Homo Ludens dan Gerakan 'Aksi Jalan Kaki dari Toba ke Jakarta'

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
25 Juni 2021 10:54 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Homo Ludens dan Gerakan 'Aksi Jalan Kaki dari Toba ke Jakarta'
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Apa yang terjadi bila kegemaran bermain-main sudah dipadukan dengan gerakan perlawanan?
ADVERTISEMENT
Itulah yang kita saksikan dengan Tim 11 yang melakukan gerakan jalan kaki ke Jakarta dari Toba. Sudah 11 hari mereka berjalan. Di hari ke-11, mereka sudah tiba di Bukit Tinggi, 402 kilometer dari titik mereka memulai langkah di Balige, Sumatera Utara. Diperkirakan mereka membutuhkan sekitar 50 hari untuk tiba di Jakarta, menempuh jarak sekitar 1.800 kilometer. Mereka akan menjumpai Presiden Jokowi di Istana dan meminta Jokowi menutup PT TPL, pabrik pulp di Porsea. PT TPL selama 30 tahun lebih memiliki jejak tak baik di Tanah Batak. Perusahaan ini kerap melakukan aksi kekerasan dalam perampasan tanah adat untuk kemudian ditanami ekualiptus. Perusahaan ini juga terbukti tidak mengelola limbah perusahaannya dengan baik. Hasilnya air Danau Toba tercemar sedemikian parah hingga ikan-ikan endemik danau itu punah. Peralihan mata pencaharian masyarakat pun terjadi. Masyarakat Toba semakin meninggalkan danau menuju ke darat. Jumlah nelayan menurun drastis. Celakanya, tanah daratan pun terdampak limbah PT TPL.
ADVERTISEMENT
Togu Simorangkir, salah seorang dari Tim 11, selalu menyiarkan aktivitas mereka di Facebook. Di hari pertama, mereka diberangkatkan dari makam Sisingamangaraja XII di Balige. Di hari ke-11, mereka terlihat sangat gembira. Pelepah pinang yang jatuh di pinggir jalan diambil untuk dijadikan mainan. Salah seorang dari mereka naik ke atas pelepah untuk kemudian diseret di jalan raya. Orang Batak menyebut permainan ini mardolos-dolos. Permainan ini biasa dilakukan anak-anak. Tertawa mereka meledak melihat aksi itu. Hari ke-10, di satu sungai di Pasaman, Sumatera Barat, mereka mandi bersama. Di hari yang sama, Bumi, anak Togu Simorangkir yang masih kecil yang ikut berjalan kaki, membuat teka-teki: “Siapa Jokowi pertama?” Semua tak ada yang bisa menjawab. “Jokowi pertama,” jawab Bumi, “adalah Sukarno.” Bagi Bumi Jokowi adalah kata ganti Presiden.
ADVERTISEMENT
Tak ada erangan terdengar, alih-alih sukacita semata. Ketika berpapasan dengan timbangan Dinas Perhubungan, mereka beramai-ramai menimbang badan. “Nggak akan kurus aku sampai Jakarta. Banyak jalan banyak makan,” ujar Togu yang timbangan badannya tetap di angka 100 kilogram. Oni, salah seorang dari mereka, kerap menari sambil berjalan. Terkadang mereka bernyanyi. Di hari ke-8, saat memasuki perbatasan Sumatera Utara dengan Sumatera Barat, sinyal internet pun hilang. “Bumi, kok nggak ada sinyal? Siapa yang lupa bawanya?” tanya Oni. Bumi menjawab dengan polos, “Ih..., bukan aku ya Bou.”
Bang Rait, anggota tim lainnya, terharu tak karuan. Ia hampir menangis melihat teman-temannya merayakan ulang tahunnya. Di tengah badan yang sangat lelah, alunan gitar dan nyanyian ucapan ulang tahun, serta kelakar-kelakar usil, membuat perayaan itu begitu spesial.
ADVERTISEMENT
Di hari ke-11 mereka berjalan kaki, saya tergoda menamai mereka sebagai homo ludens, manusia yang bermain-main. Orang Asia Tenggara, tulis Anthony Reid (2014), adalah masyarakat yang suka bermain-main. Menurut Reid, kegemaran ini disebabkan oleh tersedianya waktu luang yang relatif banyak. Kegemaran bermain dan ketersediaan waktu luang disebabkan oleh ketidakharusan orang di Asia Tenggara bekerja terus-menerus untuk bertahan hidup. Makanan pokok Asia Tenggara sepenuhnya bersumber dari alam: beras, ikan, buah-buahan. Untuk itulah, waktu untuk bersenggang lebih banyak. Sepertinya penjelasan historis itu menemukan wujud di Tanah Batak. Orang Batak sangat gemar bernyanyi, berpesta, menari, bermain, dan saling menghibur.
Namun, segera harus digarisbawahi, tulang punggung orang Batak tidak disediakan untuk bermalas-malasan. Mereka membanting tulang di siang hari. Para tuan kolonial zaman dulu dibuat pusing olehnya. Satu sisi orang Batak pekerja keras, namun di sisi lain mereka tidak bersedia bekerja di luar ladang mereka sendiri. Orang Batak tidak bersedia bekerja sebagai budak di perkebunan-perkebunan milik orang Eropa. Untuk itulah, dari sudut pandang Barat di zaman dulu, waktu senggang yang banyak itu dilihat sebagai sifat hura-hura yang identik dengan kemalasan.
ADVERTISEMENT
Tim 11 sebagai homo ludens tidak sedang membuktikan apa pun selain ingin memberi tahu ke banyak orang bahwa kegembiraan bermain-main yang dimiliki orang Batak, terlebih yang tinggal di kawasan Danau Toba, sudah terlempar jauh beberapa dekade ini. Nyanyian di lapo-lapo tuak bukan lagi nyanyian kegembiraan di penghujung hari setelah seharian lelah membanting tulang. Obrolan lapo tuak tidak lagi diisi kegembiraan menggosip para bapak. Lapo tuak sudah menjadi ruang penegas sekaligus pembatas bahwa kelas “kita” dan “mereka” sudah terbentuk dan semakin mengental semenjak kedatangan perusahaan perusak harmoni desa.
Inilah yang diteliti dengan cermat oleh Delima Silalahi (2020) di desa Pandumaan dan Sipituhuta di Kabupaten Humbang Hasundutan. Kedua desa itu berjibaku dengan pengusaha dan penguasa mempertahankan hutan kemenyan. Delima menelisik gerakan itu dari pembentukan konstruksi identitas kolektif masyarakat adat. Tergambar bahwa “kekitaan” terbentuk seiring aktivitas “mereka” yang merenggut hutan warga Pandumaan dan Sipituhuta. Hak konsesi yang diberikan pemerintah kepada pengusaha, PT TPL, dijadikan alat untuk mengambil tanah adat. Tombak haminjon, hutan kemenyan, menjadi tali pengikat yang meleburkan beberapa masyarakat adat di Pandumaan untuk memperluas gerakan menentang perebutan tanah itu. Seperti ditulis Delima, tombak haminjon adalah bagian tak terpisahkan dari masyarakat Pandumaan; menjadi bagian dari identitas kolektif komunitas adat yang sudah sejak dahulu diwariskan secara turun-temurun. Sehingga “kita” (masyarakat adat, warga rantau, institusi gereja, ORNOP lokal hingga internasional, serta perorangan) adalah lawan “mereka” (PT TPL, mitra perusahaan, lembaga pemerintahan, dan aparat kepolisian).
ADVERTISEMENT
Tim 11 yang berjalan kaki ke Jakarta memperluas gerakan masyarakat adat. Gerakan Tutup TPL, yang awalnya terfokus pada masyarakat adat saja, dilebarkan cakupannya kepada lintas sektor. Dengan begitu, menjawab kritikan terhadap gerakan masyarakat adat selama ini, masyarakat di luar masyarakat adat, termasuk masyarakat perkotaan, paling tidak secara psikologis, terlibat dengan gerakan itu. Hal ini terlihat dari ratusan orang yang menyaksikan live Togu Simorangkir di Facebook. Juga sambutan hangat orang-orang yang mereka papasi di jalan yang sejauh ini sudah dilewati lebih dari 400 kilometer.
Berulang kali Togu Simorangkir mengatakan, aksi mereka berjalan kaki bukan untuk menjadi pahlawan. Gerakan ini adalah bagian utuh dari “kita” untuk melawan “mereka”. “Mereka” akan menemukan akhir eksistensi ketika “kita” tidak tercerai-berai dalam penonjolan diri. Gerakan jalan kaki dari Toba ke Jakarta, menurut Togu, tak lebih tak kurang ingin menunjukkan kepada khalayak bahwa masyarakat Toba dan Danau Toba sedang tidak baik-baik saja.
ADVERTISEMENT
Berjalan kaki dari Toba ke Jakarta adalah gerakan untuk mengingatkan kembali bahwa orang Batak sejatinya adalah homo ludens. Dan Tim 11 mempraktikkannya dengan sangat bermartabat dan genuin.