Ke-Indonesiaan Tionghoa (Bagian I)

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
30 Agustus 2021 18:34 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Indonesia Tionghoa. Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Indonesia Tionghoa. Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
"Seberapa Indonesiakah saya?" tanya Yenni Kwok, orang Indonesia wartawan Asiaweek yang berdomisili di Hong Kong. Saat itu di satu pagi di bulan Mei tahun 1998, dia terbangun sementara di luar hujan badai sedang mendera. Dia menganggap itu sebagai kebahagiaan di tengah badai karena dia berharap hujan badai itu akan memadamkan api di kota Jakarta. Jakarta terbakar. Api di mana-mana. Apa yang sedang terjadi di Ibukota Republik Indonesia itu?
ADVERTISEMENT
Jakarta rusuh. Kerusuhan terbesar di Jakarta berlangsung dari 13-15 Mei 1998. Menurut pantauan Kompas kerusuhan ini dimulai di sekitar kampus Universitas Trisakti, kawasan Grogol tanggal 13 Mei sekitar pukul 09.00-10.00 WIB. Ribuan orang berkumpul di depan Universitas Trisakti untuk menyampaikan dukacita mereka atas tewasnya empat orang mahasiswa Trisakti yang terlibat bentrok sehari sebelumnya, 12 Mei.
Aksi ini awalnya berjalan tertib karena mahasiswa dilarang keluar kampus. Menjelang siang, massa melihat sebuah truk sampah terbakar di perempatan jalan layang. Mereka menilai itu sesuatu keganjilan mengingat jalan di sana sudah ditutup oleh polisi. Tidak berapa lama kemudian, aksi brutal meledak. Botol-botol beterbangan memecah gedung Mal Ciputra, rambu-rambu lalu lintas dan pembatas jalan dirusak. Akibatnya tembakan peringatan dibarengi gas air mata menyambut aksi mereka.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini cukup menjadi pemicu dan pembesar aksi-aksi massa yang brutal berikutnya di hampir seluruh penjuru kota Jakarta. Pengrusakan gedung terjadi di mana-mana. Pembakaran juga sangat menyebar. Ribuan kendaraan terbakar. Ratusan gedung perkantoran ludes dihanguskan si jago merah. Ribuan toko dibakar. Jakarta mencekam. Detail akibat kerusakan itu: total kerugian mencapai sekitar Rp 2,5 triliun yang merusak 13 pasar, 2749 ruko, 40 mal/plaza, 1604 toko, 45 bengkel, dua kecamatan, 11 polsek, Sembilan pom bensin, 383 kantor swasta, 65 kantor bank, 24 rrestoran, 12 hotel, 8 bus kota dan metromini, 11 taman, 1119 mobil, 821 motor, 486 rambu lalu lintas, 18 pagar, 1026 rumah penduduk dan gereja. Tidak hanya itu saja, kerugian di bidang pangan juga sangat besar: 500 ton beras senilai Rp 600 juta dijarah, 1800 ton gula senilai 3,24 miliar, dan toko koperasi senilai Rp 400 juta.
ADVERTISEMENT
Inilah yang membuat Yenni Kwok berharap banyak kepada badai hujan. Namun, di atas semua korban fisik itu kerusuhan meninggalkan jejak yang membelalakkan mata: Data Tim Relawan mencatat 1190 orang meninggal dunia akibat terbakar atau dibakar, 27 orang akibat senjata dan lainnya, dan 91 orang luka-luka. Kerusuhan Mei 1998 tampak seperti terpola dengan tahapan-tahapan: Kerusuhan dimulai dengan adanya aktivitas provokasi dan perusakan, kemudian diikuti penjarahan, dan kemudian diikuti dengan pembakaran.
Sementara Tim Gabungan Pencari Fakta mencatat sembilan tahapan kerusuhan yang saling terkait satu sama lain. Pertama, pra-perusakan, mencakup usaha untuk memancing, memotivasi, dan memobilisasi massa untuk ikut melakukan perusakan dengan yel-yel, perusakan kecil, maupun pembakaran ban. Tahap kedua, perusakan dilakukan dengan menghancurkan kendaraan sepeda motor dan mobil, bangunan-bangunan seperti toko, kompleks pertokoan, dan hasil jarahannya dibawa pulang, dijual di tengah jalan, atau dibakar di jalan.
ADVERTISEMENT
Tahap berikutnya, pembakaran motor, mobil, serta bangunan dengan menggunakan bahan yang mudah terbakar seperti bom molotov. Tahap kelima, penganiayaan secara massal ditujukan pada pemilik toko, bangunan, atau kendaraan bermotor, terkena pada semua orang. Tahap keenam, pembunuhan yang dilakukan setelah penganiayaan dengan dibakar di dalam gedung atau mobil, serta pembunuhan yang terjadi akibat penembakan oleh aparat keamanan. Tahap ketujuh, teror yang disebarkan melalui selebaran, telepon, atau secara lisan.
Tahap kedelapan, berupa pemerasan sebelum perusakan atau pada saat akan mengarah ke lokasi bertujuan untuk mendapatkan imbalan untuk mengamankan dari tindak perusakan. Dan tahap terakhir adalah perkosaan yang disertai penganiayaan dan pembunuhan. Yang diperkosa adalah orang-orang keturunan Tionghoa.
Berdasarkan temuan Tim Gabungan Pencari Fakta, kerusuhan 13-15 Mei 1998 mencatat jumlah kekerasan seksual dan perkosaan sebanyak 159 orang yang terdiri dari 117 orang diperkosa, delapan orang diperkosa dan dianiaya, delapan orang diperkosa dan dibakar, sembilan orang diperkosa menggunakan benda, satu orang dianiaya/dilukai, 15 orang dilecehkan (ditelanjangi), dan satu orang dibawa dengan paksa. Jumlah ini kemungkinan besar naik mengingat korban-korban pemerkosaan mengalami gangguan mental dan psikologis untuk melaporkan tindak pemerkosaan yang mereka alami.
Aksi Long March Mei 1998 Foto: Dok. Muhammad Firman Hidayatullah
René L. Pattiradjawane (2000) menyebut kerusuhan Mei 1998 sebagai malapetaka terbesar bangsa Indonesia, khususnya bagi orang-orang keturunan Tionghoa. Dia menyebut peristiwa Mei sebagai titik terendah sejarah orang Tionghoa di Indonesia. Sepertinya ini cukup beralasan mengingat dari hasil analisis keruangan, lokasi bangunan yang menjadi sasaran amuk massa letaknya relatif dekat dengan jalan besar. Di jalan-jalan besar itulah berjejer bangunan-bangunan milik orang Tionghoa (hampir 80 persen bank yang dirusak adalah BCA yang pemiliknya adalah orang Tionghoa). Inilah kemudian yang menjadi indikator bahwa perusakan dan pemusnahan yang terkonsentrasi di titik-titik tertentu bukanlah hasil spontanitas melainkan direncakan dan diarahkan.
ADVERTISEMENT
Sehari setelah kerusuhan, bahkan saat kerusuhan masih terjadi, banyak warga negara asing di Jakarta dan kota-kota besar lain meninggalkan Indonesia menuju luar negeri. Negara yang paling banyak dituju adalah Singapura. Jumlah mereka begitu banyak sehingga loket-loket tiket di terminal keberangkatan bandara pun ditempeli kertas putih bertuliskan "tiket habis"; JKT-SIN all flight full dan Jakarta-Singapura, Jakarta-Kuala Lumpur, dan Jakarta-Taipei full today and tomorrow". Penumpang membeludak. Satu perusahan penerbangan dari Singapura, SIA (Singapore Airlines) bahkan mengangkut penumpang dari Jakarta ke Singapura pulang-pergi hingga pukul 24.00. Mengatasi kehabisan tiket tersebut beberapa penumpang memilih penerbangan domestik menuju Batam lalu kemudian Singapura. Banyak juga yang memilih transportasi laut. Bahkan sekitar 200 orang menggunakan enam penerbangan dengan pesawat carteran.
ADVERTISEMENT
Aksi eksodus warga negara asing itu juga dilakukan oleh warga Indonesia keturunan Tionghoa. Chris Manninng, seorang ekonom dan ahli kependudukan dari Australian National University, memperkirakan, akibat kerusuhan Mei 1998 ada sebanyak 20.000-30.000 pengusaha keturunan Tionghoa yang meninggalkan Indonesia secara permanen. Sementara itu banyak warga Tionghoa di Medan meninggalkan Indonesia menuju Singapura dan Malaysia.
Aksi orang Tionghoa meninggalkan Indonesia setelah kerusuhan adalah pola yang selalu berulang. Tahun 1960 akibat PP-10/1959 dikeluarkan yang mengharuskan semua pedagang eceran di wilayah pedalaman menutup usaha mereka sebelum 1 Januari 1960, mengakibatkan setengah juta orang Tionghoa "puyang-poyong" hidup tak menentu. Mereka diusir dari kecamatan-kecamatan. Lebih dari seratus ribu dari mereka memilih meninggalkan Indonesia. Peraturan itu dikeluarkan karena pedagang-pedagang eceran Hoakiau Tionghoa akan membahayakan keselamatan ekonomi nasional Indonesia. Dalam benak "pemerintah" saat itu orang-orang Tionghoa yang ada di Indonesia bukanlah warga negara Indonesia. Mereka itu orang asing.
ADVERTISEMENT
Kejadian berikutnya adalah pasca-Gerakan 30 September 1965. Pada 6 November 1965 terjadi demonstrasi rakyat di Medan terhadap Konsulat Republik Rakyat Tiongkok (RRT). Mereka menuntut agar seluruh warga negara asing, khususnya RRT, untuk tidak melakukan insinuasi, apalagi ikut campur tangan dalam masalah dalam negeri Indonesia. "Demonstrasi itu tidak perlu terjadi," kata Selamat Ginting, Wakil Ketua Komisi A (bidang luar negeri) DPRGR, "Apabila RRT dapat menempatkan dirinya dalam perkembangan-perkembangan yang terjadi di Indonesia. Mereka menganggap RRT adalah "musuh utama kita, yaitu nekolim dan kontra-revolusi 'Gerakan 30 September'."
Setahun setelah Gerakan 30 September 1965, tanggal 26 September 1966, sebanyak 2000 orang warga negara Republik Rakyat Tiongkok yang ada di Medan akan dipulangkan ke Tiongkok dengan menggunakan kapal laut "Guan Hoa" melalui pelabuhan Belawan. Mereka akan dipulangkan ke negeri leluhur mereka bersama 6448 orang Tionghoa dari Aceh yang dari Aceh diungsikan ke Medan menunggu kapal jemputan yang khusus dikirim oleh pemerintah Republik Rakyat Tiongkok. Sebelumnya tanggal 5 September 1966 pemerintah RRT mengirim nota ke Indonesia dan menuduh Indonesia merintangi pemulangan "Orang-orang Tjina jang dikejar". Dalam nota tersebut RRT juga menuduh Indonesia menghalang-halangi pejabat-pejabat konsuler RRT yang hendak pergi ke Medan.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan tuduhan pemerintah RRT, bagi Indonesia, khususnya Pepelrada Sumatera Utara, pengungsi Tionghoa dari Aceh ditambah dengan warga Tionghoa yang ada di Medan menjadi persoalan yang memusingkan: mau di kemanakan mereka? Para pengungsi itu, menurut Pangdam II/Pepelrada Brigjend P. Sobirin, sudah rindu sekali pulang ke kampung halaman, namun pihak RRT sendiri seolah-olah tidak mau mengirim kapal buat warganya.