Perjalanan Saya ke Tanah Suci

Dida Darul Ulum
Peneliti di Megawati Institute dan Dosen di Departemen Falsafah dan Agama, Universitas Paramadina
Konten dari Pengguna
2 Agustus 2022 12:49 WIB
·
waktu baca 9 menit
comment
3
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dida Darul Ulum tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Suasana bermalam di Muzdalifah (Foto: Dokumentasi Pribadi)
zoom-in-whitePerbesar
Suasana bermalam di Muzdalifah (Foto: Dokumentasi Pribadi)
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Ibadah haji merupakan rukun kelima Islam. Setiap Muslim, karenanya, mendambakan pergi ke tanah suci untuk menyempurnakan keislamannya. Tentu, ia membutuhkan biaya dan stamina prima. Sebab, inti ibadah haji adalah menapak tilas. Maka, menunaikannya di usia muda adalah kesempatan yang sangat berarti. Dimulai dari niat wukuf di Arafah sampai tahalul yang dilakukan secara tertib, setiap jemaah pada dasarnya menapak sejarah kenabian Muhammad saw.
ADVERTISEMENT
Setiba di Madinah (15 Juni 2022), kami bersegera melaksanakan arba‘in. Jujur, sejak awal keberangkatan, saya bertanya-tanya apakah ada situs sejarah perumusan Piagam Madinah, sebuah konstitusi yang dirancang Nabi Muhammad saw di mana kesetaraan dan hak asasi manusia antara kaum muhajirin, kaum ansar, dan kaum Yahudi tertulis di sana dengan payung kata “umat”. Ternyata tidak ada. Yang ada cuma masjid-masjid yang memiliki nilai sejarah.
Saya, kalau bahas Piagam Madinah di depan para mahasiswa, selalu bilang begini: “Anda bayangkan … pada abad ke-7 di mana semua kelompok manusia masih barbar dan feodal, Muhammad bernegosiasi menyusun sebuah konstitusi yang menjamin kebebasan dan kesetaraan seluruh umat manusia.” Karena itu, menurut Cak Nur yang sering mengutip Robert N. Bellah, piagam tersebut sudah modern dan bahkan terlalu modern sehingga struktur masyarakat Arab ketika itu tidak mampu menampungnya. Hal ini tentu patut disayangkan mengingat Madinah itu sendiri berarti peradaban.
ADVERTISEMENT
Selain itu, maklumat bahwa ziarah kubur bidah selalu terpampang, terutama di depan Baqi—kuburan para sahabat yang terletak persis di sebelah Masjid Nabawi. Sebelum berangkat, kakak saya berpesan, “Kalau mau masuk ke sana, ikut saja menyelinap ke rombongan yang mengantarkan jenazah karena, pas itu saja, pintunya terbuka.” Maklum … di sana dilarang mengunjungi kuburan.
Maklumat bahwa ziarah kubur bidah (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Setelah salat subuh, saya langsung bergegas ikut rombongan untuk masuk. Saya sengaja ambil waktu subuh karena, di waktu-waktu lain, cuacanya panas sekali. Bahkan, banyak jemaah haji kena batuk pilek, termasuk saya, karena perlu waktu adaptasi saking panasnya. Ketika masuk, yang terlintas di pikiran saya adalah kuburan Khalifah Utsman bin Affan. Sebab, dari sumber sejarah yang ditulis Farag Fauda, Kebenaran yang Hilang, pemakaman Khalifah Utsman ini begitu tragis. Saya tidak tega menulisnya di sini. Yang jelas, Fauda dihukum pancung di Mesir karena dituduh melecehkan Islam.
ADVERTISEMENT
Kuburan di Arab Saudi memang tidak menarik karena rata dengan tanah dan tandanya hanya batu. Namun, sebagai sebuah warisan sejarah/budaya, kita patut menyayangkan ornamen-ornamen/gedung-gedung bersejarah Baqi tidak tersisa akibat ideologi Wahhabisme yang dianut, terutama sejak awal abad 19 dan puncaknya pada 1926.
***
Menghabiskan waktu magrib sampai isya di Masjid Nabawi adalah momen favorit saya. Sebab, dalam kesempatan itu, saya bisa berkeliling masjid dan bercengkerama dengan banyak orang dari berbagai macam negara, sekalian iseng praktik bahasa Arab dan Inggris.
Kalau ketemu remaja lokal, saya iseng berbahasa Arab dan dia cukup senang karena bahasa Arab yang digunakan formal (meski saya lupa banyak kosa kata). Bahkan, saya sempat diundang makan malam ke rumahnya tetapi, dengan rasa hormat, saya tolak karena perlu istirahat. Ia sempat bertanya, “Anda belajar bahasa Arab di mana? Bagus sekali.” Saya hanya jawab, “Belajar di Indonesia.”
ADVERTISEMENT
Yang menarik dari percakapan tersebut adalah bahwa para remaja terpelajar Saudi sangat terbuka dan cukup tahu tentang Islam Indonesia. Sepertinya ini tren positif di mana dunia Islam memang perlu banyak warna. Selain berdialog dengan pelajar remaja lokal, saya suka berdialog dengan orang-orang India, Nigeria, dan Bangladesh. Sayang, kemampuan bahasa Inggris mereka kebanyakan terbatas sehingga sulit menangkap poin percakapan. Namun, itu tidak mengurangi keasyikan waktu saya.
Salah satu pojok kajian Masjid Nabawi (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Selain berdialog, ada ragam kajian berbahasa Arab yang ada di sudut-sudut masjid. Sepertinya, ini warisan berharga dari tradisi Islam klasik. Sebab, kalau kita lihat sejarah Islam, perkembangan fikih, teologi, tasawuf, dan filsafat tumbuh melalui tradisi itu meski beragam tema kajian ini cenderung mandek di Saudi. Maklum karena mazhab resmi Saudi adalah Wahhabisme.
ADVERTISEMENT
Pelajaran yang saya petik dari sini adalah bahwa saya bisa menangkap semangat pemikiran para pembaru Muslim Indonesia yang berangkat haji dan mendapatkan kesadaran bahwa dunia Islam tertinggal dan terjajah setelah berdialog dan pulang. Di Minangkabau, misalnya, gerakan pembaruan Islam dimotori tiga haji: Haji Rasul, Haji Jamil Jambek, dan Haji Abdullah Ahmad. Dan, tentu saja ada peran Ahmad Khatib al-Minangkabaui di sana. Ini saya kutip dari Pak Deliar Noer.
Sambil lalu, para pedagang yang kebanyakan berasal dari Afganistan di Madinah pintar menawarkan jajakan-jakan mereka ke para jemaah Indonesia. Bahkan, ada yang berbahasa Sunda. “Sabaraha? Sabaraha? Sunda,” katanya sambil senyum.
***
Di antara beragam aktivitas di Madinah, kami juga berkunjung ke tempat-tempat bersejarah yang jejak-jejaknya tidak begitu terlihat selain masjid-masjid, antara lain, Masjid Quba dan Masjid Qiblatain.
ADVERTISEMENT
Setelah dapat titipan pertanyaan dari seorang ustaz dan membaca beberapa literatur singkat, saya baru sadar bahwa dua masjid ini punya kaitan sejarah menarik. Namun, sayangnya saya tidak sempat singgah ke Masjid Qiblatain karena waktu terbatas. Hanya lewat. Padahal, betapa pentingnya singgah ke sana untuk memahami perubahan arah kiblat salat dari Baitulmakdis ke Baitulharam atau Kakbah. Selain itu, betapa pentingnya mengetahui arah angin kita menghadap di sana untuk wawasan sejarah dan perbandingan. Di Indonesia, misalnya, kita membelakangi timur menghadap ke barat sementara negara-negara lain belum tentu sama.
Ada hal menarik lagi yang perlu diperhatikan. Nama Qiblatain (Dua Kiblat) diambil dari peristiwa turunnya wahyu (Qs. 02:144) kepada Nabi Muhammad saw untuk mengubah arah kiblat ketika menunaikan salat asar pada pertengahan bulan Syakban. Karena ini, bulan Syakban dianggap sebagai salah satu bulan istimewa dan peristiwa tersebut dikenal dengan Nisfu Sya’ban yang selalu diperingati umat Islam Indonesia, terutama masyarakat perdesaan. Negara-negara lain punya istilah-istilah berbeda, antara lain, Malam Pengampunan (Arab: Laylatul Bara’ah).
Suasana di Masjid Quba (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Berita pemindahan kiblat ini telat sampai ke penduduk Quba sehingga mereka baru menjalankan pemindahan kiblat pada salat subuhnya. Omong-omong, Masjid Quba adalah masjid tertua di dunia.
ADVERTISEMENT
***
Ini catatan terakhir saya singgah di Madinah. Ada dua hal yang sejak awal saya agendakan. Pertama, berkunjung ke perpustakaan Masjid Nabawi. Kedua, ziarah ke makam Rasul.
Perpustakaan Masjid Nabawi terletak di dekat pintu sepuluhnya. Kalau kita keluar dari pintu itu, akan tampak sebuah gedung yang memampang plangnya. Koleksi bukunya lengkap sekali dan sangat nyaman. Di sana, saya melihat beberapa pelajar lokal menghabiskan waktu membaca karya-karya Islam klasik, termasuk versi-versi digital. Bagi saya, ini masjid ideal di mana pengetahuan selalu menjadi bagian penting dalam pemakmuran masyarakat. Sesuatu yang identik dengan visi profetik.
Pintu masuk Perpustakaan Masjid Nabawi (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Sementara itu, mengunjungi makam Rasul merupakan dambaan setiap orang. Paling tidak, ada dua hal yang bisa dipetik dalam ziarah itu. Pertama, saya bisa menyaksikan betapa tingginya gairah spiritual umat Islam dalam ziarah kubur, terutama ke makam Rasul saw. Dalam konteks ziarah kubur ini, ada semacam kedekatan spiritual antara seseorang dengan junjungannya. Ini mungkin yang disebut Annemarie Schimmel sebagai dimensi mistik Islam di mana agama memiliki semacam dimensi spiritual. Namun, sayangnya kata “mistik” selalu diidentikan dengan klenik padahal kata tersebut begitu agung.
ADVERTISEMENT
Kedua, ziarah kubur ini—selain pembangunan masjid—menginspirasi umat Islam untuk mengembangkan seni arsitektur dan kaligrafi. Saya ingin bilang bahwa seni arsitektur dan kaligrafi semacam “pelarian” karena Islam secara umum menganut ikonoklasme, sebuah paham gerakan menghapuskan patung dan gambar dalam sebuah sistem peribadatan agama. Saya gunakan kata “secara umum” karena, setahu saya, Syiah mempertahankan tradisi menggambar, bahkan menggambar sosok Nabi Muhammad saw. Tonton saja film Muhammad: The Messenger of God (2015) dari Masjid Majidi, seorang sutradara Iran.
Terlepas dari itu semua, Islam boleh dikatakan satu-satunya agama yang tidak jatuh kepada ajaran dan praktik menyembah tokoh yang mendirikannya, Nabi Muhammad. Sebab, inti ajaran Islam bukanlah kultus terhadap sosok Muhammad melainkan monoteisme radikal. Karena itu, Islam bukan Muhammadanisme. Ini saya kutip dari Nurcholish Madjid.
ADVERTISEMENT
***
Sementara itu, suasana kota Makkah begitu indah pada malam hari. Namun, kita sulit menemukan jejak sejarah masa silam di mana pembangunan hotel-hotel begitu dominan di sekitarnya, terutama Masjidilharam. Ada gunung-gunung yang bisa diziarahi tetapi sangat terbatas, antara lain, Gua Hira—tempat Nabi berdiam diri menerima wahyu pertama—yang terletak di puncak Jabal Nur. Saya sempat singgah tetapi belum sempat mendakinya. Selama minggu pertama di kota ini, saya bisa memahami kegelisahan Ziauddin Sardar meratapi kota suci ini dalam “The Destruction of Mecca” (2014). Apa yang ditulis Sardar ini sesuai dengan yang saya temukan.
***
Meski begitu, saya ingin berbagi sedikit catatan tentang kunjungan singkat saya ke Masjid Baiat. Letaknya di dekat Mina. Jadi, kalau kita hendak lempar jamrah, kita pasti akan melewati masjid tersebut karena ia pas di sebelah kiri pintu masuk Mina dari arah Bin Dawood.
ADVERTISEMENT
Pada awalnya, saya tidak tahu masjid tersebut. Namun, setelah lewat, saya langsung penasaran dan berniat mampir. Masjid tersebut sempat tertimbun gunung. Ia ditemukan ketika ada perluasan Mina dan Kementerian Kebudayaan setempat mengembalikan bentuknya sebagaimana awalnya.
Masjid Baiat sesuai dengan arsitektur klasik peradaban Islam (Foto: Dokumentasi Pribadi)
Yang menarik, masjid itu dibangun oleh Abu Ja’far al-Manshur dari Dinasti Abbasiyah pada tahun 144 H/761 M sebagaimana tertulis di dinding kiblatnya. Ia merupakan tempat peristiwa Baiat Aqabah di mana 12 orang Yatsrib (sekarang Madinah) yang tengah melaksanakan haji mengunjungi dan berikrar untuk Nabi Muhammad saw pada tahun 13 setelah kenabian. Ia bernama Baiat Aqabah karena ke-12 orang Yatsrib itu sedang melaksanakan jamrah Aqabah dan lokasinya begitu dekat.
Dari baiat tersebut, Nabi mendapat titik terang dan ajakan hijrah untuk prospek bagus dakwahnya. Adapun, inti dari Baiat Aqabah adalah beriman kepada Tuhan Yang Esa dengan melaksanakan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Memasuki masjid tersebut membuat saya terbawa suasana peradaban Islam masa lampau karena arsitektur masjidnya tidak diubah dan tetap bisa digunakan untuk salat.
ADVERTISEMENT
Selama 40 hari tinggal di sana, banyak sekali hal yang bisa dieksplorasi untuk ditulis. Namun, keterbatasan kolom dan waktu membuatnya harus disimpan dalam memori. Untuk menutup catatan ini, saya ingin berbagi pengalaman mampir ke Jeddah. Senja di kota tersebut begitu indah. Di sana, saya melihat reformasi keagamaan Saudi di mana para perempuan bisa berpenampilan santai ke mal dan menyetir mobil sendiri. Bahkan, ada yang tanpa kerudung.
Ketika diajak bertamu ke rumah penduduk setempat di Makkah, saya tidak menyangka ada banyak keberatan tentang agenda Muhammad bin Salman ini. Namun, saya sendiri justru senang karena Saudi ini merupakan tempat di mana Islam muncul. Sehingga, reformasi keagamaan yang ada di sana bisa menjadi model adaptasi perkembangan zaman bagi dunia Islam secara umum.
ADVERTISEMENT
Sungguh, menunaikan ibadah haji ini, selain menapak tilas sejarah kenabian Muhammad saw, merupakan pengalaman berharga.