Belajar Konflik dan Perdamaian di UGM

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
23 Juli 2022 20:49 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Tidak ada fenomena yang lebih menyakitkan, dari sekian banyak fenomena yang mencuat di negara kita pasca runtuhnya Orde Baru, selain banyaknya berbagai aksi konflik di hampir seluruh segi kehidupan kita. Baik berskala regional, maupun nasional. Konflik sendiri didefinisikan oleh Simon Fisher sebagai “hubungan antara dua pihak atau lebih (individu atau kelompok) yang memiliki, sasaran-sasaran yang tidak sejalan” (Fisher, 2000).
ADVERTISEMENT
Konflik adalah suatu kenyataan hidup, tidak terhindarkan dan sering bersifat menghancurkan. Konflik terjadi ketika tujuan masyarakat tidak sejalan. Berbagai perbedaan pendapat dan konflik biasanya diselesaikan dengan kekerasan, dan sering menghasilkan situasi yang buruk bagi sebagian besar atau semua pihak yang terlibat.
Saat ini tak jarang bagi sebagian orang ketika melihat konflik terjadi dengan mudah selalu terjebak pada istilah oknum. Seakan-akan ketika oknum sudah tertangkap maka konflik akan selesai begitu saja tanpa mau melacak akar persoalan konflik. Kenyataan ini juga dialami oleh saya pribadi sebagai contoh, saya yang latar belakangnya berangkat dari sarjana jurusan perbandingan agama Universitas Islam Negeri (UIN) Jakarta. Dahulu memahami konflik antar agama hanya berdasarkan klaim kebenaran dogma agama semata seperti, klaim kebenaran (truth claim) dan klaim keselamatan.
ADVERTISEMENT
Dalam artian saat itu saya memahami bahwa konflik yang berbasis agama hanya terkait dengan pembenaran dogma masing-masing penganut agama, bahwa agama sayalah yang paling benar. Dalam beberapa kasus konflik berbasis agama, klaim-klaim itu mungkin ada tetapi itu bukan satu-satunya narasi dari adanya penyebab konflik. Setelah saya melanjutkan pendidikan di program magister perdamaian dan resolusi konflik Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya mulai diajarkan tentang bagaimana konflik bisa terjadi dan bekerja.
Melalui pembelajaran mata kuliah manajemen konflik, saya mengetahui bahwa terjadinya konflik harus dilihat melalui tiga aspek, yaitu: (Fisher, 2000)
• Konteks atau situasi yang didalamnya terdapat ketidakcocokan tujuan
• Sikap yakni perbedaan persepsi dari pihak yang berkonflik
• Perilaku merupakan perbuatan pihak yang berkonflik
ADVERTISEMENT
Ketiga faktor itu saling mempengaruhi, setiap pihak memiliki pengalaman-pengalaman yang berbeda dan persepsi yang bertentangan. Oleh karena itu mereka mungkin menghubungkan konflik dengan sebab-sebab yang berbeda. Misalnya, mungkin satu pihak menyatakan bahwa akar masalah adalah klaim kebenaran, sementara pihak lain merasa bahwa akar masalahnya adalah politik. Alih-alih diselesaikan dengan baik mereka yang berkonflik malah cenderung untuk menyerang mereka yang pendapatnya berbeda tentang penyebab terjadinya konflik.
Metode ini merupakan salah satu metode dari sekian banyak metode yang diajarkan dan dijadikan kerangka teori bagi para mahasiswa dalam melihat sebuah konflik. Sebab hari ini, ketika kita melihat sebuah konflik hanya dari permukaan, dalam artian bahwa konflik itu terjadi secara spontan. Padahal mungkin saja konflik itu sebenarnya sudah ada sejak dahulu dan mencuat jadi kekerasan ketika menemukan sebuah momentum.
ADVERTISEMENT
Dari metode yang dipelajari ini saya makin memahami bahwa konflik seharusnya tidak dihindari melainkan harus diselesaikan. Sebab konflik tidak selalu bermakna negatif tetapi juga positif. Ada banyak bahan pustaka, terutama dalam dunia bisnis, yang memfokuskan isinya pada manfaat konflik. Manfaat ini antara lain membuat orang-orang menyadari adanya banyak masalah, mendorong ke arah perubahan, memperbaiki solusi, dan menambah kepedulian diri.
Di program magister perdamaian dan resolusi konflik Universitas Gadjah Mada (UGM) ini, saya juga mengetahui tentang makna perdamaian. Sebagai orang awam selama ini saya memaknai perdamaian hanya sebatas tidak adanya bentrokan, perang, tawuran, dan kerusuhan antar etnis dan agama. Ternyata yang dimaksud perdamaian itu maknanya luas, sebagaimana dikatakan oleh Johan Galtung bahwa “perdamaian bukan hanya tidak adanya kekerasan (absence of violence) tetapi juga tercapainya keadilan sosial, karena tanpa keadilan sosial tidak mungkin terjadi perdamaian” (Windhu, 1992).
ADVERTISEMENT
Bahkan Johan Galtung membagi konsep perdamaian menjadi dua, yaitu perdamaian positif dan perdamaian negatif. Perdamaian positif dimaknai sebagai usaha perubahan diskriminasi struktural. Tuntutan persamaan hak dalam mendapatkan perlakuan oleh sistem yang ada, baik dalam bidang ekonomi, politik, dan sosial. Sedangkan perdamaian negatif berfokus pada tidak adanya kekerasan langsung, seperti perang.
Pemikiran Johan Galtung sungguh telah membuka wawasan saya mengenai konsep perdamaian yang sesungguhnya. Sebab dari pemikiran itu saya menjadi paham bahwa selama keadilan belum terwujud bagi semua pihak maka perdamaian akan sulit untuk hadir. Dan mungkin konflik atau kekerasan di sebuah wilayah sudah tidak ada, tetapi dampak dari konflik atau perang telah meninggalkan kerugian bagi pihak yang terdampak, seperti hilangnya hak-hak hidup seseorang yang menyebabkan kesengsaraan.
ADVERTISEMENT
Belajar mengenai konflik dan perdamaian di program magister perdamaian dan resolusi konflik Universitas Gadjah Mada (UGM). Saya jadi dapat mengetahui bahwa ilmu-ilmu yang diajarkan ini, ternyata sangat bermanfaat dan dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia hari ini. Mengingat Indonesia yang memiliki ragam etnis, agama, ras dan suku bangsa sangat rentan sekali menimbulkan konflik akibat perbedaan cara pandang atau ideologi yang makin marak terjadi.
Daftar Pustaka
Fisher, S. (2000). Mengelola Konflik. London: Zed Books.
Windhu, M. (1992). Kekuasaan dan Kekerasan Menurut Johan Galtung. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.