Yoe Kim Lay: Tionghoa di Tanah Batak

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
21 Maret 2022 20:44 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Yoe Kim Lay, Sahabat Orang Batak. Foto: koleksi pribadi.
zoom-in-whitePerbesar
Yoe Kim Lay, Sahabat Orang Batak. Foto: koleksi pribadi.
ADVERTISEMENT
Data Buku:
Judul Buku: Yoe Kim Lay: Wijkmeester Tionghoa Tarutung 1916-1932, Sahabat Masyarakat Batak
ADVERTISEMENT
Penulis: J. Anto
Penerbit: Penerbit Buku Kompas
Tahun Terbit: 2022
Jumlah halaman: xlvi+202 halaman
ISBN: 978-623-346-420-8
Yoe Kim Lay. Dia Tionghoa, tepatnya Tionghoa peranakan. Lebih tepatnya lagi: peranakan Tionghoa-Batak. Dengan begitu dia sangat fasih berbahasa Batak. Dia Kristen dan bergereja di Huria Kristen Batak Protestan (HKBP). Dia orang terkaya di Tarutung pada masanya. Lapis-lapis identitas itu membuatnya sangat istimewa.
Tak mudah menulis tokoh yang sepanjang hidupnya tidak meninggalkan catatan. J. Anto, penulis buku ini, menggunakan sumber sejarah berupa koran dan majalah sezaman untuk melacak kiprah Yoe Kim Lay. Buku ini menjadi sangat menarik karena J. Anto bukanlah sejarawan, meski untuk hal ini kita patut mengatakan ini: tulisan sejarawan yang dididik secara akademik kerap sulit dijangkau, baik dari sisi akses maupun “kerenyahan” isi. J. Anto pun mengisahkan Yoe Kim Lay demikian.
ADVERTISEMENT
Jalan yang dilaluinya untuk tiba di Tarutung tidaklah mudah. Sebelum mentari muncul, dia dan rombongan pedagang dari Sibolga sudah berangkat berjalan kaki menuju Tarutung. Jalan yang harus ditempuh belum dilapisi aspal, bahkan masih jalan setapak.
Jalan ini dikenal sebagai jalan “parlanja sira”, jalan bagi para pedagang garam. Segera meninggalkan Sibolga, jalan sudah berbukit, berlembah, berbukit, dan berlembah. Sangat terjal dan berkelok-kelok. Jarak Sibolga-Tarutung sejauh 66 kilometer itu ditempuh tiga hari dua malam berjalan kaki.
Sebelum memutuskan merantau ke Tarutung, ia bekerja sebagai buruh bongkar muat di Sibolga. Hingga suatu hari, seorang tauke orang Batak yang terkesan dengan keramahan dan kefasihannya bertutur dalam bahasa Batak, mengajaknya membantu usaha dagangnya di Onan Sitahuru, Sait Nihuta, satu nama tempat di Tarutung. Sehari menjelang tahun baru 1888, pada 31 Desember 1887, dia tiba di Sait Nihuta. Saat itu usianya 26 tahun dan belum menikah.
ADVERTISEMENT
Dari mana Yoe Kim Lay belajar bahasa Batak? Yoe Kim Lay lahir pada 2 Januari 1861 di Padangsidempuan. Ayahnya, Yoe Hap, adalah imigran dari Fujian. Pada 1850, Ia berlayar bersama saudaranya menuju Sumatera dan tiba di Padang untuk kemudian melanjutkan perantauannya ke Padangsidempuan, 400 kilometer dari Padang.
Lima tahun kemudian, Yoe Hap menikah dengan perempuan Batak, Adong boru Nasution, salah seorang putri pemuka masyarakat di daerah tersebut. Mereka dikaruniai tiga orang laki-laki dan enam orang perempuan. Yoe Kim Lay adalah anak sulung. Selain bahasa Melayu, bahasa Batak adalah bahasa sehari-hari mereka di rumah. Barangkali dengan latar inilah Yoe Kim Lay yang mempermudahnya merantau ke Tanah Batak, ke Tarutung, yang saat itu masih sering distigma sebagai daerah yang sangat berbahaya.
ADVERTISEMENT
Di Sait Nihuta, Yoe Kim Lay dipekerjakan tauke Batak itu sebagai kuli angkut barang. Tentu pekerjaan ini tidaklah ringan dan upahnya sedikit. Dua kali dalam seminggu dia harus bolak-balik Tarutung-Sibolga melewati jalan setapak yang berjarak 66 kilometer dengan menggandeng kuda. Upah yang dia terima tergantung dari berapa banyak barang yang diangkutnya.
Barang-barang yang dibawa adalah hasil hutan khas Tapanuli seperti kemenyan, kapur barus dan kopi. Dari Sibolga dia membawa barang dagangan untuk dijual di kedai sampah. Mau tak mau, Yoe Kim Lay harus hidup hemat. Dari upahnya yang sedikit itu, Yoe Kim Lay berhasil menyisihkan untuk ditabung.
Tidak butuh terlalu lama bagi Yoe Kim Lay beralih dari kuli barang menjadi pedagang sukses. Ketekunan, kerja keras, dan hidup hemat, serta keluwesannya bergaul dengan orang Batak, termasuk raja-raja Batak, membuatnya tak sulit membuka usaha dagang sendiri. Sebelum menikah dengan Lie Seng Lian Nio pada 1895, Ia sudah cukup dikenal sebagai pengusaha sukses Tarutung. Pada 1 Januari 1891, pemerintah Belanda menunjuknya sebagai aannemer transport, kontraktor transportasi. Kim Lay dipercaya mensuplai logistik untuk memenuhi kebutuhan tentara yang ada di tangsi militer di Tarutung, Laguboti, dan Pangururan. Ia juga ditunjuk sebagai pachpos (pengantar surat).
ADVERTISEMENT
Sekitar 1900-an, Yoe Kim Lay mengembangkan usahanya dengan mendirikan toko Provisien & Drunken. Toko itu menjual roti, minuman dan distributor berbagai barang untuk kebuuthan orang Eropa. Yoe Kim Lay juga tercatat sebagai pembuka jalan paling awal bagi bisnis penginapan di Tarutung. Pada 1915, Kim Lay mendirikan Hotel Silindoeng.
Suatu hari, adik ipar Kim Lay dibawa dari Sibolga ke Tarutung untuk berobat. Adik iparnya sudah lama mengalami sakit yang cukup parah. Ia pun berobat ke rumah sakit zending di Tarutung, yang saat itu peralatan medisnya cukup modern.
Namun, nasib berkata lain. Adik iparnya meninggal dunia. Yoe Kim Lay bingung: di mana dia dimakamkan? Ia pun menjumpai seorang sahabatnya, Frederick Lumbangtobing, seorang raja huta (kampung) Simaung-maung, tak jauh dari Tarutung.
ADVERTISEMENT
Raja huta itu kemudian memberikan tanah kebun ubi miliknya untuk menguburkan adik iparnya. Tahun 1904, anak laki-laki Kim Lay yang kedua meninggal dunia. Ia pun dimakamkan di sana. Akhirnya Kim Lay mengganti rugi lahan itu sebesar 25 ringgit maryam untuk dijadikan pemakaman orang Tionghoa.
Hal paling penting dari perjalanan hidup Yoe Kim Lay adalah ketika dia ditunjuk pemerintah sebagai kontraktor untuk membangun jalan Sibolga-Tarutung sepanjang 66 kilometer. Jalan ini dikenal sebagai “jalan seribu tiga ratus kelok”. Jalan itu dikerjakan dari 1915-1919. Setelah jalan itu selesai, Yoe Kim Lay diundang Vorstman, Residen Tapanuli, dan menanyakan jumlah seluruh biaya yang dikeluarkan.
Yoe Kim Lay menunjukkan catatannya yang seluruhnya berjumlah f40 ribu. Vorstman langsung memujinya sebagai kontraktor yang baik dan jujur. Bahkan, Vorstman melebihkan f60 ribu kepada Kim Lay. f20 ribu adalah bonus untuk kerja kerasnya. Kim Lay juga diberikan sebuah jam berlapis emas oleh Ratu Belanda untuk jasa Kim Lay. Selain itu, pada 9 Agustus 1921 Kim Lay diberikan erpacht (konsesi lahan) sekitar 250 hektare. Tanah itu kemudian ditanami pohon karet.
ADVERTISEMENT
Selain membangun jalan, Yoe Kim Lay juga banyak membangun ruko di pusat kota Tarutung, baik untuk disewakan maupun karena pesanan. Ia juga dipercaya membangun komplek perkantoran dan pemukiman orang Belanda dan juga bangunan penjara di Tarutung. Kawasan ini sekarang dikenal dengan ‘tangsi’.
Pada 1916, pemerintah Belanda diangkat sebagai Wijkmeester der Chinezen Tarutung. Jabatan ini diembannya hingga 4 Januari 1933. Tugas utamanya adalah mengurus masalah keamanan orang Tionghoa Tarutung, mengurus administrasi penduduk Tionghoa, dan juga diperbolehkan memungut pajak orang Tionghoa.
Depresi Ekonomi dunia pada 1930-an membangkrutkan Yoe Kim Lay. Ia dikenakan pajak Oorlogswinstbelasting atau pajak keuntungan dan keadaan darurat. Pajak itu sedemikian tinggi sehingga Kim Lay harus menjual semua asetnya. Yoe Kim Lay kemudian memutuskan pindah ke perkebunan karet miliknya.
ADVERTISEMENT
Sebelum Depresi Ekonomi melanda, pada 1930 Yoe Kim Lay dan semua keluarganya dibaptis sebagai penganut agama Kristen di gereja HKBP Pearaja, Tarutung. Dan ketika dia bangkrut, dia memutuskan menjadi penginjil HKBP. Dia berjalan kaki hingga ke Barus untuk menyebarkan injil.
Pada zaman pendudukan Jepang, setiap orang merasakan jeritan hidup. Yoe Kim Lay saat itu boleh dikatakan tidak terlalu melarat. Kebijakan Jepang menimbun bahan-bahan makanan membuat masyarakat susah mendapatkan beras. Yoe Kim Lay membagi-bagikan berasnya ke tetangganya. Beras itu adalah hasil dari sawahnya sendiri yang berada di kawasan kebun karet. Ia juga menyumbang piano untuk gereja. Saat itu piano masih tergolong barang mewah.
Ketika Yoe Kim Lay meninggal dunia pada 26 Agustus 1948, lagu-lagu rohani yang dibawakan grup musik tiup Aek Doras dari HKBP Sibolga Julu berkumandang di rumah duka. Orang Batak memberikan penghiburan. Doa tulus dipanjatkan untuk sosok yang sepanjang hidupnya dikenal sebagai orang yang suka menolong dan berderma. Mereka mencintai Yoe Kim Lay.
ADVERTISEMENT
Tarutung berhenti berkembang?
Tarutung zaman kolonial dihuni beragam suku. Orang Tionghoa mestilah disebut di dalamnya. Tak berhenti sampai di sana, orang Tionghoa berandil besar menjadikan kota ini menjadi kosmopolit, juga multikultur. Yoe Kim Lay dalam beberapa titik meleburkan ketionghoaannya untuk menjadi Batak. Demikian juga dia tidak mengabaikan Batak untuk menjadi Tionghoa. Dialah peranakan Tionghoa-Batak. Dia bergaul sangat luwes dengan orang Batak. Dia sangat fasih berbahasa Batak. Dan dia Kristen.
Jauh di abad berikutnya, seorang teman berkata, “Tak ada yang berubah dari kota ini. Sepuluh tahun lalu ke mari, semuanya masih persis sama. Kota ini mandeg, tidak berkembang.” Padahal, tahun 1938, ketika Sitor Situmorang bersekolah di kota ini, dia mengenang kota ini sebagai kota yang sangat hidup, dihuni beragam suku, dan fasilitas kotanya nyaris lengkap untuk disebut sebagai kota pendidikan.
ADVERTISEMENT
TB Simatupang juga menempatkan Tarutung sebagai tempat yang sangat istimewa baginya. Dia bersekolah di Christelijke Meer Uitgebreid Lager Onderwijs Dr. Nommensen atau Christelijke MULO Dr. Nommensen. Waktu itu MULO ini termasuk yang terbaik di seluruh Hindia Belanda. Bagi Sitor Situmorang dan TB Simatupang, Tarutung adalah jalan pental, jalan singgah, sekaligus jalan antara. Jalan baru menuju dunia luar dan menikmati kemajuan untuk kemudian menjadi warga global.
Tak ada jawaban pasti untuk keluhan teman saya tersebut. Namun, kisah hidup Yoe Kim Lay membersitkan sesuatu yang sering kita lupakan meski itu adalah bagian hakiki dari diri kita: keberagaman. Untuk menghidupi kota keberagaman adalah keniscayaan. Boleh jadi, yang “menghentikan” Tarutung berkembang adalah tergerusnya keberagaman itu.
ADVERTISEMENT