Oleh-oleh dari Festival Literasi Balige

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
31 Juli 2022 0:21 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Saut Situmorang membacakan puisi "Samosir" di Festival Literasi Balige. Foto: Dian Purba.
zoom-in-whitePerbesar
Saut Situmorang membacakan puisi "Samosir" di Festival Literasi Balige. Foto: Dian Purba.
ADVERTISEMENT
Tidak mudah menyelenggarakan sebuah festival literasi. Lebih-lebih yang bertempat jauh dari ragam fasilitas yang mendukung untuk itu. Bukan. Bukan hendak mengatakan: jumlah sekolah berbanding lurus dengan ketinggian keberaksaraan. Katakanlah demikian. Artinya, salah satu aktivitas literasi adalah itu, bersekolah lalu menjadi literer.
ADVERTISEMENT
Balige. Setidaknya tempat ini baru saja mengatakan sekelumit, atau sepintasan, bahkan berujar tentang lapis-lapis literasi. Festival Literasi Balige sudah berakhir. Kegiatan yang dihelat dari 27 hingga 30 Juli itu menyediakan cermin besar. Sejatinya cermin senantiasa menyediakan ruang refleksi. Juga ruang evaluasi. Lalu, apa yang hendak direfleksikan? Apa yang hendak dievaluasi?
"Ini menjadi laboratorium sosial," ujar Patrick Lumbanraja, Koordinator Festival Literasi Balige. Patrick memerlukan mencakapkan hal-hal pahit tentang rangkaian Festival itu sebelum tiba pada: "Semoga akan berlanjut ke yang ke-2, ke-3, ke-4." Dan memang, Patrick paham betul akan hal itu. Hal-hal sulit yang selalu menggelayuti pelaku-pelaku literasi. Patrick kemudian menambahkan, "Ini menjadi semacam pemetaan. Kita menjadi tahu di mana letak semangat itu, siapa-siapa yang semangatnya menyala, dan dari sana kita berangkat menuju langkah berikutnya."
ADVERTISEMENT
Mari saya ceritakan hal-hal berikut. Dan tentu saja cerita ini tidak akan begitu mendalam karena saya cenderung menceritakannya dari sisi "penonton".
Festival Literasi Balige sudah diselenggarakan secara online sebelum offline (27-30 Juli 2022). Dari beberapa pertemuan zoom, 15 Mei hingga 16 Juli, panitia membahas beberapa tema yang sangat beragam: transformasi Balige; bahasa ibu dan pemajuan kebudayaan; ulos; pendidikan sastra di sekolah; kuliner dalam budaya lokal; komunitas penggerak literasi; arsitektur, ekologi, dan lanskap Toba; budaya digital, film, dan Pariwisata; pengetahuan dan seni tradisional. Artinya: panitia Festival sangat sadar betul literasi tak sekadar dunia tulis-menulis.
Hingga di sore yang mendung, di hari Rabu, 27 Juli 2022. Acara offline-nya pun dibuka di tempat yang sangat ikonik: Tugu DI Panjaitan. Musik Batak mengalun. Tilhang Gultom dihadirkan dalam lagu opera. Seruling mengiringi tortor. Dan kata sambutan bersahut-sahutan. Namun, bagi saya, hal yang paling istimewa adalah: mengamati pengunjung.
ADVERTISEMENT
Di sebelah sana terpajang ratusan buku. Dan itu dia: pemandangan yang mengikuti buku, atau katakanlah takdirnya buku, selalu berulang. Dia tidak digemari. Dia tidak dibeli. Dan sepilah dia. Sunyi ditinggal. Hampa tak dibaca.
Setidaknya, itulah dulu. Setidaknya tak banyak yang berubah sebelum kegembiraan yang baru segera tiba: teman lama tiba-tiba menyapa. "Kau tak berubah. Lihat wajahmu, sama. Berapa tahun kita tidak bertemu?" katanya. Tentu saja obrolan di sepuluh menit pertama berkutat di nostalgia. "Ah, dulu itu ya"; "Masih ingat nggak tentang ini?"; dan yang lain-lainnya itu.
Selepas itu kami pun bercakap: sepertinya panitia Festival kurang mempersiapkan segala sesuatunya. Saya menimpali: "Atau kurang dana?" Tidak mudah memang mengatakan ini. Namun, tidak sulit juga menemukan sedari awal: Festival Literasi Balige yang offline naga-naganya mengalami kemacetan di beberapa titik. Katakanlah: penataan panggung pembukaan. Memang dana yang cukup bisa mempercantik banyak hal. Namun, dana yang cukup dan persiapan yang kurang matang bisa mendatangkan hal yang lain. Akan tetapi, hal terakhir yang disebutkan itu mesti disingkirakan sejauh mungkin. Saya lebih mempercayai ini: persiapan yang matang bila tidak didampingi dana yang cukup bisa membuat titik-titik bolong.
ADVERTISEMENT
Bagaimana dengan Balige? Kota jenis apakah ini? Kota pendidikan, kataku. Namun, di mana anak sekolah ketika salah satu acara Festival adalah "sastra masuk sekolah"? "Tak banyak yang ikut," ujar salah seorang sastrawan yang diundang panitia menjadi pengajar di "sastra masuk sekolah". Di mana letak kelirunya?
Saya membayangkannya begini: Pemerintah memiliki segalanya untuk mendukung Festival Literasi Balige. Setidaknya, setiap acara zoom, dari 15 Mei hingga 16 Juli itu (10 kali diskusi virtual), Bupati Toba selalu memberi kata sambutan. Sekecil-kecilnya duga: Pemerintah bagian tak terpisahkan dari acara ini. Namun, Pemerintah menyediakan lobang menganga di acara offline dengan tidak melibatkan beberapa sekolah di Balige menjadi pelaku aktif acara ini. Begitukah? Boleh jadi. Festival ini sepi dari siswa sekolah. Begitukah? Yah. Toh, sastrawan yang diundang panitia untuk seluruh rangkaian kegiatan bukanlah mereka yang baru kita kenal kemarin sore. Mereka sudah menasional.
ADVERTISEMENT
Saya tidak tahu, apakah demikian halnya atau ada hal-hal lain di luar dugaaan ini. Tapi, Balige memiliki ribuan murid sekolah yang bisa diajak bergembira berliterasi bersama. Saya harus mengatakan ini karena diskusi virtual yang sepuluh kali itu diikuti banyak peserta dan hampir semuanya diisi oleh mereka yang bukan anak sekolah.
Hal lain yang mesti dikatakan jujur adalah Festival Literasi Balige lebih bergema di media sosial. Melihat langsung festival ini ke lokasi, boleh jadi, kita akan berujung kecewa. Saya melihatnya sangat sederhana. Bukankah hal baik semestinya berhak didukung dengan sempurna? Saya menilainya begini: mobilisasi semangat panitia tidak segendang sepenarian dengan mobilisasi tempat dan peserta. Tentang peserta, ya itu tadi, Pemerintah semestinya memaksimalkan perannya. Bagaimana dengan tempat? Venue acara tampak tidak sempurna. Saya tidak berani menduga-duga penyebabnya. Tapi, dari yang terlihat, boleh jadi, ada semacam keengganan beberapa kalangan membatasi diri "merelakan" tempatnya dijadikan lokasi eksplorasi literasi. Meski sesungguhnya tempat itu, justru, menjadi area paling representatif untuk berliterasi.
ADVERTISEMENT
Balige, dan juga Tarutung, dikenal karena kualitas sekolah-sekolahnya. Dua tempat ini memiliki sejarah panjang "mencetak" tokoh-tokoh nasional. Bisa jadi, sekarang ini, Tarutung sudah tertinggal jauh dari Balige. Dan sepertinya itu benar adanya. Aura Balige kini adalah aura percepatan. Segala sesuatunya terasa berjalan lebih cepat. Balige seakan-akan mengatakan: kami sedang bergegas. Sementara Tarutung terlihat jelas: segala sesuatunya terasa berhenti berkembang. Namun, Festival Litesi Balige mengatakan satu hal yang teramat penting: kedua tempat ini tidak pernah berpisah dan tidak akan pernah terpisahkan. Namun, Festival Literasi Balige menegaskan: literasi adalah pengikat mereka. Saya sangat gembira mengatakan ini.
Acara penutupan Festival diadakan di sebuah resto di tepi danau Toba. Musik kembali mengalun. Lagu-lagu Tilhang Gultom kembali dikumandangkan. Sambutan dan ucapan-ucapan lain kembali bersahutan. Namun, bisik-bisik tersebar pula di meja-meja. Bisik-bisik itu bukanlah bisikan mencibir, namun bisikan cinta. Tak mudah menyelenggarakan sebuah festival literasi. Sebegitu tidak mudahnya sampai-sampai membuncahlah semangat ini: Festival ke-2 harus dilaksanakan. Dan itu mestilah berangkat dari evaluasi menyeluruh untuk Festival yang pertama.
ADVERTISEMENT
Sampai bertemu di Festival Literasi Balige ke-2. Tahun depan.