news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Ketika Suharto Naik Haji

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
19 Agustus 2021 15:16 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
9
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Soeharto. Foto: kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Soeharto. Foto: kumparan.com
ADVERTISEMENT
Tahun 1991, Suharto dan beberapa anggota keluarganya berangkat ke Makkah untuk melaksanakan ibadah haji. Tentu saja ini tidak lazim. Empat tahun sebelumnya, tahun 1987, dia mengeluarkan buku Butir-butir Budaya Jawa. Buku ini dicetak dalam tiga bahasa: Jawa, Indonesia, dan Inggris. Buku ini sebagai penanda bahwa Suharto sesungguhnya bukanlah seorang Islam yang saleh. Dia masih begitu kental dengan dunia mistis Jawa. Menarik kemudian menghubungkan kepergiannya ke Makkah dengan peristiwa yang melatarbelakanginya.
ADVERTISEMENT
Butir-butir Budaya Jawa itu ditulis oleh seorang “bapak” kepada “anak-anaknya”. Daniel Dhakidae (2003) mencatat buku ini boleh dikatakan sebagai ajaran Suharto dan terutama moral politik Orde Baru dan moral politik Suharto sendiri.
Segera setelah buku itu disebarkan ke seantero Nusantara, maka kita kemudian menyaksikan berlomba-lombanya para aparat negara meniru aksen Jawa Suharto, sehingga di satu tempat di Tapanuli kita mendengar sang pejabat berkata, “Mari kita entasken kemiskinan.”
Bagi Dhakidae hal ini bisa diterjemahkan sebagai perwujudan suatu ethno-nasionalisme Jawa dan juga penyebaran kebudayaan Jawa sehingga kemudian kita lihat keseiringan jalan antara suatu perkembangan kapital yang diterjemahkan dalam bidang birokrasi dan kebudayaan birokrasi sipil dan militer.
Tentu saja kita tidak serta-merta menganggap Suharto sudah meninggalkan kekagumannya pada mistisisme Jawa. Atau kita mengatakan bahwa dia bertambah saleh tahun lepas tahun. Namun, kita bisa mengatakan bahwa ada hal-hal yang mendasari tindakannya tersebut. Dengan demikian, pertanyaan kita kemudian: apa yang menyebabkan perubahan orientasi keagamaan Suharto dan dampak islamisasi masyarakat dan ruang publik Indonesia di tahun-tahun terakhir masa jabatannya?
ADVERTISEMENT
Suharto adalah murid sejati Snouck Hurgronje. Salah satu “temuan” Snouck yang lalu disampaikannya kepada Belanda menyangkut tentang masyarakat Aceh adalah tentang pembedaan dua jenis Islam: Islam agama dan Islam politik. Snouck mengatakan, “Berikan kebebasan sebesar-besarnya kepada Islam agama dan agama Islam. Jangan menghalangi mereka yang akan beribadah ke tanah suci. Akan tetapi jangan memberikan ampun sekali-kali bilamana ketahuan bahwa itulah Islam politik dengan memangkasnya langsung ketika baru mekar".
Sebelum tahun 80-an, Suharto melarang penggunaan jilbab pada semua level sekolah. Tidak ada halangan apa pun bagi Suharto untuk bertindak keras terhadap semua pelanggaran atas larangan itu. Suharto di tahun-tahun itu juga tidak memandang agama Islam, Islam agama dan Islam politik, sebagai sekutu yang mesti diajak bersama membangun bangsa.
ADVERTISEMENT
Suharto sudah membangun pondasi yang sangat kuat bagi dirinya sendiri untuk bertindak “membangun” bangsa. Salah satunya adalah membuka keran investasi modal asing selebar-lebarnya segera setelah Sukarno berhasil disingkirkan. Salah satunya yang lain adalah penyebaran teror mahadahsyat dengan mengkambinghitamkan komunis sehingga siapa pun yang tidak segendang sepenarian dengannya akan dicap komunis lalu dengan begitu yang dicap itu kemudian “berhak” untuk dikirim ke liang kubur.
Berbeda dengan Sukarno yang di sisi kirinya berdiri partai-partai kiri sebagai pendukungnya, dan di sisi kanannya tentara sebagai pihak yang selalu mengusiknya dalam keterusterangan dan kesembunyian, Suharto tidak menyediakan sedikit tempat pun di sebelah kirinya untuk diisi oleh barisan oposisi. Dia hanya menyediakan kursi empuk di sisi kanannya untuk menikmati seluruh kekayaan Indonesia: keluarga dan kerabat-kerabatnya, militer, dan pengusaha Cina.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, Islam tidak dimasukkan dalam barisan. Hubungan yang terjalin di antara mereka adalah hubungan patron-klien: Suharto sebagai patronnya dan kerabat, militer, dan pengusaha sebagai kliennya.
Indonesia mengalami booming minyak 1970-an. Penguasa Pertamina saat itu adalah seorang perwira tinggi militer, Ibnu Sutowo. Laba penjualan minyak tidaklah mengalir ke kas negara karena menurut Harold Crouch, sumber dana terpenting bagi Angkatan Darat pada tahap awal Orde Baru adalah Pertamina.
Lebih lanjut Crouch menulis, Pertamina difungsikan oleh Angkatan Darat tidak hanya untuk dana operasional militer tetapi menjadi ajang bagi para perwira untuk memperkaya diri mereka sendiri. Sehingga ketika tahun 1975 Pertamina terkuak kebobrokannya dengan tidak mampu membayar kembali utang jangka pendeknya ke luar negeri berjumlah sekitar 1,5 miliar dolar, otonomi Ibnu Sutowo dalam mengelola Pertamina benar-benar roboh.
ADVERTISEMENT
Peristiwa ini kemudian membuat beberapa perwira tinggi pensiunan angkatan darat melakukan kritik keras kepada Suharto, yang dikenal sebagai Petisi 50. Mereka mengkritik aksi korupsi massal di pemerintahan Suharto yang menganggap dirinya sebagai perwujudan Pancasila itu sendiri. Namun, kritik ini tidaklah serta-merta sebatas kritik. Ada sesuatu di belakang itu yang membuat beberapa jenderal pengkritik itu dengan segera bisa dihentikan oleh Suharto.
David Jenkins (2010) mencatat, para pengkritik itu, dengan mengecualikan beberapa nama di antara mereka, sesungguhnya barisan sakit hati karena tidak bisa lagi menikmati kejayaan seperti saat mereka menjabat. Terbukti kemudian ketika mereka ditawari satu posisi dengan sendirinya mereka diam melancarkan kritik.
Suharto yang menganggap selama ini masih didukung oleh kolega-koleganya sedang mendapat oposisi kekuasaan. Harga minyak dunia sudah turun. Dengan demikian Suharto kehilangan satu konsep yang dia gunakan selama ini: negara mampu melayani dirinya sendiri. Inilah kemudian yang membuat dia berpaling ke pihak yang selama ini dimusuhinya: Islam.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks inilah kita bisa membaca keberangkatan Suharto ke Makkah tahun 1991. Dia kemudian mencitrakan dirinya religius sehingga dengan demikian dia dipandang tidak seorang yang otoriter. Dia kemudian berdamai dengan NU dan mengizinkan intelektual-intelektual muslim mendirikan ICMI. Anak sekolah juga kemudian diizinkan memakai jilbab. Artinya, keberangkatan Suharto ke Makkah tidaklah didasari oleh kesalehan, namun ada faktor keterdesakkan yang dalam beberapa titik berbaur, bahkan melampaui kepentingan politik dan ekonomi.