Mengulas Budaya Patriarki dalam Film “Perempuan Berkalung Sorban”

Dicky Fransis
Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan
Konten dari Pengguna
30 Desember 2020 17:26 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Fransis tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Diki Fransis

ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Source : indonesiafilmcenter.com
Gender masih menjadi isu yang sangat menarik untuk dijadikan subjek sebuah film. Film Perempuan Berkalung Sorban adalah salah satu dari banyaknya film yang mengangkat isu tersebut. Film yang dibintangi oleh Revalina S. Temat, Oka Antara, dan Reza Rahardian ini menceritakan tentang perjuangan seorang perempuan yang membela hak-haknya ditengah lingkungan dan tradisi Islam yang konservatif. Dalam lingkungan dan tradisi Islam konservatif tersebut, ilmu sejati dan benar hanyalah Al-Qur’an, Hadist, dan Sunnah.
ADVERTISEMENT
Di pesantren, Anissa diajarkan bagaimana menjadi seorang perempuan harus tunduk dan patuh terhadap laki-laki, sehingga Anissa beranggapan bahwa ajaran Islam hanya membela laki-laki dan menempatkan perempuan dalam posisi yang lebih lemah dan tak seimbang. Namun protes Anissa hanya dianggap rengekan anak kecil. Anissa pun bertemu dengan Khudori pamannya, menurutnya hanya Khudorilah yang bisa mengerti dirinya dan memperlihatkan dunia lain untuknya. Setelah diam-diam keduanya menaruh hati satu sama lain, Khudori menyadari bahwa mereka masih memiliki hubungan keluarga yang dekat. Khudori pun memilih melanjutkan pendidikan ke Kairo agar dirinya tidak terhanyut dalam perasaannya. Anissa pun dinikahkan dengan anak seorang Kyai bernama Samsudin. Tak disangka suaminya ringan tangan terhadapnya dan menikah lagi dengan Kalsum. Film kemudian menceritakan perjalanan cintanya dengan Khudori dan perjuangannya membela hak-hak perempuan ditengah rintangan keluarga pesantren yang konservatif.
ADVERTISEMENT
Sampai saat ini budaya patriarki masih tumbuh subur didalam tatanan masyarakat Indonesia. Akibatnya, muncul berbagai masalah yang membelenggu kebebasan perempuan. Bentuk penentangan perempuan atas kuasa laki-laki tidak lepas dari sistem patriarki yang tidak adil. Perempuan selalu ditempatkan dalam posisi tak sejajar dengan laki-laki, sehingga seolah perempuan hanya hidup sebagai bayang-bayang laki-laki.
Perempuan kerap kali termarjinalkan oleh konsep sosial budaya dalam masyarakat yang cenderung patriarkis tanpa melihat hak. Sebagaimana yang dikemukakan oleh Nina Nurmila dalam jurnalnya yang berjudul Pengaruh Budaya Patriarki Terhadap Pemahaman Agama dan Pembentukan Budaya yang dimuat dalam jurnal KARSA, Vol. 23 No. 1, Juni 2015. Patriarki merupakan sebuah sistem yang menempatkan laki-laki dewasa pada posisi sentral atau yang terpenting, sementara yang lainnya seperti anak dan istri diposisikan sesuai kepentingan the patriarch (laki-laki dewasa tersebut). Dalam sistem patriarki, perempuan diposisikan sebagai istri yang bertugas mendampingi, melengkapi, menghibur, dan melayani suami, sementara anak diposisikan sebagai generasi penerus dan penghibur ayahnya. Sistem ini berpengaruh terhadap pemahaman agama, dalam hal ini ajaran islam. Memahami agama dengan lensa patriarki dapat melahirkan budaya patriarki yang memposisikan perempuan harus selalu dan senantiasa dibawah laki-laki, dalam posisi memimpin, mengatur, dan menguasai, terlepas apakah laki-laki tersebut mempu dan memenuhi syarat atau tidak. Pemahaman agama dengan lensa ini melahirkan ketidakadilan relasi antara laki-laki dan perempuan, padahal islam diyakini sebagai agama yang menjunjung tinggi nilai kesetaraan dan keadilan, bahkan menentang patriarki. Oleh karena itu,diperlukan pemahaman baru terhadap agama dengan menggunakan perspektif keadilan gender, bukan patriarki.
ADVERTISEMENT
Film ini mencoba mendatangkan simpatisan dari para penonton untuk lebih menghargai hak perempuan. Sebagaimana laki-laki perempuan juga memiliki hak yang sama sebagai manusia. Setiap perempuan berhak mendapatkan kemudahan untuk mengakses hak-haknya sebagai manusia seperti mendapatkan kesempatan kerja yang sama dengan laki-laki, mendapatkan kesempatan mengikuti pendidikan tinggi, dan perempuan memiliki kesempatan yang sama ketika terpilih menjadi seorang pemimpin lewat proses yang demokrasi.

- Mahasiswa Ilmu Komunikasi Universitas Ahmad Dahlan-