Filsafat Perdamaian

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
31 Juli 2022 11:50 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Suara filsafat banyak berbicara tentang perdamaian dan di zaman sekarang ini kita perlu mendengarkannya. Para filsuf mungkin bukan pembuat undang-undang dunia, tetapi mereka dapat membantu kita memperjelas prinsip-prinsip moral, memahami realitas dan membedakan pengetahuan yang benar dari yang salah. Oleh karena itu nasehat yang telah ditawarkan oleh para filsuf masa lalu tentang perdamaian masih relevan hingga saat ini.
ADVERTISEMENT
Para filsuf yang berbicara tentang perdamaian bukan hanya satu melainkan datang dari lintas tradisi mulai dari timur hingga barat. dari tradisi timur ada dua tokoh, yaitu Lao Tzu pendiri Taoisme, yang menekankan bahwa kekuatan militer bukanlah tao atau jalan yang diikuti oleh manusia. Dia sering mengacu pada air yang tenang dan lembut, namun pada akhirnya menang atas zat keras seperti, batu atau besi. Kemudian Mo Tzu, yang menentang perang dan mendukung cinta yang merangkul semua manusia sebagai kebajikan universal. Sebagaimana Mao Tzu mengatakan bahwa “mereka yang mencintai orang lain juga akan dicintai sebagai balasannya. Berbuat baik kepada orang lain dan orang lain akan berbuat baik kepadamu. Benci seseorang maka kamu akan dibenci. Lukai mereka dan mereka akan menyakitimu” (Putra, 2020).
ADVERTISEMENT
Ajaran kedua filsuf itu menekankan pentingnya empati dan cinta terhadap sesama manusia. Sebab salah satu syarat utama untuk menikmati hidup adalah dicintai oleh banyak orang dan jalan untuk mencapainya adalah dengan mencintai orang lain. Ini adalah kebenaran yang sudah diakui di masa lampau dan yang kini masih tetap diakui. Bahkan menurut dewan penasehat peace foundation yang berbasis di Wina, Austria, mengatakan bahwa "resolusi konflik tak sepenuhnya bisa diselesaikan di ranah formal melalui perundingan saja. Melainkan ada dua syarat bagi terwujudnya perdamaian, yaitu saling menghormati serta kekuatan cinta dan yang paling penting adalah memulai mewujudkan perdamaian itu dari diri sendiri" (Red, 2016).
Sedangkan filsuf yang berbicara perdamaian dari tradisi barat adalah Sokrates sebagai pionir yang mengembangkan dialog sebagai model berfilsafat. Bagi Sokrates, hidup merupakan perjalanan dialogis untuk mengerti serta memahami kebenaran. Dan sebagai upaya untuk menjadikan filsafat yang diusung Sokrates ini tetap relevan, maka pada abad ke-20 berkembang sebuah gerakan filsafat praksis di Eropa dan Amerika. Filsafat praksis adalah interaksi seseorang yang memiliki kompetensi filosofis secara memadai untuk membantu orang lain mengolah kehidupannya, membuka pandangan hidupnya, serta mengerti dan menjawab masalah-masalah konkret yang dihadapi.
ADVERTISEMENT
Sebagai ilmuwan filsafat, John Dewey filsuf asal Amerika berusaha menemukan sumbangan filsafat bagi perkembangan budaya yang menjunjung tinggi perdamaian dan mengatasi persoalan kemanusiaan. John Dewey menemukan hubungan antara filsafat, pendidikan dan pengembangan budaya damai. Ia terinspirasi dari model berfilsafat Sokrates yang menjunjung tinggi dialog sebagai bentuk pendidikan masyarakat.
Menurut John Dewey filsafat dan pendidikan merupakan proses mengembangkan karakter pribadi manusia yang ditandai oleh tanggung jawab sosial untuk mengembangkan nilai-nilai keadilan dan perdamaian. Untuk mewujudkan hubungan antara filsafat, pendidikan dan perdamaian, John Dewey mengembangkan konsep peace education, yaitu teori pendidikan yang mempromosikan pengetahuan, keahlian, sikap, dan nilai-nilai yang diperlukan untuk membawa perubahan perilaku anak didik. Dalam implementasinya, peace education menghubungkan kecerdasan intelektual dan kesadaran spiritual pada puncak pencapaian daya kreativitas anak didik. Daya-daya kreativitas yang terdapat pada anak didik meliputi pencegahan konflik dan kekerasan, menyelesaikan konflik secara damai, dan menciptakan kondisi yang damai. Oleh karena itu aspek-aspek yang harus dikembangkan dan diajarkan dalam peace education adalah anti kekerasan, hak asasi manusia, demokrasi, toleransi, pemahaman antarbangsa dan budaya, serta pemahaman perbedaan budaya dan bahasa (Saihu, 2019).
ADVERTISEMENT
Pada kurun berikutnya, sebagai pengembangan konsep peace education yang dilakukan oleh John Dewey. James Smith seorang pakar pendidikan perdamaian asal Australia memberikan saran lima etika filosofis untuk peace education, yaitu: (Nurcholish, 2015)
• Etika moralitas, yang mana perdamaian dapat ditafsirkan sebagai suatu kebajikan, sementara kebajikan diartikan sebagai kedamaian, dan peace education sebagai pendidikan kebajikan.
• Etika konsekuensialis, yang mana peace education dapat ditafsirkan sebagai edukasi tentang konsekuensi dari tindakan seseorang dan tidak bertindak, baik sebagai individu, maupun kolektif.
• Etika politik konservatif, yang mana peace education dapat ditafsirkan sebagai penekanan pentingnya evolusi institusi sosial dan pentingnya perubahan sosial yang teratur.
• Etika estetis, yang mana perdamaian dapat ditafsirkan sebagai sesuatu yang indah dan berharga dalam dirinya sendiri, dan peace education menekankan akan pentingnya keindahan dan nilai.
ADVERTISEMENT
• Etika perawatan, yang mana perawatan dapat ditafsirkan sebagai inti elemen dalam damai, dan peace education sebagai pendorong kepercayaan dan keterlibatan dengan yang lain.
Dalam pengajaran peace education setidaknya ada empat prinsip pokok yang harus diterapkan, yaitu: (Nurcholish, 2015)
• Holistik, yakni proses pembelajaran yang melibatkan pikiran, hati, semangat, sekaligus tindakan. Jadi, pembelajaran benar-benar meresapi dan mengerti apa yang dipelajari, bukan hanya untuk memperkaya pikiran keilmuan. Tetapi untuk memperkaya hati yang kemudian mempraktikkannya melalui tindakan.
• Dialog, yakni anak didik dan guru berada dalam posisi yang sama dan saling belajar. Dialog juga melatih anak didik dan guru untuk saling menghormati dan menghargai.
• Pemikiran kritis, yakni mendorong tumbuhnya pemikiran kritis dari anak didik, yang nantinya diharapkan akan melahirkan komitmen untuk berperan dalam membangun budaya damai.
ADVERTISEMENT
• Membentuk nilai-nilai perdamaian, yakni membangun kesepakatan bersama untuk menghasilkan budaya damai yang memungkinkan diambil dari budaya atau kearifan lokal dari tiap tempat atau daerah masing-masing.
Selain John Dewey, salah satu filsuf yang juga mengembangkan filsafat praksis dalam mewujudkan perdamaian adalah Eric Weil filsuf asal Jerman. Ia sangat tertarik pada pemikiran Sokrates. Dari Sokrates, Eric Weil belajar mengenai dialog dan keteguhan untuk memperjuangkan kebenaran dan keadilan bagi terciptanya perdamaian. Sebab Sokrates berpendapat bahwa berfilsafat berarti berdialog dan berdiskusi untuk mengungkapkan kebenaran.
Bagi Eric Weil hidup manusia merupakan proses dialog dan kerja sama untuk membangun kehidupan yang bermartabat. Kehidupan bersama yang bermartabat ditandai oleh berkembangnya sikap dan tindakan bebas, kreatif, kritis, dialogis, saling menghormati, dan damai. Eric Weil mengungkapkan sebuah gagasan penting bahwa salah satu dimensi filsafat adalah dialog. Dialog merupakan jalan damai yang menempatkan sesama manusia secara sederajat. Dalam dialog, kekerasan dapat dihindari dan pencarian makna hidup dapat dikembangkan. Mengembangkan hidup yang manusiawi dan damai merupakan tugas setiap individu yang harus terus dilakukan.
ADVERTISEMENT
Berfilsafat menurut Eric Weil adalah tindakan nyata untuk mewujudkan segala kemampuan manusiawi secara bebas. Ciri hidup dari tindakan yang bebas tampak dalam keterbukaan untuk berdialog. Berfilsafat dapat menjadi cara untuk membebaskan manusia dari kekerasan. Berdialog merupakan cara berada dan berkembangnya hidup manusia yang selalu terbuka untuk mencapai hidup bersama yang bersahabat, bertanggung jawab, cerdas, dan damai. Hidup damai menggambarkan wajah martabat manusia yang nyata dan lestari. Perdamaian dapat terwujud bila kehidupan diwarnai oleh kerja sama, dialog, saling menghormati, saling menghargai dan hidup bersaudara (Mulyanto, 2012).
Daftar Pustaka
Mulyanto. (2012). Filsafat Perdamaian. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
Nurcholish, A. (2015). Peace Education & Pendidikan Perdamaian Gus Dur. Jakarta: PT Elex Media Komputindo.
ADVERTISEMENT
Putra, B. A. (2020). Studi Konflik dan Perdamaian Internasional. Yogyakarta: Penerbit Deepublish.
Red. (2016, April 25). Alfred of Liechtenstein: Wujudkan Perdamaian dengan Cinta. Retrieved from REPUBLIKA.co.id.
Saihu, M. (2019). Merawat Pluralisme Merawat Indonesia (Potret Pendidikan Pluralisme Agama di Jembrana-Bali). Yogyakarta: Penerbit Deepublish.