Serendipity: Catatan Kecil Seorang Guru

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
5 Mei 2022 14:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kampus IAKN Tarutung. Foto: koleksi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kampus IAKN Tarutung. Foto: koleksi pribadi
ADVERTISEMENT
Semua sudah terbentang di atas meja. Keputusan mesti segera diambil. Kertas-kertas yang sedari tadi dipelototi itu berisi kompleksitas yang mesti diurai. Betapa tidak: hampir seratus mahasiswa sudah di tubir jurang. Kembali kertas-kertas itu dipandangi. Hendak diapakan semua nama-nama ini? Apakah sebaiknya mereka di-drop-out massalkan? Atau dikenakan sanksi akademik? Sang “Kepala Mahasiswa", Pembantu Dekan III, Departemen Gizi IPB, tersebut memutuskan mengambil jedah, menggunakan jarak-antara: antara keputusan dengan kemanusiaan.
ADVERTISEMENT
“Bila sedang kosong, datanglah ke ruangan saya,” pesannya ke satu mahasiswa S3, yang kebetulan mahasiswa bimbingannya. Segera dipersilakan masuk begitu pintu diketok. Ditunjukkannya bentangan kertas di atas meja. “Harus diapakan mereka semua?” tanyanya. “Bantulah saya memikirkannya sebelum keputusan diambil.”
Dia lalu bercerita: dari semua mahasiswa yang tercatat namanya di kertas itu, 80 persen adalah orang Batak. Mereka berkuliah tapi tidak “ingat” tamat. Mereka berkuliah tapi “lupa” kuliah. Mereka berkuliah namun belum mendarahdagingi lingkungan akademik kampusnya, bahkan hingga mereka sudah di semester dua belas. Mereka mahasiswa yang sudah semestinya di-drop-out. “Beri saya masukan,” pintanya lagi.
Bukan kepalang rasa terkejut mahasiswa calon doktor tersebut. Apakah karena dia anak bimbingan Pembantu Dekan III itu sehingga dia dimintai pertimbangan? Ataukah persentasi mahasiswa bermasalah yang semestinya diberhentikan itu 80 persen orang Batak? Ia merasa tak pantas. Namun, Ia sudah duduk depan-depanan dengan pembimbingnya itu. Dia sudah dipanggil khusus untuk dimintai pendapat. Dan pendapat mestilah diberikan.
ADVERTISEMENT
“Karena saya harus memberi pendapat, maka akan saya utarakan,” akhirnya dia memulai setelah terdiam beberapa saat. “Bila Bapak memiliki kewenangan untuk membantu mereka, Bapak pergunakanlah kewenangan itu.” Kalimat itu mengalir namun sedikit terasa berat mengucapkannya. “Namun,” pintanya. “Bila masih ada ruang untuk “memutihkan” mereka, ijinkanlah saya menceritakan sesuatu,” lanjutnya.
Betapa bahagia menjadi orang Batak. Terlebih bila hendak melanjutkan sekolah di kota. Pagi-pagi betul Ibu sudah bangun. Suasana dapur lebih riuh dari yang biasanya. Ikkan mas sudah dibersihkan. Ayam di sudut dapur pun sudah dipotong. Judul utama hari itu adalah paborhatton ianakhon sikkola, memberangkatkan anak sekolah. Ini adalah tahapan kehidupan ke sekian pada hidup orang Batak. Anakhon hi do hamoraon di ahu. Anaklah segalanya. Apa saja harus dikerjakan demi menyekolahkan anak.
ADVERTISEMENT
Semua sudah tersaji. Amangboru/Namboru, Tulang/Nantulang, Amanguda/Inanguda, Bapatua/Umatua, dan saudara-saudara lainnya diundang ke rumah. Doa dirapalkan. Nasehat diamanatkan. Harapan diletakkan. Anak diberangkatkan dan berangkatlah Ia membawa semua itu. Dipundaknya terletak beban: harapan besar orangtua dan semua saudara, harapan melenting ke atas.
“Bila masih memungkinkan,” ujar mahasiswa S3 itu kembali, “berilah mereka kesempatan. Di pundak mereka terletak kebahagiaan semua keluarga mereka yang di kampung halaman. Di pundak mereka tersimpan cita-cita orangtua, bahkan cita-cita kampung halamannya,” ujarnya. “Terima kasih banyak,” ujar Pembantu Dekan sembari mengantarkan anak bimbingannya hingga ke pintu.
Keesokan harinya, Pembantu Dekan menghubunginya lewat telepon. “Sudah saya lepaskan. Semuanya,” katanya di ujung telepon. Rasa haru tak karu-karuan menyelimuti hati si calon doktor. Tidak semata karena 80 persen dari yang terancam diberhentikan itu orang Batak, namun ada perasaan tak terungkapkan menggelayuti hatinya. Mereka diberi kesempatan, sekali lagi, menuntaskan studi. Bahkan, Pembantu Dekan III itu sendirilah yang pergi ke kantor pos mengantarkan surat “pembebasan” itu ke masing-masing alamat orangtua mahasiswa.
ADVERTISEMENT
Selang beberapa tahun, setelah Ia sudah menyandang gelar doktor dan sudah mengabdi di almamaternya, Ia kembali bertemu dengan pembimbingnya itu, namun dengan kisah lain.
Ia sudah duduk di sudaco, sebutan orang Medan untuk angkutan umum, menuju kampus. Telepon genggamnya berbunyi. “Halo, Pak. Selamat pagi. Apa kabar?” Sapaan itu begitu akrab. “Saya sekarang lagi di satu hotel di kotamu. Bolehkah kita bertemu sebentar sebelum saya berangkat ke bandara?” Ia tidak turun di simpang kampus, namun langsung menuju hotel. Ia teringat satu hal: oleh-oleh. Namun, sebelum diputuskan mau membeli oleh-oleh apa, sudaco sudah tiba di depan hotel.
“Begini,” kata tamu spesial itu. “Saya cuma mengantarkan ini saja,” sembari menjulurkan sebuah amplop. Ampop itu diterimanya. Tanpa sempat mengucapkan apa-apa, “Ini honor penelitian kita itu,” ujar promotor doktornya. Ia kemudian teringat, dua tahun sebelumnya mereka melakukan penelitian bersama. “Ambil saja Pak. Bapak lebih membutuhkannya,” tambahnya.
ADVERTISEMENT
Sampai di sini semua terasa masih berjalan normal. Namun, “Acara apa yang membawa Bapak ke kota ini? Adakah seminar?” tanyanya. “Tidak. Sama sekali tidak. Saya hanya menghantarkan honorarium Bapak ini saja, biar tidak mengganjal di hati,” jawabnya. “Tadi malam saya tiba, dan pesawat saya sebentar lagi take-off,” tambahnya. Tergesa-gesa Ia menuju kasir hotel. Lalu, amplop berisi uang itu dibukanya hendak membayarkan biaya hotel. “Sudah dibayar, Pak,” ujar resepsionis. Kemudian, Ia buru-buru ke lobi. “Mohon tunggu sebentar, Pak. Saya belikan sekadar oleh-oleh.” “Kapan-kapan, Pak. Masih banyak waktu,” ujarnya menghentikan niatnya membeli buah tangan. Taksi sudah menunggu di depan hotel sedari tadi. Ia terduduk melihat taksi berlalu sembari melirik isi amplop.
Pagi harinya, sebelum berangkat ke kampus, dan sebelum menerima telepon dari dosennya itu, Ia sedang bergumul. Ia sedang sangat membutuhkan sejumlah uang. Dan sangat mendesak. Dan jumlahnya terbilang tak sedikit. Begitulah. Serendipity. Kenapa mesti hari itu Ia menerima telepon? Kenapa mesti hari itu Ia berjumpa dengan mantan pembimbingnya? Kenapa pula amplop itu mesti ada hari itu?
ADVERTISEMENT