Tarutung, Dulu Sitor Singgah di Sini

Dian Purba
Dosen IAKN Tarutung, Peneliti Toba Initiatives
Konten dari Pengguna
11 April 2022 21:44 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dian Purba tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kota Tarutung. Foto: Koleksi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Kota Tarutung. Foto: Koleksi Pribadi
ADVERTISEMENT
Sungai itu, sesaat saya tiba di kota ini, menarikku sedikit dalam. Dua jembatan, dan beberapa jembatan kecil, menghubungakan kedua sisi sungai. Tarutung. Tarikan sungai itu sesungguhnya tidak terasa baru, namun sedikit istimewa. Istimewa lantaran saban hari saya akan melihat dan dilihat sungai ini.
ADVERTISEMENT
Saat kota ini resmi menjadi tempatku tinggal, Ia membisikkan sesuatu: “Hmmm… kamu sudah di sini.” Sesederhana itu. Sesimpel itu. Bisikan itu, tentu saja, berbeda dengan kejadian ketika pada malam hari 20 tahun silam, saya melihat gemerlapan lampu di kota ini begitu menyihir. Betapa tidak, tiga jam kemudian saya sudah tiba di kampungku yang saat itu masih diterangi lampu teplok.
Tahun silam, saat memutuskan menyatu dengan kota ini, kami memutuskan menjelajahi Tarutung hingga ke sudut-sudutnya. Dan ternyata, kami menemukan ini: tempat yang seharusnya menjadi pusat justru menjadi terlihat tersudut. “Jalan di tengah ini akan merusak gedung ini,” kataku kepada temanku begitu kami tiba di gereja HKBP pertama di dunia itu. Boleh jadi ini pulalah gereja pertama di dunia yang letak jalan raya paling dekat dengan gereja. Jalan itu pun menghilangkan “kesakralan” gereja itu. Karena: suara knalpot dan asapnya, getaran yang dihasilkan roda-roda mobil, dan lain lain, dan lain lain akan sangat menyiksa gedung tua itu. Kami pun tersiksa melihat ketersiksaan itu.
ADVERTISEMENT
Begitukah seharusnya perkenalan kami berlangsung? Perkenalan yang menghasilkan siksa? Atau, jangan-jangan, kami yang membawa gerak pikir salah? Saya mencoba menghibur diri: “Orang yang baru datang ke satu tempat cenderung melihat sisi lemah daerah itu.” Namun, bukankah ini Tarutung?
Hujan gerimis pun turun. Cuaca begitu dingin. Sungai yang membelah kota ini, Aek Sigeaon, semakin keruh. Warnanya sangat kuning. “Berapa usia sungai ini?” tanya seorang teman. Pertanyaan itu adalah jawaban keseakan-akanan yang terpendam. Seakan-akan Tarutung itu sendiri lebih dulu muncul dari sungainya. Artinya temanku ingin mengatakan: primus inter pares disisihkan sempurna oleh pendatang.
Ahh, Tarutung. Bolehkah saya menanyakan ini setelah sebulan saya mengakrabimu: apa identitasmu?
Masih tentang Aek Sigeaon. Betapa panjang tembok yang dibangun di kedua sisinya. Dan betapa panjang pula “keamatiran” tergambar di dua sisi itu. “Melihat mural itu,’ ujar temanku sewaktu makan mie ayam di warung pinggir sungai, “saya teringat gedung PAUD.” Lalu, tiba-tiba saya teringat Sitor Situmorang yang bersekolah MULO di kota ini. Tahun 1955 dia menggoreskan “Jalan Batu ke Danau”:
ADVERTISEMENT
Lewat Tarutung dan Siantar
ada dua jalan baru
menuju danau
Aku tahu
Lewat Tarutung dan Siantar
ada dua jalan batu
menuju kau
Aku tahu
Dari Tarutung dan Siantar
ada dua jalan rantau
ke pangkuanmu
Aku lalu
Dari Tarutung dan Siantar
ada dua jalan rindu
Teringat kau
Aku tak tahu
Bagi Sitor, Tarutung (dan Siantar) adalah jalan mobilitas horizontal, gerak ke atas yang diramu dari “jalan baru” lalu menjadi “jalan rantau”. Tarutung memfasilitasi Sitor memental ke atas sembari tak lekang dari rasa rindu dengan kampung halaman berjalan berbatu yang ditinggal oleh Penanam Benih kehidupan. Tahun 1950-an, memang, terjadi peningkatan migrasi keluar dari Tarutung dan sekitarnya ke daerah Sumatera Timur. Orang Batak hendak mencari “Tanah Perjanjian” lewat jalan rantau. “Aku lalu,” kata Sitor mengiringi arus perpindahan penduduk itu. Sekarang, September 2020, bagaimana wujud puisi itu bila ditulis ulang? Akankah “jalur rantau” bersalin menjadi “jalur mudik”?
ADVERTISEMENT
Boleh jadi warga Tarutung masih berada di tahun 1955, berada di jalur rantau. Jalur yang sudah dibalik sempurna oleh kota-kota di sekelilingnya.
Tak terasa mentari sudah mohon izin pamit. Dia meninggalkan langit yang memekat. Terlihat gemerlap cahaya di bukit kejauhan. Salib Kasih. Di mana patung tinggi menjulang yang nyaris selesai di sampingnya itu? Tiba-tiba timbul lamunan itu. Apakah tanah tempat patung itu berpijak telah menelannya?
Setelah sebulan di kota ini, semakin teranglah betapa kota ini tidak menunjukkan keseriusan mencintai dirinya sendiri. Jalur yang ditempuh Sitor Situmorang tahun 1955, sepertinya, masih bertahan. Sepanjang jalan menuju rumah malam itu saya hanya melihat “semuanya masih seperti itu”. Lalu, di sisa waktuku yang masih teramat panjang berada di kota ini, adakah hal lain yang harus dilakukan? Ada. Saya akan menguras Tarutung. Menguras diri berpikir sesederhana mungkin. Tidak akan mampu saya bermuluk-muluk. Menguras Tarutung lewat berpikir sederhana, paling tidak, bisa memberi seutas tali untuk memulai perbincangan. Perbincangan, yang mana tahu, menghasilkan “cibiran”, atau “cubitan” mesra.
ADVERTISEMENT