Perempuan dalam Sinema

Dida Darul Ulum
Peneliti di Megawati Institute dan Dosen di Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina
Konten dari Pengguna
26 Maret 2022 14:43 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dida Darul Ulum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Partisipasi Perempuan di Dunia Bisnis dan Profesional Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Partisipasi Perempuan di Dunia Bisnis dan Profesional Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
Haifaa al-Mansour, seorang sutradara perempuan dari Arab Saudi, dalam sebuah kesempatan pernah berkata: “Film adalah sebuah medium untuk masyarakat terbuka dalam membangun jembatan-jembatan kultural. Begitu banyak berita tentang Arab Saudi di koran-koran. Tapi, untuk memahami bagaimana masyarakat hidup di sana dan bagaimana mereka memandang dunia ini, kita perlu melihatnya melalui film.”
ADVERTISEMENT
Pada 2012, al-Mansour berhasil memberikan gambaran tentang kehidupan para perempuan di masyarakat sekonservatif Arab Saudi. Melalui filmnya, Wadjda, ia menekankan bahwa perempuan tetap perempuan. Ia suka bersepeda, berdandan dan bersolek sebagaimana yang tergambar dalam pribadi Wadjda dan ibunya.
Selain al-Mansour, ada Nelofer Pazira, seorang sutradara keturunan Afghanistan-Kanada. Pada 2010, ia pernah berkunjung ke Universitas Paramadina dan bercerita tentang salah satu film yang dibintanginya, Kandahar (2001). Menurutnya, film tersebut menggambarkan dengan baik apa yang dirasakan para perempuan Afghanistan secara umum. Ia bercerita bagaimana ia dan keluarganya terpaksa mengungsi demi kehidupan lebih baik.
Berbeda dari al-Mansour dan Pazira, Maryam Keshavarz berani menyajikan tontonan remaja yang tidak populer di kalangan masyarakat Iran melalui filmnya, Circumstance (2011). Sebagai seorang perempuan Iran, menampilkan perilaku homoseksual yang menjadi fokus film itu pasti mendapat berbagai penolakan.
ADVERTISEMENT
“Di Iran, yang ilegal bisa menjadi subversif secara politik,” katanya.
Film ini tidak begitu heboh tapi banyak ulasan menarik tentangnya. Selain Keshavarz, ada Marjane Satrapi dengan Persepolis-nya (2007).
Selain mereka, ada Nadine Labaki yang eksistensinya perlu diperhitungkan. Salah satu filmnya yang fenomenal adalah Where Do We Go Now? (2011). Film ini terkait peran para istri maupun janda yang aktif meredam konflik antara umat Islam dan umat Kristen Maronit di sebuah desa di Lebanon, sebuah negara Timur Tengah yang berbatasan dengan Suriah di utara/timur dan Israel di selatan.
Dalam sejarahnya, perselisihan politik antara umat Islam (Sunni, Syiah, dan Druze?) dan umat Kristen Maronit begitu tajam, terutama setelah runtuhnya kekhalifahan Turki Utsmani (Ottoman Empire) pada paruh awal abad 20. Sejak itu, perebutan kekuasaan begitu dahsyat. Sebab, siapa yang bisa menjadi dominan dalam politik akan memiliki kekuasaan lebih dalam mengambil kebijakan.
ADVERTISEMENT
Labaki memang tidak pernah menyoroti hal ini dalam filmnya. Ia hanya menampilkan bagaimana masyarakat yang hidup di sebuah desa terpencil yang jauh dari sumber berita aktual bisa hidup berdampingan meski hanya sebatas menonton televisi secara bersama di lapangan terbuka. Banyak adegan lucu yang mampu membuat kita tertawa tapi setiap adegan selalu bermakna. Di antaranya, kepura-puraan Yvonne di gereja.
Labaki bahkan pernah berujar bahwa membuat film memiliki misi lebih tinggi daripada sekadar menyampaikan sebuah cerita atau menghibur masyarakat. Dalam filmnya, ia sadar betul akan pentingnya hal ini. Karena itu, Labaki sebenarnya hendak mengubah stereotip kita terhadap ibu-ibu rumah tangga—yang mana dalam cara pandang kita—senang bergosip dan sekadar memasak di dapur.
Sebaliknya, Labaki justru ingin menampilkan sisi lain, yaitu bagaimana mereka bisa berperan aktif dalam menjaga kedamaian. Kita sulit membayangkan bagaimana seorang ibu menyembunyikan kesedihan atas kematian anaknya lantaran takut terjadi pertumpahan darah di antara para penduduk setempat. Lalu, dengan semampunya, ia beraktivitas seperti biasa di hadapan kawan-kawannya.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, kita punya Sammaria Simanjuntak dan Mouly Surya. Simanjuntak melalui filmnya, Cin(T)a (2009), berusaha mendobrak hal yang selama ini tabu terkait rasisme terhadap etnis tertentu. Film tersebut bercerita tentang relasi antara seorang Tionghoa bernama Cina dengan seorang “pribumi” bernama Annisa. Belakangan, saya sadar bahwa kata “Cin(T)a” mungkin merupakan akronim dari Antara Cina, Tuhan, dan Annisa.
Surya melalui filmnya, Marlina Si Pembunuh dalam Empat Babak (2017), menceritakan bagaimana Marlina yang hidup di Sumba menjadi korban pemerkosaan. Namun, sayangnya penegak hukum cenderung tidak peduli dan cenderung menganggap enteng apa yang telah terjadi kepadanya. Belum lama ini, film Yuni (2021) dari Kamila Andini juga mengangkat tentang isu perempuan.
Film YUNI. Foto: Fourcolour Films
Sepertinya apa yang dilakukan para perempuan sineas di atas merupakan sebuah upaya menggambarkan cengkeraman budaya patriarki yang masih melekat dalam masyarakat secara umum, khususnya isu diskriminasi terhadap perempuan. Film-film mereka merupakan simbol—meminjam teori Johan Galtung (1969)—dari apa yang disebut sebagai kekerasan struktural.
ADVERTISEMENT
Teori kekerasan struktural ini merupakan turunan dari konsepnya tentang kedamaian (peace). Galtung menyajikan dua konsep kedamaian: negatif dan positif. Ia menyebut kedamaian negatif sebagai ketiadaan kekerasan (absence of violence) sementara kedamaian positif sebagai integrasi manusia dalam menjaga kedamaian secara aktif sebagaimana naturnya sendiri.
Meski begitu, ia pun tidak pernah menafikan adanya potensi konflik dalam kedamaian. Sehingga, kedamaian yang merupakan bagian dari cita-cita masyarakat (social goals), memang rumit dan sulit tapi tak berarti tak mungkin untuk diraih.
Kekerasan dalam pandangan Galtung tidak selalu berbentuk fisik maupun langsung. Ia juga bisa merupakan sebuah struktur yang mengekang dalam sebuah masyarakat, terutama kalangan perempuan. Kekerasan struktural memang tidak mencelakai seseorang dengan benda tajam ataupun senjata tetapi bisa menegaskan ketidakadilan sosial, ekonomi, dan politik. Sehingga, memicu kekerasan langsung dan bahkan kekerasan budaya dalam bentuk ekstremnya (Herlambang, 2014).
ADVERTISEMENT
Dari para perempuan sineas, kita bisa melihat bagaimana kekerasan struktural masih menjadi belenggu dalam masyarakat secara umum. Sebab, sebuah ide yang hadir dalam penggambaran sebuah film tidak muncul dari ruang kosong. Ia biasanya berangkat dari sebuah realitas masyarakat yang masih berpegang teguh pada tradisi-tradisi lama yang tanpa disadari jauh dari nilai-nilai keadilan.