Memupuk Rasa Toleransi Sejati pada Anak

I Putu Dimas Bala Rena
Diplomat Pertama di Kementerian Luar Negeri RI, S1 Ilmu Politik, Universitas Airlangga
Konten dari Pengguna
23 Juli 2021 15:27 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari I Putu Dimas Bala Rena tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seorang anak dengan tawa semringahnya di Kelurahan Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang sedang bermain Australian Football bersama teman-temannya. Sumber: dokumentasi pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Seorang anak dengan tawa semringahnya di Kelurahan Tanah Beru, Bulukumba, Sulawesi Selatan yang sedang bermain Australian Football bersama teman-temannya. Sumber: dokumentasi pribadi
ADVERTISEMENT
Sebagian besar anak-anak yang lahir di tahun 90an punya kebiasaan unik di hari Minggu. Sebelum pagi menyongsong, kami telah duduk manis di depan televisi layar cembung menunggu kartun-kartun favorit ditayangkan. Gundam Wing, kartun (anime) bertema robot yang melindungi bumi dari kejahatan, adalah pembuka dari rangkaian hiburan yang kami tonton kala itu. Banyak pesan moral yang tersirat dalam tontonan kami dan secara tak sadar terinternalisasi dalam kehidupan sehari-hari. Sebut saja nilai-nilai toleransi, persahabatan, pantang menyerah, dan banyak lagi. Nilai-nilai ini yang kemudian kami aktualisasikan melalui interaksi yang terjalin bersama teman-teman di lingkungan sekolah.
ADVERTISEMENT
Namun romantisme masa kecil yang penuh dengan pembelajaran nilai-nilai luhur itu terusik dengan pewartaan insiden pengrusakan sejumlah makam umat Kristiani di Surakarta oleh anak-anak berusia sekitar 9-12 tahun beberapa waktu lalu. Entah apa yang terbersit dan melatarbelakangi tindakan mereka sehingga sulit rasanya membayangkan kejadian ini dilakukan oleh anak-anak dalam kelompok umur tersebut yang seharusnya sarat dengan dunia bermain dan fantasi yang menyenangkan. Apakah pengrusakan ini merupakan bentuk kenakalan anak biasa dengan keinginan terlihat hebat di depan teman-temannya atau wujud dari sikap intoleransi yang tumbuh dan/atau ditumbuhkan sejak dini baik sengaja maupun tidak?
Permasalahan ini sebenarnya telah diselesaikan secara kekeluargaan, namun demikian aparat kepolisian Kota Surakarta menilai terdapat unsur kriminal dalam aksi pengrusakan makam tersebut sehingga perlu pemeriksaan lebih dalam. Sebagai tindak lanjut, telah dibentuk tim asesmen yang menggandeng Kantor Wilayah Kementerian Agama Kota Surakarta dan Dinas Pendidikan Kota Surakarta untuk memeriksa lembaga pendidikan agama tempat pelaku anak-anak mengenyam pendidikan. Apresiasi patut diberikan kepada penegak hukum dan pemerintah karena telah dengan baik merespons dugaan intoleransi dan mengusut akar insiden yang dicurigai berasal dari indoktrinasi pemahaman agama yang keliru, terlebih kepada anak-anak.
ADVERTISEMENT
Selain melakukan asesmen terhadap lembaga pendidikan, pemerintah perlu juga memberi perhatian khusus kepada cara pandang anak menyikapi perbedaan kelak di masa depan. Pendekatan ini mengantisipasi potensi kontra produktif upaya pemerintah mempromosikan dan menjaga harmonisasi kebhinekaan agar tidak disalahartikan oleh anak. Terlebih lagi dengan keterlibatan aparat keamanan dan ancaman hukuman bagi para pelaku intoleransi dapat memberikan citra yang menakutkan dari kacamata anak.
Jika proses pemahaman dan pendidikan anak terhadap sikap toleransi tidak diberikan dengan baik sejak dini, mereka akan terjerumus pada pola pikir kepatuhan yang berlandaskan pada sanksi jika dilanggar. Bahwa sikap saling menghargai hanya akan dilakukan dan diamalkan semata-mata karena takut mendapat hukuman. Rasa takut ini kemudian yang menjadi dasar bagi anak untuk tidak mengganggu kawan sepermainan yang berbeda keyakinan dalam melakukan ibadahnya ataupun perilaku-perilaku intoleran lainnya.
ADVERTISEMENT
Nilai-nilai toleransi yang terbentuk dengan pola pikir seperti ini sayangnya hanya akan melanggengkan sikap toleransi semu tanpa pemahaman akan arti sesungguhnya dari sikap keterbukaan dan kesediaan merangkul dan menjunjung tinggi heterogenitas dari lubuk hati. Proses internalisasi seperti ini bak fondasi pasir yang mudah runtuh kelak ketika mendapat tantangan dari indoktrinasi agama yang keliru yang justru memecah belah.
Tanpa penghargaan tinggi terhadap toleransi yang ditumbuhkan dari dalam diri, karakter toleran yang diharapkan tumbuh pada diri anak tidak akan dipahami secara menyeluruh. Oleh sebab itu, khususnya keluarga, lingkungan pendidikan, dan masyarakat diharapkan menjadi suri teladan dalam proses internalisasi nilai-nilai saling menghargai sebagai bagian dari kehidupan berbangsa dan bernegara. Anak membutuhkan pembiasaan diri untuk menyaksikan, merasakan, dan mencintai kehidupan yang bersentuhan dengan berbagai latar belakang, baik suku, agama, ras, budaya, dan identitas lainnya secara berdampingan dan damai.
ADVERTISEMENT
Jika melihat karakter alamiah anak, Hershel D. Thornburg, pakar pendidikan psikologi, menjelaskan anak-anak yang duduk di bangku sekolah dasar sebenarnya menunjukkan sikap tenggang rasa dan kerja sama yang tinggi dalam upaya menghadapi lingkungan sosial dan nonsosial. Selain itu, karakter anak sebenarnya didominasi oleh sifat periang, mudah memaafkan, tidak membeda-bedakan teman, yang menunjukkan tingkat perkembangan kecerdasan emosionalnya. Tidak salah rasanya jika petikan lirik lagu Sleeping Child oleh Michael Learns To Rock: “… the world's so wild but you've built your own paradise” (dunia ini sangat kejam tapi engkau membangun surgamu sendiri), mendukung deskripsi karakter alamiah anak yang penuh kebahagiaan dan kasih sayang lintas batas.
Jadi, upaya-upaya mempromosikan nilai dan perilaku yang toleran kepada anak hendaknya tidak menimbulkan citra yang mengancam sarat hukuman yang pada gilirannya hanya akan menciptakan toleransi semu. Mengakui dan kesediaan hidup berdampingan dalam kebhinekaan sebagai identitas bangsa sejak dini hanya akan tertanam dan mengakar dengan kuat jika mendapat pengakuan dari anak sendiri yang secara alamiah telah tumbuh dalam diri anak. Tidaklah bijak bagi kita memudarkan pandangan anak yang melihat dunia bagai surga melalui proses pemahaman seperti kita mendidik diri kita yang telah banyak terkontaminasi realitas dunia ini.
ADVERTISEMENT
Sebagai penutup tulisan, mari kita lanjutkan lantunan lirik Sleeping Child untuk mengingat dan menyadari dunia anak yang sejatinya indah. “If all the people around the world. They had a mind like yours. We'd have no fighting and no wars”. There would be lasting peace on Earth (Jika semua orang di dunia memiliki pemikiran seperti dirimu, tak akan ada pertengkaran dan peperangan. Hanya ada perdamaian abadi di bumi ini).