. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
ADVERTISEMENT
Revisi UU MD3 akhirnya disahkan DPR dalam sidang paripurna yang digelar pada Senin (12/2). Dalam sidang tersebut, mayoritas fraksi sepakat dengan sejumlah usulan revisi UU MD3, mulai dari penambahan kursi pimpinan hingga pasal jemput paksa anggota DPR.
ADVERTISEMENT
Meski telah disepakati, ada beberapa pasal dalam revisi UU MD3 yang menjadi sorotan. Sebabnya, pasal-pasal tersebut justru membuat anggota DPR antikritik dan kebal hukum.
Berikut pasal-pasal dalam revisi UU MD3 yang menuai polemik:
Pasal 73
1. DPR dalam melaksanakan wewenang dan tugasnya, berhak memanggil pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat secara tertulis untuk hadir dalam rapat DPR
2. Setiap pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum, atau warga masyarakat wajib memenuhi panggilan DPR.
3. Dalam hal pejabat negara dan/atau pejabat pemerintah tidak mau hadir memenuhi panggilan setelah 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR dapat menggunakan hak interpelasi, hak angket, atau hak menyatakan pendapat atau anggota DPR dapat menggunakan hak mengajukan pertanyaan.
ADVERTISEMENT
4. Dalam hal pejabat negara, pejabat pemerintah, badan hukum dan/atau warga masyarakat tidak hadir setelah dipanggil 3 kali berturut-turut tanpa alasan yang patut dan sah, DPR berhak melakukan panggilan paksa dengan menggunakan Polri.
5. Panggilan paksa dilaksanakan dengan ketentuan sebagai berikut:
a. Pimpinan DPR mengajukan permintaan secara tertulis kepada Kapolri paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat badan hukum dan/warga masyarakat yang dipanggil paksa; dan
b. Kapolri memerintahkan Kapolda di tempat domisili badan hukum dan/atau warga masyarakat yang dipanggil paksa untuk dihadirkan memenuhi panggilan DPR.
6. Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5), Polri dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat untuk paling lama 30 hari.
ADVERTISEMENT
7. Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa dan panyanderaan diatur dengan Peraturan Kapolri.
Forum Masyarakat Peduli Parlemen Indonesia (Formappi) mengkritik lolosnya aturan tersebut. Peneliti Formappi Lucius Karus mengatakan revisi UU MD3 menjadi strategi DPR untuk memasukkan aturan yang menguntungkan DPR.
Lucius mengatakan revisi UU MD3 menjadi strategi DPR untuk memasukkan aturan yang menguntungkan DPR. "Ini secara tegas memperlihatkan wajah pelangi DPR yang menggabungkan banyak karakter. Nafsu untuk berbuat jahat, ketakutan untuk bertanggung jawab, arogan, culas, dan sewenang-wenang," ucap Lucius.
FPPP Walkout dari sidang paripurna DPR RI. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
FPPP Walkout dari sidang paripurna DPR RI. (Foto: Fahrian Saleh/kumparan)
Pasal 122
Dalam melaksanakan fungsi, Mahkamah Kehormatan Dewan bertugas:
k. Mengambil langkah hukum dan/atau langkah lain terhadap orang peseorangan, kelompok orang, atau badan hukum yang merendahkan kehormatan DPR dan anggota DPR.
ADVERTISEMENT
Poin itu menjelaskan, jika ada pihak atau lembaga yang merendahkan kehormatan anggota DPR bisa ditindak oleh MKD dengan mengambil langkah hukum. Sehingga pihak yang mengkritik anggota DPR bisa diproses secara hukum dengan dilaporkan ke kepolisian.
Wakil Ketua Baleg DPR, Firman Subagyo, menjelaskan definisi pengkritik yang dimaksud adalah jika anggota mendapat perlakuan buruk dari publik.
Perlakuan buruk yang dimaksud misalnya ketika ada anggota DPR tersangkut kasus korupsi, lalu ia mendapat banyak kritik dan kecaman padahal belum ada putusan hukum yang tetap. Pasal ini bertujuan untuk mencegah munculnya opini publik yang menyudutkan sang anggota DPR.
"Jadi, kalau ada satu anggota dewan yang terjerat kasus korupsi misalnya. Lalu dia mendapatkan perlakuan buruk dari publik. Maka bukan hanya dia yang dilindungi tapi lembaga DPR ini," ujar Firman ketika dihubungi kumparan (kumparan.com), Senin (12/2).
ADVERTISEMENT
Menurut aktivis ICW, Donal Fariz, pasal tersebut tak hanya bisa membahayakan masyarakat, tapi juga wartawan. Sebab, wartawan yang menulis berita negatif tentang anggota DPR, juga berpotensi dipidana.
"Jadi DPR semakin sulit diproses hukum, tetapi akan semakin mudah mengkriminalisasi dengan pasal antikritik," ucap Donal, Senin (12/2).
Pasal tersebut juga dikritik oleh Politikus PKS, Tifatul Sembiring. Menurutnya, pasal 122 yang disahkan itu dianggap berlebihan.
"DPR nanti kalau ada yang kritik anggota DPR wajarlah, dia (rakyat) kan milih. Jangan juga nanti anggota DPR antikritik. Begitu juga diperkarakan orang kecil juga nanti dipenjara. Menurut saya dikritik dan substansif," tutur Tifatul.
Mantan Menkominfo itu menyebut, pasal 122 UU MD3 yang disahkan itu juga berpotensi membuat Indonesia kembali seperti era orde Baru.
ADVERTISEMENT
"Sebetulnya kalau merendahkan itu harus definitif. Jangan ada orang sedikit mengkritik kemudian ini (ditindak), kan ini demokrasi kan. Jangan balik lagi ke Orde Baru," tambahnya.
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
zoom-in-whitePerbesar
Gedung DPR/MPR RI (Foto: Fanny Kusumawardhani/kumparan)
Pasal 245
Pemanggilan dan permintaan keterangan kepada anggota DPR sehubungan dengan terjadinya tindak pidana yang tidak sehubungan dengan pelaksanaan tugas sebagaimana dimaksud dalam Pasal 224, harus mendapatkan persetujuan tertulis dari Presiden setelah mendapat pertimbangan dari Mahkamah Kehoramatan Dewan (MKD).
Pasal 245 secara tidak langsung memberikan perlindungan kepada para anggota DPR. Sebab, jika ada lembaga yang ingin memeriksa para anggota DPR harus lewat pertimbangan MKD. Setelah itu MKD mengeluarkan pertimbangan tersebut pada presiden untuk ditindaklanjuti.
Lucius mengatakan, adanya pertimbangan dari MKD dan persetujuan presiden menunjukkan inkonsistensi DPR. Di satu sisi, DPR menginginkan agar wajib bagi Polri melakukan pemanggilan paksa terhadap pihak yang dipanggil DPR. Di sisi yang lain, DPR sendiri tidak ingin ada penegak hukum memanggil mereka tanpa rekomendasi MKD dan ijin presiden.
ADVERTISEMENT
"Inkonsistensi tersebut sesungguhnya menelanjangi wajah DPR yang penuh masalah, tetapi di saat yang bersamaan, mereka ingin menggunakan kekuasaan legislasi untuk membangun benteng persembunyian," ucap Lucius.