Sejarah Penghancuran Buku di Jerman, 1933

Dimas Sigit Cahyokusumo
Alumni Program Magister Perdamaian dan Resolusi Konflik (MPRK) UGM
Konten dari Pengguna
15 Oktober 2022 13:58 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dimas Sigit Cahyokusumo tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto Dokumentasi Pribadi
zoom-in-whitePerbesar
Foto Dokumentasi Pribadi
ADVERTISEMENT
Buku sering juga disebut sebagai jendela dunia. Karena manfaat dan kegunaan buku memang sangat penting untuk menambah wawasan dan mengetahui banyak hal yang ada di dunia. Buku bukan saja merupakan rangkaian kata-kata yang tersusun rapi dalam lembaran. Melainkan sebuah laboratorium pengetahuan penting bagi peradaban manusia. Dengan membaca buku khalayak umum dapat membuka wawasan mengenai berbagai hal seperti, ekonomi, sejarah, politik, maupun berbagai aspek mengenai kehidupan manusia lainnya.
ADVERTISEMENT
Membaca buku juga dapat menambah kecerdasan akal pikiran, inspirasi, dan ingatan. Dari berbagai temuan yang paling agung dari sejarah manusia buku merupakan temuan yang paling mengesankan. Jika mikroskop dan teleskop adalah perpanjangan pengelihatan, telepon adalah perpanjangan suara, maka buku adalah perpanjangan ingatan dan imajinasi (Baez, 2013). Bukulah yang memberi wadah bagi ingatan manusia.
Buku adalah pelembagaan ingatan dari warisan budaya suatu masyarakat. Dalam dirinya sendiri, buku menyimpan banyak kekuatan yang mampu menggugah kesadaran dan cara pandang akan kenyataan hidup. Dengan membaca buku manusia memiliki alternatif dalam cara berpikir yang lebih luas. Maka tidak heran jika bagi sebagian orang buku dapat dianggap berbahaya. Hal itu disebabkan karena buku banyak menyimpan inspirasi dan kekuatan yang mampu merubah seseorang menjadi pribadi yang tangguh. Selain menyimpan identitas seorang manusia atau suatu masyarakat dari kebudayaan tertentu.
ADVERTISEMENT
Tak ada identitas tanpa ingatan. Jika kita tidak ingat siapa kita, maka kita tidak akan mengenal siapa diri kita. Selama berabad-abad, kita telah banyak melihat bahwa ketika suatu kelompok bangsa berusaha menguasai kelompok atau bangsa lain, yang pertama mereka lakukan adalah menghapus atau menghancurkan ingatan dalam rangka membentuk ulang identitasnya. Dalam sejarah umat manusia telah banyak hal yang dilakukan untuk menghancurkan ingatan-ingatan tersebut, salah satunya melalui penghancuran sebuah buku atau lebih dikenal dengan bibliosida.
Bibliosida istilah yang dipakai untuk menyebut penghancuran buku-buku sebagai upaya membasmi ingatan yang secara langsung atau tidak langsung mengandung ancaman terhadap ingatan lain yang bermaksud menguasai atau mengungguli. Buku dihancurkan bukan karena sebagai objek fisik, melainkan sebagai penghancuran atau penghapusan sebuah ingatan dari identitas manusia dan bangsa.
ADVERTISEMENT
Umberto Eco menggolongkan ada tiga bentuk penghancuran sebuah buku: (Baez, 2013).
• Penghancuran buku karena kepentingan. Mereka tidak membenci buku sebagai objek, mereka takut akan isinya dan tidak ingin orang lain membacanya.
• Penghancuran buku karena pengabaian. Sebagaimana yang diperbuat banyak perpustakaan di Italia yang kurang dirawat, yang menjadi ruang-ruang bagi penghancuran buku, karena salah satu cara menghancurkan buku adalah dengan membiarkannya mati dan lenyap di tempat tersembunyi dan sulit diakses.
• Penghancuran buku dengan merusak buku-buku untuk menjualnya, sebab cara demikian akan bisa mendatangkan keuntungan yang besar.
Penghancuran Buku di Jerman 10 Mei 1933
Sejak Partai Nazi berkuasa, Adolf Hitler mengeluarkan kebijakan tentang pemusnahan kaum Yahudi atau disebut dengan holocaust. Holocaust menggambarkan pembasmian sistematis yang dilakukan Nazi Jerman terhadap jutaan kaum Yahudi selama perang dunia II. Namun peristiwa mengerikan itu terlebih dahulu diawali dengan penghancuran buku. Jutaan buku dihancurkan oleh rezim Adolf Hitler. Maka benar apa yang diramalkan oleh Heinrich Heine melalui karyanya almansor tahun 1821 bahwa, “dimanapun mereka membakar buku, pada akhirnya mereka membakar manusia” (Baez, 2013).
ADVERTISEMENT
Sebelum tahun 1933, pasukan Nazi sudah menangkapi banyak penulis. Pasukan Nazi merazia toko-toko buku dan membuangi karya-karya Erich Maria Remarque. Setiap hari mereka menelepon para penulis dan mengancam mereka. Pasukan Nazi juga mencoreti dan bahkan merusak rumah para penulis. Pada 26 Maret 1933, buku-buku dibakar di Schillerplatz, di tempat bernama Kaiserslautern. Pada bulan April, Wuppertal dijarah dan buku-buku dibakar di Brausenwerth dan Rathausvorplatz.
Pada 2 Mei 1933, naskah-naskah di Gewerkschaftshaus, Leipzig, dimusnahkan. Pada 5 Mei, mahasiswa-mahasiswa Universitas Cologne mendatangi perpustakaan dan membuangi buku-buku karya penulis Yahudi. Beberapa jam kemudian, dengan maksud menyebarkan pesan ke seluruh dunia, mereka membakar buku-buku itu. Pada 6 Mei, sayap pemuda partai Nazi, bersama anggota organisasi lain, menyingkirkan setengah ton buku dan pamflet dari Institut Fur Sexualwissenschaft di Berlin, sebuah institusi bergengsi yang didirikan Dr. Magnus Hirschfeld pada 1918. Diperkirakan 10.000 ribu buku, beserta surat, laporan, dan dokumen rahasia dibuang. Di sudut Katedral Munster, buku-buku yang dianggap nista diikat ke sebatang pohon (Baez, 2013).
ADVERTISEMENT
Pada 10 Mei 1933, anggota asosiasi mahasiswa Jerman mengumpulkan seluruh buku terlarang. Mahasiswa di 34 kota di seluruh Jerman membakar lebih dari 25.000 buku. Karya-karya penulis Yahudi, seperti Albert Einstein dan Sigmund Freud terbakar bersama penulis-penulis Amerika yang masuk daftar hitam, seperti Ernest Hemingway dan Helen Keller. Tak lama kemudian 40.000 ribu mahasiswa berkumpul di lapangan opera Berlin untuk mendengarkan pidato dari Menteri Propaganda Nazi, Joseph Goebbels.
Joseph Goebbels berkata bahwa, “era intelektualisme Yahudi sekarang sudah berakhir. Masa depan tidak hanya akan menjadi seorang ahli buku, tetapi seorang pria yang berkarakter. Untuk tujuan inilah kami ingin mendidik anda. Dan dengan demikian anda telah melakukannya dengan baik di tengah malam ini untuk berkomitmen pada api semangat jahat dari masa lalu. Selama empat belas abad, para mahasiswa, menderita di bawah penghinaan memalukan Republik November, dan perpustakaan-perpustakaan mereka berjubel sampah dan korupsi dari aspal literer Yahudi” (Experience).
ADVERTISEMENT
Pembakaran Buku oleh Nazi di Berlin 1933 (Sumber: Buku Penghancuran Buku dari Masa ke Masa 2017)
Pada hari yang sama, pembakaran buku dilaksanakan serentak di kota-kota lain di Jerman. Di Frankfurt, buku-buku diangkut dengan truk, dan para mahasiswa membentuk rantai manusia untuk mengoperkannya satu demi satu sampai ke api pembakaran. Di Munich, pembakaran dilakukan sebagai sebuah acara resmi dan jadwalnya telah diedarkan beberapa hari sebelumnya. Bahkan pada 1937 rezim Nazi juga menyusun daftar karya seni yang harus dicekam. Lebih dari 15.000 karya seni disita dan sedikitnya 650 lukisan, patung, dan buku dipamerkan di Munich dalam pameran bertajuk seni yang tidak bermoral.
Merawat Pemikiran
Dampak pembakaran buku sepanjang Mei 1933 sangat mengerikan. Buku yang selama ini telah menjadi sumber inspirasi dan identitas dari masyarakat atau sebuah bangsa telah dilenyapkan. Berbagai kelompok intelektual di New York berdemo untuk menggugat pembakaran ini. Majalah newsweek menyebutnya sebagai holocaust buku, sementara majalah times menggunakan istilah bibliocaust. Aktivis sekaligus penulis Helen Keller pernah merilis surat terbuka kepada mahasiswa Jerman yang berbunyi, “kalian bisa saja membakar buku-buku saya, dan buku-buku yang ditulis dari pemikiran terbaik di Eropa, tapi pemikiran yang dimuat dalam buku-buku itu telah melewati ribuan saluran dan akan terus mengalir” (Baez, 2013).
ADVERTISEMENT
Melalui surat terbuka tersebut, Helen keller ingin menegaskan bahwa meski secara fisik buku-buku dihancurkan, tetapi semangat, inspirasi, dan pengetahuan dari sebuah buku akan terus ada dan abadi. Sebagaimana dikatakan oleh Santo Agustinus bahwa dunia adalah buku, dan mereka yang tidak berpergian hanya membaca satu halaman. Artinya buku seperti dunia yang luas yang akan ada meski di dalamnya penuh kekejaman, kekerasan, dan kegerian. Buku tetap menjadi bagian dari sejarah peradaban manusia.
Daftar Referensi
Baez, F. (2013). Penghancuran Buku Dari Masa ke Masa. Jakarta: Marjin Kiri.
Experience. (n.d.). Book Burnings in Germany, 1933. Retrieved from American Experience.