Apakah Perang Dagang Amerika Serikat dan China Berdampak Pada Setiap Negara?

Diane Modela Raythmica
an International Relations Student in Universitas Muhammadiyah Yogyakarta
Konten dari Pengguna
14 Januari 2021 20:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diane Modela Raythmica tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Negara dan pasar merupakan dua komponen yang tidak dapat dipisahkan. Hal ini disebabkan karena negara merupakan sebagai perwakilan politik dan pasar dari sebuah negara, yang di dalamnya memiliki keterkaitan satu dengan yang lainnya. Sektor ekonomi yang erat kaitannya memiliki upaya untuk mencapai sebuah kekayaan atau kemakmuran sebuah negara. Lalu, ada sektor politik juga yang erat kaitannya dalam upaya untuk pencapaian kekuatan atau kekuasaan yang menjadikan sebuah negara dan pasar berada di tingkat internasional.
ADVERTISEMENT
Dalam dunia perekonomian, setiap negara memiliki hak dan kedaulatannya dalam membuat sebuah kebijakan. Dalam pembuatan kebijakan tersebut, negara tidak bisa sewenang-wenang karena kebijakan sebuah negara bisa berdampak pada negara lain, apalagi negara yang memiliki hubungan bilateral dalam bidang perdagangan.
Amerika Serikat dan China merupakan negara dengan kekuatan ekonomi terbesar di dunia. Diketahui bahwa Amerika Serikat (AS) dan China terlibat dalam perang dagang. Perang dagang merupakan konflik ekonomi yang diwujudkan dengan diberlakukannya kebijakan untuk pembatasan impor antar negara. Perang dagang antara kedua negara tersebut merupakan fenomena saling berbalas tarif yang telah menarik perhatian para studi Hubungan Internasional di seluruh dunia. Sejak China bergabung menjadi anggota World Trade Organization (WTO), hal tersebut telah menimbulkan masalah khususnya bagi negara-negara berpenghasilan tinggi, termasuk Amerika Serikat. Nilai ekspor China yang justru berdampak negatif bagi Amerika Serikat telah membuat Presiden AS, Donald Trump merasa kesal karena neraca perdagangan Amerika Serikat selalu mengalami defisit dengan China. Dalam upaya untuk memperbaiki neraca perdagangan Amerika Serikat, Presiden Donald Trump akan membuat kebijakan yaitu dengan menaikkan tarif impor terhadap lebih dari 1.300 jenis komoditas yang berasal dari China.
ADVERTISEMENT
China yang merupakan kekuatan ekonomi terbesar kedua di dunia ini tidak hanya tinggal diam terhadap kebijakan yang dilakukan oleh Presiden Amerika Serikat tersebut. Presiden Tiongkok, Xi Jinping melakukan tindakan pembalasan dan mengumumkan untuk menaikkan biaya tarif atas produk impor Amerika Serikat sebesar US$ 3 Miliar pada komoditas alumunium dan baja pada 23 Maret 2018. Beijing memberlakukan tarif sebesar 15% untuk 120 komoditas seperti almond dan apel Amerika Serikat. Hal tersebut sangat berpotensi akan terjadinya perang dagang. Perang dagang tersebut tidak hanya mebatasi impor antar negara saja, tetapi juga meningkatkan bea masuk barang, dan membuat batas nilai barang yang masuk menjadi lebih tinggi.
Hasil dari kebijakan yang dikeluarkan oleh Amerika Serikat dan China.
ADVERTISEMENT
Setelah mengeluarkan kebijakan yang mengakibatkan perselisihan, akhirnya China dan Amerika Serikat melakukan pertemuan mengenai resolusi konflik perdagangan di Beijing pada tanggal 3-7 Mei 2018. Pada pertemuan ini, Amerika Serika menuntut agar China mengurangi kesenjangan perdagangan sebesar US$ 200 Miliar dalam waktu dua tahun. Tetapi pertemuan tersebut tidak membuahkan hasil. Amerika Serikat dan China mengumumkan bahwa kedua negara ini setuju untuk menaikkan ekspor pertanian dan energi Amerika. Setelah melewati serangkaian pertemuan, pada Januari 2020, Amerika Serikat dan China menentukan kesepakatan damai dagang fase I. China setuju untuk membeli barang dari Amerika Serikat senilai US$ 200 Miliar, pembelian produk pertanian dan makanan laut senilai US$ 32 Miliar, barang-barang pabrik seperti pesawat, mesin, baja, dan produk energi senilai US$ 52 Miliar.
ADVERTISEMENT
Perang dagang antara Amerika Serikat dan China menimbulkan kekhawatiran dan resiko dalam perekonomian global di masa mendatang. Kekuatan ekonomi terbesar dari kedua negara ini menimbulkan dampak bagi perekonomian dunia, termasuk Indonesia. Menurut International Monetary Fund (IMF), diperkirakan pada tahun 2019 perekonomian di dunia 3% lebih rendah dibandingkan proyeksi pada Juli 2019 sebesar 3,2%, dikarenakan terhambatnya perdagangan dan meningkatnya geopolitik yang mengakibatkan pertumbuhan ekonomi semakin menurun. Pada tahun 2019 lalu, bank-bank sentral melakukan pelonggaran kebijakan moneternya untuk mengurangi resiko penurunan pertumbuhan akibat melemahnya aktivitas ekonomi, dan mencegah peningkatan inflasi. Ketegangan perdagangan antara Amerika Serikat dan China juga berdampak pada pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) yang dipastikan mengalami penekanan sebesar 0,8% pada tahun 2020. Tetapi berbanding terbalik pada pertumbuhan sektor jasa, diperkirakan akan terus berlanjut hampir di seluruh dunia yang berarti pasar tenaga kerja dan konsumsi di negara maju tetap sehat dan stabil.
ADVERTISEMENT
Lantas bagaimana kondisi terbaru perang dagang Amerika Serikat dan China saat ini?
Dilansir dari CNN, Amerika Serikat dan China memutuskan untuk menandatangani kesepakatan damai perdagangan fase pertama pada Rabu, 15 Januari 2020, di gedung putih. Untuk beberapa hasil kesepakatan yang disebutkan di atas, untuk mencapai nilai kesepakatan itu, Amerika Serikat dan China memasang target setiap tahun. Misalnya, di tahun pertama untuk produk pabrik, China harus mencapai target pembelian senilai US$ 32,9 Miliar, dan di tahun selanjutnya senilai US$ 44,8 Miliar. Sementara itu, di tahun pertama untuk pos agrikultur, target yang dipasang senilai US$ 12,5 Miliar, dan ditahun selanjutnya senilai US$ 19,5 Miliar. Di sektor energi, target tahun pertama senilai US$ 18,5 Miliar dan ditahun selanjutnya senilai US$ 33,9 Miliar. Pada sektor layanan, target dipasang senilai US$12,8 Miliar dan ditahun selanjutnya senilai 25,1 Miliar.
ADVERTISEMENT
Menteri Luar Negeri China, Wang Yi, berjanji untuk menegakkan kesepakatan perdagangan jika Joe Biden resmi menjabat sebagai Presiden Amerika Serikat. Menurut Wang Yi, Beijing tetap berkomitmen pada kesepakatan perdagangan fase satu. Setelah kesepakatan perdagangan fase satu selesai, negosiasi kesepakatan perdagangan fase dua akan dimulai setelah Joe Biden menjabat pada 20 Januari 2021. Kesepakatan fase dua ini diagendakan mengenai reformasi struktural dan perubahan lain pada rezim ekonomi dan perdagangan China dibidang kekayaan intelektual, transfer teknologi, pertanian, layanan keuangan, dan mata uang serta valuta asing. Perubahan lebih lanjut dalam hubungan perang dagang antara Amerika Serikat dengan China masih harus menunggu hingga kesepakatan perdagangan fase dua nanti. Meskipun diprediksi hubungan tersebut belum langsung membaik, namun banyak pengamat yang meyakini bahwa Joe Biden akan lebih terbuka untuk mengadakan diskusi yang lebih luas dengan Beijing.
ADVERTISEMENT