news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Tabiat yang Mengundang Kiamat

Dicky Priatama
Seorang warga negara Indonesia yang menaruh minat pada isu Lingkungan, Sosial, Makro Ekonomi, dan Kebijakan Publik.
Konten dari Pengguna
17 Februari 2021 14:55 WIB
·
waktu baca 14 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dicky Priatama tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Angin kencang dan hujan yang disebabkan oleh Topan Jebi, di Tokyo, Jepang. Foto: Reuters/Toru Hanai
zoom-in-whitePerbesar
Angin kencang dan hujan yang disebabkan oleh Topan Jebi, di Tokyo, Jepang. Foto: Reuters/Toru Hanai
ADVERTISEMENT
Kita semua tentu masih ingat. Atau mungkin malah belum tahu. Pada tahun 2017, badai Atlantik Harvey menghantam Houston, kota terbesar di Texas. Badai tersebut mengakibatkan hujan deras dan banjir di beberapa tempat, saking parahnya hingga disebut badai yang muncul 500.000 tahun sekali. Faktanya itu adalah badai ketiga yang menerjang kota minyak itu sejak 2015. Belum reda Harvey, badai Irma sudah menunggu giliran menghantam Miami, Florida, setelah sebelumnya menghantam Kuba dan selatan kepulauan Bahama. Lalu di belakangnya masih mengantre pula badai Jose dan Maria yang bersiap-siap menyapu lepas pantai Puerto Rico.
ADVERTISEMENT
Pada suatu minggu di tahun 2018, belasan tempat di bumi mengalami gelombang panas (heatwave). Salah satunya mengakibatkan peristiwa yang menjadi headline internasional: kebakaran hebat di California. Di saat yang bersamaan, di sisi bumi yang lain, badai topan Jebi dan hujan yang sangat deras melanda Jepang hingga mengakibatkan lebih dari 1 juta orang mengungsi. Kemudian di tahun yang sama, badai Mangkhut menghantam Filipina dan Tiongkok daratan, yang menyebabkan lebih dari 2 juta orang mengungsi. Di tempat lain, badai Walaka di samudera Pasifik melenyapkan East Island di Hawaii dari peta untuk selamanya.
Jika mundur beberapa tahun ke belakang, sejumlah studi menyebutkan bencana kekeringan turut berkontribusi memicu konflik Suriah yang pecah pada 2011. Lahan yang kekeringan sejak tahun 2006 memaksa para petani dan jutaan orang dari pelosok desa mengungsi dan berduyun-duyun pindah ke kota, bercampur dengan warga kota dan pengungsi lainnya dari perang Irak. Ini menyebabkan kota penuh sesak dan kita semua tahu kelanjutannya apa: konflik sosial dan perang saudara.
Pengungsi konflik Suriah. Foto: Sindonews/Syarifudiin K.S.
Sejumlah ahli memprediksi peristiwa pengungsian akibat bencana alam akan semakin banyak di masa depan. Bank Dunia memprediksi lebih dari 143 juta orang di seluruh akan mengungsi pada 2050. Prediksi PBB lebih buruk: pada tahun yang sama akan terdapat 200 juta pengungsi. Institute for Economic and Peace (IEP) bahkan meramalkan lebih buruk lagi: pada 2050 akan ada lebih dari 1 miliar pengungsi akibat ancaman ekologi.
ADVERTISEMENT

Apa yang sedang terjadi?

Sejumlah peristiwa di atas memiliki benang merah dan mengerucut pada satu kata kunci: iklim. Ya, perubahan iklim telah terjadi, sedang terjadi, dan akan terus terjadi. Hanya saja perubahannya menjadi eksponensial sejak era revolusi industri dimulai pada abad ke-18 di Inggris. Penemuan mesin uap oleh James Watt saat itu menjadi pelopor penemuan mesin lainnya. Sejak itu, manusia menjadi giat membuat pelbagai jenis mesin (termasuk alat persenjataan), menggali bumi, menemukan bahan bakar fosil, mendirikan pabrik, mengeksploitasi sumber daya alam – termasuk dengan cara berperang, dan membuang emisi karbon ke udara. Sejak saat itu, suhu bumi meningkat beberapa derajat Celcius, dan lapisan permafrost (es abadi) tak lagi abadi – dia mencair. Kita tahu – mungkin sekadar tahu, namun tidak benar-benar risau – melelehnya es abadi bukan hanya soal permukaan air laut yang naik, lalu menenggelamkan kota-kota pesisir dan jutaan orang kehilangan tempat tinggal.
ADVERTISEMENT
Kabar buruknya, melelehnya es abadi bukan hanya soal permukaan air laut yang naik, atau menyebabkan longsornya gletser yang memporakporandakan bendungan dan ratusan orang hilang – seperti yang terjadi di Himalaya beberapa waktu yang lalu. Defrostasi (proses melelehnya es) bahkan berpotensi memicu wabah yang tidak diduga sebelumnya. Pada suatu musim panas di Siberia, seorang anak lelaki 12 tahun meninggal dan puluhan orang lainnya dirawat di rumah sakit karena terpapar anthrax dari bangkai rusa kutub yang muncul dari bawah lapisan es yang mencair. Diduga rusa ini telah mati dan terkubur di bawah sana selama 75 tahun. Mencairnya es menguak bangkai rusa dan membangkitkan bakteri dan mikroorganisme lainnya yang berpotensi patogenik yang selama ini tersimpan dan terkubur dalam-dalam di balik lapisan es. Beruntung, penyakit itu bermula dari sebuah kota kecil, sehingga tidak menyebar ke mana-mana dan dapat langsung ditangani. Peristiwa itu terjadi di tahun 2016. Hanya berselang 3 tahun setelah kejadian itu, hal yang jauh berbeda dan tak pernah dibayangkan orang terjadi...
ADVERTISEMENT
Pada akhir 2019, di Wuhan, sebuah kota metropolitan di China kurang lebih sebesar Jakarta, kasus COVID-19 pertama kali terdeteksi. Perilaku manusia modern yang hilir mudik lintas negara telah membantu wabah ini menyebar ke seluruh planet bumi. Ketika di Wuhan mulai diberlakukan lockdown, semua sudah terlambat. Penyebarannya di kota itu memang pada akhirnya dapat ditangani, namun wabah telah meluas ke luar China sebelum orang menyadarinya.
Belum ada penelitian yang mengatakan wabah ini disebabkan langsung oleh perubahan iklim yang diakibatkan manusia, namun perilaku kita bisa jadi berkontribusi memperburuk keadaan. Misalnya tindakan kita yang menyebabkan polusi udara meningkatkan risiko penyakit jantung dan pernapasan, yang berdampak langsung pada penderita COVID-19.
Selain itu, behavior kita yang bepergian untuk urusan yang tidak perlu, apalagi mengabaikan protokol kesehatan, menyebabkan wabah ini semakin sulit dihentikan. Terbukti, pandemi ini malah semakin ganas di 2021. Alih-alih melandai, kurva jumlah kasus aktif harian malah meningkat secara eksponensial. Sampai dengan tulisan ini dibuat, belum terlihat pertanda wabah ini akan berakhir, kendati vaksin telah ditemukan dan mulai disuntikkan ke masyarakat. Meskipun di Indonesia pada akhir tahun 2021 kasus baru menunjukkan tren menurun, seluruh dunia malah sedang menghadapi gelombang ke empat pasca ditemukannya varian Omicron.
ADVERTISEMENT
Kenaikan suhu bumi juga berpengaruh pada siklus hidup nyamuk. Suhu yang panas memungkinkan telur nyamuk menetas lebih cepat, sehingga nyamuk yang lahir hari ini berukuran lebih kecil dan lebih ringan. Itu artinya, jangkauan terbangnya lebih jauh. Hal ini memungkinkan nyamuk untuk menularkan penyakit lebih ekspansif. Data Kemenkes menunjukkan, pada tahun 2000, jumlah penderita demam berdarah di Indonesia tidak lebih dari 30.000 orang. Jumlah ini meningkat sangat signifikan pada tahun 2016, menjadi 204.171 orang.
Pengaruh kenaikan suhu planet ini terhadap kemungkinan wabah yang akan muncul sebenarnya sudah diprediksi oleh para ilmuwan. David Quammen, seorang ilmuwan dan penulis buku sains di New York Times pada 2013 pernah mengatakan, “the next pandemic is not if, but when”. Bill Gates, salah satu orang terkaya di dunia yang peduli terhadap isu lingkungan, pada pidatonya di TED tahun 2015 pernah mengatakan, “jika ada sesuatu yang dapat membunuh 10 juta orang dalam beberapa dekade ke depan, yang paling memungkinkan adalah sebuah virus berbahaya, bukan peperangan. Bukan misil, tapi mikroba”. Prediksi-prediksi itu bukanlah utak atik gathuk atau cocoklogi semata, namun merupakan pengamatan dan hasil analisa selama bertahun-tahun. Ramalan sejenis itu sebenarnya hal yang umum diketahui kalangan ilmuwan. Bahwa jika pemanasan global terus berlanjut, kekacauan iklim akan terus terjadi, dan bencana-bencana baru yang tidak terbayangkan bermunculan. Di masa depan, entah wabah apa lagi yang akan mengancam kehidupan umat manusia. Dan entah kita siap atau tidak menghadapinya.
ADVERTISEMENT
Naiknya suhu bumi akibat emisi karbon yang kita buang juga berdampak pada perubahan cuaca. Di awal tahun 2021, dampak kekacauan iklim akibat efek rumah kaca, hujan deras berlangsung selama 5 hari mengakibatkan banjir besar merendam lebih dari 10 kabupaten/kota di Kalimantan Selatan, mengakibatkan ratusan ribu orang terdampak dan puluhan ribu orang mengungsi. Di saat bersamaan, di Lebak, Banten, yang jaraknya terpaut ribuan kilometer dari Kalimantan Selatan dan terpisah pulau, hujan deras juga mengakibatkan banjir bandang dan ratusan orang mengungsi.
Pemanasan global juga mengakibatkan kenaikan suhu air laut. Kenaikan suhu ini memicu pembentukan angin badai di lautan. Umumnya badai lautan akan mereda dengan sendirinya setelah mencapai daratan. Namun tidak demikian yang terjadi di Nusa Tenggara Timur. Di provinsi itu, badai siklon seroja telah mencapai daratan dan memporakporandakan daerah tersebut.
ADVERTISEMENT
Di tahun 2021 saja, sudah terlalu panjang daftar bencana iklim di untuk dituliskan semuanya. BNPB mencatat lebih dari 1.200 kejadian bencana alam dalam kurun Januari hingga April. Ini hanya beberapa di antaranya: banjir bandang di Solok Selatan, banjir rob di Manado, banjir di Batam, atau kemarau di Padang yang mengakibatkan 3 kelurahan kesulitan air bersih.

Apa yang bisa kita lakukan?

Kabar buruknya, kita tidak bisa mencegah hal buruk itu terjadi. Kita hanya bisa memperlambat hal itu datang. Kita semua, sadar atau tidak, setiap hari meninggalkan jejak karbon dalam setiap aktivitas. Menggunakan kendaraan, memakai air dan listrik, mengkonsumsi makanan adalah contoh aktivitas yang menghasilkan jejak karbon – zat yang merusak lapisan ozon di atmosfer bumi. Perlu usaha yang drastis dan kolektif untuk mengurangi dampak emisi karbon. Sebagai individu, mengurangi pemakaian kendaraan pribadi, menghemat pemakaian listrik dan air, serta mengurangi konsumsi makanan yang berpotensi menjadi gunungan sampah adalah beberapa contoh kecil yang dapat kita lakukan untuk membantu memperlambat kenaikan iklim akibat lapisan ozon yang menipis. Kecil memang, namun bisa jadi besar dan bermakna, jika kita lakukan bersama-sama.
ADVERTISEMENT
Dalam lingkup organisasi/kantor/perusahaan, kita bahkan bisa melakukan hal yang lebih besar. Berikut beberapa di antaranya:
1. Mengurangi pemakaian sampah plastik dan kertas
Pada tahun 2015, Thomas Crowther dari Yale University melakukan penelitian terkait jumlah pohon yang ditebang setiap tahunnya. Hasil penelitiannya menyebutkan, jumlah pohon yang ditebang setiap tahunnya di seluruh dunia tak kurang dari 15,3 miliar. Sebagiannya–anda sudah tahu–digunakan sebagai bahan baku kertas. Sebagai bentuk dukungan untuk mengurangi pemakaian kertas, organisasi dapat mengoptimalkan penggunaan persuratan/naskah dinas elektronik. Apabila dibutuhkan, karyawan dapat mengoptimalkan penggunaan kertas bekas dan menggunakan kedua sisi bolak balik (print on both sides).
Terkait pengurangan pemakaian sampah plastik, karyawan dapat berkontribusi dengan cara tidak menggunakan peralatan makan dan minum dari bahan plastik, styrofoam, atau kertas sekali pakai. Tumpukan sampah yang dibiarkan dapat menghasilkan gas metana yang menjadi salah satu pemicu rusaknya lapisan ozon di bumi. Sebagai substitusi, karyawan dapat diarahkan untuk menggunakan peralatan makan dan minum yang dapat dicuci dan dipakai berulang kali. Misalnya menggunakan piring melamin, gelas kaca, sendok dan sedotan dari bahan stainless steel, sehingga dapat mengurangi sampah sisa makanan.
ADVERTISEMENT
2. Menghemat penggunaan energi listrik
Sebagian besar energi listrik di dunia masih dihasilkan dari batu bara yang melepaskan karbon/emisi. Mulai dari penggaliannya yang meninggalkan lubang menganga, hingga proses pengolahannya menyebabkan polusi/limbah. Itu semua demi mengalirkan listrik ke masyarakat. Memang saat ini sedang dikembangkan penerapan pembangkit listrik tenaga surya yang lebih ramah lingkungan di beberapa daerah, namun kapasitasnya masih sedikit, dan harga produksinya masih relatif mahal.Kita dapat berkontribusi mengurangi produksi batu bara dengan menghemat penggunaan listrik.
Di lingkungan perkantoran, hal ini dapat dilakukan dengan: pertama, menggunakan program sederhana untuk mematikan komputer secara otomatis setelah jam pulang kerja; kedua, mematikan lampu ruangan dan peralatan elektronik yang tidak diperlukan; ketiga, menggunakan lampu LED yang lebih hemat energi; keempat, menggunakan lampu berteknologi sensor yang hanya akan menyala jika ada orang di dalam ruangan, atau menyala otomatis ketika hari mulai gelap dan mati otomatis ketika hari mulai terang; kelima, menggunakan pendingin ruangan berteknologi inverter yang lebih ramah emisi; keenam, menata layout kantor agar mendapat cahaya matahari yang cukup dan memiliki ventilasi udara, sehingga tidak memerlukan lampu dan pendingin ruangan terlalu banyak, dan; ketujuh, jika memungkinkan, di kantor dapat dipasang panel surya sebagai alternatif sumber energi listrik terbarukan yang ramah lingkungan.
ADVERTISEMENT
3. Menghemat penggunaan air
Lebih dari tujuh puluh persen planet ini terdiri dari air. Tapi perlu diingat, sebagian besar air itu adalah air laut. Hanya dua persen lebih yang merupakan air tawar. Itu pun hanya satu persen yang bisa dimanfaatkan. Sisanya merupakan es/salju. Penggunaan air bersih secara berlebihan akan menyebabkan kita mengalami krisis air bersih, yang tersisa bisa jadi hanya air keruh, yang bahkan tidak layak digunakan untuk mencuci.
Banyak contoh danau yang menyusut bahkan mengering karena perubahan iklim, yang mengakibatkan hilangnya sumber air bersih. Sebut saja danau Laut Aral di perbatasan Kazakhstan dan Uzbekistan, danau Urmia di Iran, atau danau Chad di Afrika. Pemanasan yang terjadi juga menyebabkan ribuan ton ikan mati di danau Maninjau dan Singkarak, Sumatera Barat. Akibatnya warga sekitar danau kehilangan sumber pendapatan. Di Chennai, India, waduk Chembarambakkam yang mengalami kekeringan menyebabkan jutaan orang di kota itu mengalami krisis air bersih, dan sekitar 200.000 orang lainnya meninggal akibat kekurangan air atau mengkonsumsi air kotor. Data Riset Kesehatan Nasional (Riskesnas) pada 2018 menunjukkan bahwa 60 persen stunting disebabkan oleh air dan sanitasi yang buruk.
ADVERTISEMENT
Kajian resmi pemerintah bahkan menyebutkan pulau Jawa akan kehabisan air bersih pada 2040. Ini juga salah satu hal yang konon melatarbelakangi alasan pemerintah memindahkan lokasi ibu kota negara. Contoh di atas hanya sebagian dari daftar panjang kasus krisis air bersih, sehingga menggunakan air bersih secara bijak merupakan hal penting yang tidak bisa diperdebatkan lagi.
4. Menerapkan Flexible Working Space
Tidak dapat dipungkiri, dewasa ini bekerja bisa dilakukan dari mana saja. Di masa depan, trend WFH dan bekerja pada coworking space akan menguat. Terlebih pandemi COVID-19 yang menyebabkan kebijakan PSBB harus diambil pemerintah, dan banyak karyawan yang bekerja dari rumah (WFH). Meeting nasional bisa dilakukan secara virtual, tanpa harus mengumpulkan orang dari seluruh penjuru. Dalam waktu yang tidak lama lagi, meeting bahkan dapat dilakukan dengan avatar dalam dunia maya yang dikenal sebagai metaverse. Dengan pembatasan pergerakan orang dan bekerja dari rumah, artinya semakin sedikit penggunaan listrik dan air di kantor, semakin sedikit penggunaan kendaraan, semakin sedikit penggunaan bahan bakar, akan semakin sedikit barang tambang yang dieksploitasi, semakin sedikit polusi yang dihasilkan, dan semakin baik kualitas udara di bumi. Hal ini dibuktikan pada jurnal Earth System Science Data. Studi tersebut mengatakan, kebijakan lockdown di sejumlah negara menurunkan tingkat emisi karbon di bumi hingga 7%, penurunan terbesar sejak Perang Dunia Kedua.
ADVERTISEMENT
5. Mengelola sampah dengan bijak
Sampah yang menumpuk dapat menimbulkan gas metana, karbondioksida, dan gas lainnya yang menyebabkan timbulnya bau tak sedap. Gas ini juga bertanggung jawab atas rusaknya lapisan ozon. Pengelolaan sampah dapat dilakukan dengan cara menyediakan tempat sampah terpilah. Misalnya dengan mengelompokkan sampah menjadi organik dan anorganik, atau dikelompokkan menjadi plastik, kertas, bahan metal, dan sebagainya. Pengelompokan ini penting untuk mempermudah proses daur ulang. Memanfaatkan kembali hasil daur ulang sampah turut membantu menjaga lingkungan karena mengurangi penumpukan sampah di tempat pembuangan akhir.

Peran Pemerintah

Perubahan iklim menjadi salah satu concern pemimpin negara di seluruh dunia. Menkeu Sri Mulyani berkali-kali mengatakan, bahaya yang lebih mengancam dari pandemi adalah perubahan iklim. Dukungan dari pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim mutlak diperlukan. Misalnya dari sisi penganggaran dengan menerapkan Green Budgeting, negara mulai menyediakan panel surya di gedung-gedung kantor pemerintahan, sebagai upaya mengurangi penggunaan listrik yang bersumber dari batu bara dan beralih ke sumber energi ramah lingkungan. Meskipun harus diakui, panel surya yang tersedia saat ini belum mampu menyimpan energi dalam jumlah besar, serta harganya masih relatif mahal.
ADVERTISEMENT
Selama ini memang banyak pertemuan tingkat tinggi lintas negara yang dilakukan untuk membahas persoalan iklim. Sebut saja Kyoto Protocol tahun 1997, Perjanjian Paris pada 2015, atau yang terbaru, KTT Glasgow di tahun 2021. Namun hasilnya sepertinya belum menggembirakan. Dari 196 negara peserta konvensi, sebagian besar belum dapat memenuhi perjanjian yang disepakati. Amerika Serikat era presiden Donald Trump bahkan menarik diri dari perjanjian, meskipun akhirnya negara itu kembali dalam perjanjian di era presiden Joe Biden.
Perjanjian Paris menyepakati beberapa hal, di antaranya setiap negara harus memiliki target mengurangi emisi karbon di negaranya masing-masing, yang pada akhirnya menjaga kenaikan suhu bumi maksimal 2 derajat Celcius dari era pra-industrialisasi. Target masing-masing negara tersebut tertuang dalam dokumen yang disebut National Determined Contribution (NDC). Hasil kesepakatan konvensi tersebut bahkan diratifikasi banyak negara peserta.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, hasil pertemuan konvensi Paris diratifikasi menjadi Undang-Undang No. 16 Tahun 2016. Menindaklanjuti amanat Undang-Undang tersebut, Indonesia mengalokasikan sebagian dana APBN untuk pengendalian perubahan iklim. Penandaan alokasi anggaran untuk pengendalian perubahan iklim itu disebut Climate Tagging Budgeting. Komposisi anggaran tersebut dibagi menjadi 2 jenis kegiatan, yaitu mitigasi dan adaptasi. Badan Kebijakan Fiskal (BKF) Kemenkeu dalam buku berjudul “Pendanaan Publik Untuk Pengendalian Perubahan Iklim Indonesia” yang diterbitkan tahun 2019 mengungkapkan, output mitigasi dengan anggaran terbesar pada 2018 berada di Kementerian Perhubungan yaitu pengadaan prasarana perkeretaapian (prioritas nasional) senilai Rp13,7 triliun. Sedangkan untuk output adaptasi dengan anggaran terbesar pada 2018 berada di Kementerian PUPR yaitu pembangunan bendungan senilai Rp7,4 triliun.
Pada 2019, untuk mengelola dana lingkungan hidup dengan lebih profesional, Kementerian Keuangan bersama Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan telah membentuk Badan Pengelola Dana Lingkungan Hidup (BPDLH). Pendapatan dari BPDLH dimanfaatkan untuk proyek dan kegiatan tertentu yang mendukung pengelolaan dan perlindungan lingkungan, mendukung kegiatan ekonomi yang ramah lingkungan dan mengurangi emisi karbon.
ADVERTISEMENT
Pada awal 2021, menteri keuangan Sri Mulyani terpilih sebagai Co-Chair dari Coalition of Finance Ministers for Climate Action periode 2021-2023 mewakili negara berkembang, bersama Menteri Keuangan Finlandia sebagai Co-Chair yang mewakili negara maju. Ini adalah koalisi para Menteri Keuangan di seluruh dunia yang khusus membahas penanganan perubahan iklim. Koalisi ini menyepakati perjanjian bersama sesuai kewenangannya yang dikenal sebagai Hensinki Principles. Undang Undang nomor 7 tahun 2021 atau yang dikenal dengan Undang Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP) yang baru-baru ini disahkan juga mengatur mengenai pengenaan pajak pada orang atau badan yang melakukan aktivitas yang menghasilkan emisi, atau dikenal dengan istilah pajak karbon.
Ini menunjukkan keseriusan pemerintah menangani perubahan iklim – pun di tengah ekonomi sulit saat ini akibat pandemi. Namun, sekali lagi, pengendalian perubahan iklim tidak bisa dilakukan oleh pemerintah saja. Perlu upaya bersama kita semua, baik pemerintah, swasta, organisasi masyarakat, maupun individu.
ADVERTISEMENT
Kita – sebagai individu, organisasi, maupun pemerintah – harus merenungkan kembali tindakan kita terhadap keberlangsungan planet ini. Jangan sampai perbuatan kita justru mengundang katastropi itu tiba lebih cepat. Dan kita harus melakukannya sekarang, karena bencana tidak menunggu.
***