Kosmopolitanisme, Misi Gereja, dan Orang Tionghoa Medan Awal Abad ke-20

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
Medan menjadi Kotapraja (gemeente) tahun 1909. Kota ini menjadi pusat bisnis bagi perkebunan-perkebunan besar yang baru dibuka. Tuan-tuan kebun dari banyak negara pun bermukim di sini. Medan berkembang menjadi kota perdagangan yang kosmopolit. Berbeda dengan di Jawa, bahasa perdagangan internasional di Medan adalah bahasa Inggris.
ADVERTISEMENT
Banyak pedagang-pedagang Tionghoa dari Penang menganggap diri lebih tinggi dari orang Tionghoa di Medan karena kefasihan mereka berbahasa Inggris. Sebaliknya, Tionghoa totok memandang kelompok Tionghoa lain lebih rendah karena sudah kehilangan akar budayanya. Perekrutan tenaga kerja perusahaan-perusahaan yang berpusat di Medan atau membuka cabangnya di kota ini lebih mengutamakan tenaga kerja yang mampu berbahasa Inggris.
Orang Tionghoa di Medan menyambut perkembangan tersebut dengan menyekolahkan anak-anaknya ke Penang atau Singapura dengan tujuan meningkatkan kemampuan bahasa Inggris mereka.
Orang Tionghoa Medan lebih memilih mempelajari bahasa Inggris daripada bahasa Belanda. Dirk Buiskool (2009) mencatat, pada 1916, dari 1400 siswa Tionghoa di Medan, hanya 200 orang yang bersekolah ke sekolah Belanda. Beberapa faktor menjadi penyebabnya. Di Medan saat itu sangat sedikit sekolah berbahasa Belanda. Namun, alasan paling utama adalah tingginya hubungan dagang antara Penang atau Singapura dengan orang Tionghoa Medan. Bahasa Inggris dan Mandarin menjadi bahasa perdagangan, bukan bahasa Belanda.
ADVERTISEMENT
Bagi Tionghoa kaya, mengirim anak-anaknya sekolah ke Semenanjung Malaka bukanlah satu persoalan. Namun, bagaimana dengan mereka yang kurang mampu? Masyarakat Tionghoa di Medan kemudian meminta para tamatan Singapura atau Penang membuka sekolah berbahasa Inggris di Medan. Hong Teen, seorang bekas murid sekolah Methodist di Penang, pada tahun 1904 memenuhi harapan itu. Dia membuka sekolah berbahasa Inggris di Medan. Hong Teen berhasrat sekolah tersebut nantinya tidak kalah mutunya dari bekas sekolahnya di Penang, juga lebih berkualitas dari sekolah sejenis di Medan (Richard Daulay, 2014).
Charlotte dan Newton Gottschall (t.t.), guru pasangan suami istri yang ditugaskan di Medan pada masa awal berdirinya sekolah Methodist, menulis catatan harian. Mereka menulis, pada tahun 1910, sejumlah orang-orang terkemuka di Medan meminta dua orang anak muda dari Singapura, Mr. Khoo Chung Bie dan Mr. Lim Huay Gin datang ke Medan untuk mendidik anak-anak mereka berbahasa Inggris. Dua keluarga di antara pengundang itu adalah orang Tionghoa Kristen Medan, Mr. & Mrs. Thio Gim Tong dan Mr. Mrs. Peh Yok Pek.
ADVERTISEMENT
Merekalah orang Tionghoa Kristen pertama di Medan. Pada tahun 1904, mereka dikunjungi Rev. G.F. Pykett dari Anglo-Chinese School di Penang. Setahun kemudian, penginjilan Methodist dimulai di Medan oleh Rev. Solomon Pakianathan. Gereja Methodist pertama pun didirikan di Chinese Shop House di Kapiteinsweg. Di tempat itulah Methodist menjalankan ibadah, sekolah, dan perkumpulan sosial.
Untuk sekolah itu sendiri diselenggarakan dalam tiga bahasa: bahasa Chinese, Inggris, dan Melayu. Persis di depan gereja tersebut berdiri Chinese Temple. Ada kisah menarik dengan kedua tempat ini. Murid Methodist yang membentuk grup musik bernama Brass Band kerap menggunakan Chinese Tempel tersebut tempat mereka bermusik. Grup musik itu sendiri dipimpin oleh Rev. Willian Taylor Ward, sementara anggota band itu terdiri dari orang Barat dan orang Tionghoa.
Gambar: Gereja misi Methodist pertama di Medan. Sumber: Charlotte and Newton Gottschall, Experiences We Treasure (Chapter Three of Volume III): At the Crossroads of Southeast Asia “Rounding Out Seven Years as Principal of the Methodist Boys’ School, Medan, Sumatra. (t.t.), hlm. 20.
Di sekolah Methodist terdapat 120 siswa muslim dari 390 jumlah keseluruhan siswa. Sekolah ini membuka kelas sore bahasa Mandarin yang diasuh oleh Rev. Ong Lim Eng dari Chinese Congregation of the Methodist Church, Medan, Sumatera. Gereja Methodist dimulai pembangunannya pada 1 Januari 1921 dan selesai padan 2 Juli 1922. Setahun kemudian, pada 1 Desember 1923, pembangunan gedung sekolah Methodist permanen dimulai dan selesai pada 20 Mei 1924.
ADVERTISEMENT
Peletakan batu pertama pembangunan itu dilakukan oleh Gubernur Netherlands East Indies Westenenk. Acara itu juga dihadiri oleh Sultan Deli, Konsul Cina, Konsul Inggris, Konsul Amerika, dan perwakilan beberapa komunitas. Sementara pada peresmian gedung tersebut dibuka oleh pengganti gubernur, W.P.F.L. Winckel.
Siswa Methodist berasal dari beragam etnis: Afghan, Tamil, Bengali, Jawa, Ambon, Batak, Melayu, Jepang, dan Cina. Murid Methodist dari suku Jawa biasanya berasal dari keluarga pekerja di perkebunan. Dilaporkan ribuan orang Jawa di Sumatera Timur telah memeluk agama Kristen. Delapan dari 17 guru adalah orang Cina; enam orang Batak; dua orang Melayu; dan satu dari India. Pada 23 Juli 1932, sekolah khusus perempuan, Methodist Girls’ School, diresmikan.
Sama seperti sekolah untuk pria, siswa sekolah untuk wanita ini juga berasal dari beragam suku. Pada peresmian yang dihadiri oleh asisten residen Deli berlangsung meriah. Kedua sekolah tersebut mengadopsi sistem dan kurikulum British. Seiring waktu, Methodist juga mendirikan taman kanak-kanak berbahasa Mandarin dengan jumlah murid 150 orang.
Gambar: Siswa Methodist Boys’ School dari beragam etnis. Sumber Charlotte and Newton Gottschall, Experiences We Treasure (Chapter Three of Volume III): At the Crossroads of Southeast Asia “Rounding Out Seven Years as Principal of the Methodist Boys’ School, Medan, Sumatra. (t.t.), hlm. 61.
Pada awal abad ke-20, tulis Johan Hasselgren (2008), gereja Katolik juga menjadikan orang Tionghoa dan India menjadi tempat mereka berkarya. Orang-orang India yang menjadi Katolik berasal dari daerah kantong perkebunan milik orang Prancis. Katolik membangun gereja kecil dan juga sekolah khusus untuk mereka di Kampung Keling. Sementara, bagi orang Tionghoa, Katolik mendirikan Sekolah Katolik berbahasa Inggris di Hakkastraat pada tahun 1927.
ADVERTISEMENT
Di tahun yang sama, Katolik juga membangun HIS khusus untuk anak-anak Tionghoa. Pada tahun 1936, sekolah-sekolah tersebut memiliki siswa 600 orang. Pada tahun 1934, gereja Katolik untuk orang Tionghoa dibangun di Hakkastraat.
Selain itu, terdapat juga sekolah yang didirikan oleh komunitas Tionghoa di Medan. Pada tahun 1929, beberapa pemimpin Tionghoa mendirikan sejenis yayasan bernama Mianlan Huaqiao Jiayou Zonghui (Medan United Association of Overseas Chinese Education) yang menaungi enam sekolah dasar, dan satu sekolah menengah. Sekolah tersebut dinamai Su Tung yang artinya The East Coast of Sumatra. Pembiayaan sekolah ini berasal dari sponsor komunitas Tionghoa di Medan. Sekolah ini segera berkembang menjadi sekolah Chinese terbesar di Sumatera.
Kota Medan pada tahun 1930-an adalah kota yang sangat multikultural. Orang Tionghoa menempati penduduk terbanyak sebesar 35,6 persen. Jumlah ini hampir sama dengan gabungan persentase tiga suku besar, yakni Jawa, Melayu, dan Minangkabau (Usman Pelly, 1983). Komunitas Tionghoa yang sangat besar di kota ini merupakan bukti nyata kepindahan mereka menuju pusat urban. Pemukiman orang Tionghoa terpusat di pinggir sungai bagian timur dari Sungai Deli, melintasi Kesawan dan lintasan kereta api menuju sebelah timur kota.
ADVERTISEMENT
Mereka membangun rumah bertingkat dua, di mana mereka menjadikan lantai satu sebagai pertokoan atau tempat usaha sementara lantai dua dijadikan tempat tinggal. Sementara orang-orang pribumi tinggal di daerah perbatasan daerah orang-orang Eropa dan Tionghoa. Seiring waktu, daerah-daerah yang disebut kampung ini dihuni berdasarkan kelompok etnis.
Seiring waktu, mengikuti perkembangan zaman, orang Tionghoa Medan pada awal abad ke-20 menjadi warga kosmopolit di tengah kota yang juga kosmopolit. Mereka menjadi warga urban dari beragam latar migrasi dan latar pekerjaan setelah Medan berubah menjadi kota perdagangan.