Konten dari Pengguna

Anthony Reid: Sejarawan yang Membawa Batak ke Panggung Sejarah Dunia

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
10 Juni 2025 18:31 WIB
·
waktu baca 7 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Beberapa buku karya Anthony Reid. Foto: Dian Purba
zoom-in-whitePerbesar
Beberapa buku karya Anthony Reid. Foto: Dian Purba
ADVERTISEMENT
Anthony Reid meninggal dunia pada 8 Juni 2025. Dunia keilmuan berduka. Sejarawan kelahiran Selandia Baru tahun 1939 itu bukan hanya seorang intelektual kelas dunia, tetapi juga pelopor pendekatan baru dalam memahami Asia Tenggara secara menyeluruh. Reid memandang kawasan ini bukan sebagai kumpulan negara-negara terbelakang yang saling terpisah, melainkan sebagai jalinan budaya dan sejarah yang hidup dan saling terhubung.
ADVERTISEMENT
Namun di balik reputasinya sebagai ahli sejarah regional, ada satu sisi dari karya-karya Reid yang belum banyak disorot: kegigihannya menyuarakan dan merehabilitasi sejarah masyarakat Batak. Bagi Reid, sejarah Batak bukan sekadar studi etnografis, namun adalah pintu masuk untuk memahami bagaimana masyarakat yang disebut "pinggiran" oleh historiografi kolonial dan nasional, justru memiliki posisi strategis dalam sejarah Asia Tenggara. Reid melihat sejarah Batak dengan kaca mata baru, yakni sebagai bagian dari sejarah dunia, bukan catatan kaki belaka.
Sejarah yang Hilang, atau Dihilangkan?
Salah satu karya paling provokatif Anthony Reid adalah makalahnya tahun 2006 berjudul “Is There a Batak History?”. Pertanyaan ini bukan sekadar retoris, melainkan gugatan terhadap warisan kolonial dan nasionalisme Jawa-sentris yang menafikan komunitas tanpa birokrasi negara atau kerajaan besar sebagai bagian dari sejarah. Reid membongkar pandangan antropologis lama yang memenjarakan Batak dalam kategori budaya, adat, dan ritus semata. Ia mengkritik reproduksi ilmiah yang menempatkan masyarakat seperti Batak sebagai “yang lain”—tidak modern, tidak bersejarah, dan tidak penting secara politis.
ADVERTISEMENT
Dalam tradisi itu, sejarah ditulis oleh mereka yang berkuasa. Reid menyoroti bagaimana sejarah Batak tidak ditulis oleh "mereka yang berkuasa". Melalui penelusuran arsip Belanda, Jerman, serta wawancara lisan, Reid menyusun ulang narasi yang menunjukkan betapa dinamisnya masyarakat Batak dalam menanggapi kolonialisme, misi Kristen, dan transformasi sosial. Ia menyebut Batak sebagai "subyek sejarah yang telah lama dibungkam, tapi tak pernah benar-benar diam."
Dalam makalah tersebut, Reid membongkar mitos-mitos yang menempatkan Batak dalam ranah budaya semata. Ia mengkritik para etnografer kolonial dan peneliti pascakolonial yang memandang Batak sebagai masyarakat adat, terkungkung dalam adat dan ritus, seolah-olah tak pernah bergerak dalam arus sejarah besar. Pandangan ini, menurut Reid, adalah warisan kolonialisme intelektual yang mengasingkan komunitas-komunitas non-negara dari sejarah resmi bangsa.
ADVERTISEMENT
Lewat penelitian lintas arsip serta kajian lapangan dan tradisi lisan, Reid membuktikan bahwa masyarakat Batak memiliki sejarah yang kaya, dinamis, dan terhubung. Ia menelusuri bagaimana masyarakat Batak menavigasi tekanan kolonial, menegosiasikan kekuasaan misi Kristen, serta membangun identitas politik melalui marga, gereja, dan diaspora.
Perbudakan sebagai Cermin Relasi Kekuasaan
Salah satu tema penting dalam pembacaan Reid terhadap Batak adalah soal perbudakan. Dalam babnya di buku Slavery, Bondage and Dependency in Southeast Asia (1983), Reid mencatat bahwa perbudakan di tanah Batak terikat kepada relasi soisal yang fleksibel, di mana status budak dapat dinegosiasikan menjadi anggota marga atau keluarga besar. Sistem perbudakan ini berbanding terbalik dengan sistem perbudakan di Karibia atau Amerika yang berlangsung brutal.
ADVERTISEMENT
Namun, Reid tidak meromantisasi sistem ini. Ia tetap mengakui keberadaan kekerasan dan ketimpangan, tetapi menekankan bahwa struktur sosial Batak melibatkan kompleksitas integrasi, bukan sekadar eksploitasi. Budak di tanah Batak bukan hanya objek ekonomi, tetapi juga bagian dari strategi sosial dan politik yang menjamin aliansi antar-kelompok.
Yang paling mencolok adalah penelusuran Reid tentang jalur perdagangan budak Batak yang menghubungkan hulu-hutan Sumatra dengan pelabuhan seperti Padang, Sibolga, bahkan Penang dan Singapura. Orang Batak, terutama perempuan, diperjualbelikan dalam skala besar sebagai pelayan rumah tangga, penghibur, atau buruh kontrak. Fakta ini menunjukkan bahwa masyarakat Batak bukan masyarakat tertutup, melainkan bagian dari jaringan kekuasaan dan ekonomi yang jauh melampaui batas wilayah mereka.
Batak dalam Peta Besar Asia Tenggara
ADVERTISEMENT
Melalui kacamata Reid, sejarah Batak adalah bagian integral dari sejarah Asia Tenggara. Dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga I dan II dan juga dalam Slavery, Bondage and Dependency, ia menunjukkan bagaimana masyarakat seperti Batak, Dayak, dan Nias memainkan peran penting dalam rantai produksi dan distribusi regional.
Barus dan Silindung, misalnya, adalah simpul penting dalam jalur perdagangan kemenyan, kapur barus, dan hasil hutan lainnya. Komoditas ini menjadi barang dagangan utama yang menghubungkan Batak dengan pesisir timur Sumatra, Malaka, hingga India dan Tiongkok. Reid menggambarkan peran Batak sebagai "penyedia spiritual dan material" bagi dunia Asia Tenggara. Kemenyan dari hutan Batak digunakan dalam ritus keagamaan Hindu, Buddha, dan Tao di berbagai belahan Asia.
ADVERTISEMENT
Leonard Y. Andaya dalam Leaves of the Same Tree (2008) memperkuat perspektif ini, menunjukkan bahwa identitas etnis seperti Batak bukanlah entitas statis, melainkan hasil dari interaksi dan pertarungan kekuasaan dengan kelompok seperti Aceh dan Melayu. Reid menerjemahkan dinamika ini dalam konteks mikro-lokal Batak, sembari membuka cakrawala global yang melingkupinya. Dengan menempatkan Batak dalam arus perhubungan regional, Reid membantah tesis lama yang melihat masyarakat pedalaman hanya sebagai objek pasif, dan justru menegaskan peran aktif mereka dalam membentuk pasar, budaya, dan struktur kekuasaan Asia Tenggara.
Melawan Narasi Nasional
Karya Reid Imperial Alchemy: Nationalism and Political Identity in Southeast Asia (2010) adalah kritik tajam terhadap narasi sejarah nasional yang diproduksi negara. Ia menunjukkan bagaimana negara-negara pascakolonial, termasuk Indonesia, sering kali mereproduksi cara pandang kolonial: menempatkan sejarah Jawa sebagai pusat, dan sejarah daerah lain sebagai periferal.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks Batak, Reid memperlihatkan bagaimana narasi resmi negara mengabaikan kontribusi komunitas ini dalam membangun republik. Ia mengkritik buku-buku sejarah nasional yang terlalu berpusat pada figur seperti Soekarno dan kerajaan besar seperti Majapahit, sementara gereja-gereja Batak, perlawanan terhadap penjajahan, serta dinamika lokal sama sekali terpinggirkan.
Namun Reid tidak menolak sejarah nasional. Ia justru mengajak kita memperluasnya. Ia menyebut Huria Kristen Batak Protestan (HKBP) bukan hanya sebagai gereja, tetapi sebagai institusi politik dan sosial yang menciptakan elite Batak modern. Dalam pandangannya, “gereja Protestan di tanah Batak bukanlah transplantasi Barat semata, melainkan alat negosiasi identitas lokal dalam struktur global.”
Robert Cribb, dalam buku suntingan Geoff Wade dan Li Tana Anthony Reid and the Study of the Southeast Asian Past (2012), menyebut pendekatan Reid sebagai “sejarah yang menjanjikan masa depan.” Ia bukan sekadar merekonstruksi masa lalu, tetapi membebaskan subjek sejarah dari bungkam institusional. Sejarah Batak, dalam tangan Reid, bukan sekadar studi lokal, melainkan arena resistensi terhadap hegemoni epistemologis.
ADVERTISEMENT
Dalam Asia Tenggara dalam Kurun Niaga jilid I dan II, Reid mengembangkan pendekatan yang kini dikenal sebagai "connected history." Ini adalah cara membaca sejarah dengan menekankan keterkaitan antarwilayah, bukan keterpisahan. Dalam konteks Batak, pendekatan ini memunculkan pemahaman baru: bahwa tanah tinggi Sumatra bukan kawasan terpencil, melainkan bagian dari dunia yang saling terkait melalui dagang, agama, dan perbudakan.
Reid mengajak kita membaca sejarah Batak dari sumber yang beragam: tradisi lisan, prasasti di tugu leluhur, motif ukiran rumah adat, dan puisi adat (umpasa). Ia memperlakukan sumber-sumber ini dengan penghormatan yang sama seperti arsip kolonial. Ia percaya bahwa sejarah harus berpijak pada memori kolektif, bukan hanya dokumen resmi.
Melanjutkan Warisan Reid
Anthony Reid telah membuka jalan, tetapi langkah kita belum usai. Ia memberi arah yang jelas bagi pembacaan sejarah Batak sebagai bagian penting dari sejarah Asia Tenggara—bukan sebagai catatan pinggiran, melainkan sebagai narasi yang penuh dinamika dan makna. Namun, tugas besar itu kini berada di tangan generasi baru sejarawan Batak.
ADVERTISEMENT
Tantangan pertama adalah melanjutkan kerja arsip yang telah Reid mulai. Ia baru menyentuh permukaan dari gudang pengetahuan yang tersimpan di Jerman, Belanda, dan Indonesia. Di balik arsip-arsip tersebut, dalam surat-menyurat antar misionaris, masih tersembunyi banyak kisah yang menunggu untuk diungkap dan ditafsirkan ulang.
Lebih dari itu, perlu dibangun sebuah historiografi dari bawah. Suara-suara yang selama ini terpinggirkan—para petani, perempuan, dan pemuka adat—harus mendapat tempat sejajar dalam narasi sejarah resmi. Mereka bukan hanya saksi, tetapi juga pelaku dalam arus perubahan yang membentuk identitas Batak hari ini.
Di era digital, sejarah tak harus tinggal di rak buku. Ia bisa hidup dalam podcast, dokumenter, dan narasi visual yang menghidupkan kembali masa lalu bagi generasi muda. Teknologi memberi peluang untuk menyampaikan sejarah dengan cara yang segar, kreatif, dan mudah diakses.
ADVERTISEMENT
Dan yang tak kalah penting, sejarah harus menjadi milik bersama. Gereja, lembaga adat, dan universitas lokal perlu dihidupkan sebagai ruang-ruang dialog sejarah yang terbuka. Di sana, tafsir ulang masa lalu bisa diuji, diperdebatkan, dan diperkaya—bukan demi kebenaran tunggal, tetapi demi pemahaman yang lebih jujur dan inklusif.
Melanjutkan warisan Reid bukan sekadar mengenangnya. Itu berarti berani menggali, menulis, dan merumuskan sejarah Batak dengan keberanian dan kedalaman yang sama—tapi dengan suara kita sendiri.
Anthony Reid bukan orang Batak. Tapi tak berlebihan jika disebut bahwa ia adalah sahabat intelektual Batak paling setia. Ia tak hanya membuka pintu bagi sejarah Batak untuk tampil ke permukaan, tetapi juga membuktikan bahwa suara dari pinggiran bisa dan layak didengar di panggung dunia.
ADVERTISEMENT
Sejarah, bagi Reid, adalah soal keadilan dan keberanian. Ia menulis bukan hanya dengan pena, tetapi dengan empati. Dan warisan itu, kini menjadi tanggung jawab kita untuk merawat dan meneruskannya. Selamat beristirahat di keabadian, Ompung Reid.