Public Trust dan Masalah Pengangkatan Hakim MK

dimas firdausy hunafa
Bagian Hukum Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
27 Mei 2021 11:01 WIB
·
waktu baca 2 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dimas firdausy hunafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Foto: Kumparan.com
zoom-in-whitePerbesar
Foto: Kumparan.com
ADVERTISEMENT
Penolakan uji formil UU No. 19 Tahun 2019 tentang Revisi UU KPK yang tergambar dalam Putusan MK No. 70/PUU-XVII/2019 dan Putusan MK No. 79/PUU-XVII/2019 dinilai melukai hati rakyat. Tak sedikit pihak merespons dengan mengatakan, putusan MK a quo sebagai awal bagi kehancuran pemberantasan korupsi di Indonesia. Namun tanpa disadari, secara implikatif putusan tersebut dapat membuat MK melemahkan dirinya sendiri, dalam arti merusak kepercayaan publik (public trust). Logika dasarnya, pemohon sebagai warga negara yang merasa kecewa atas Revisi UU KPK, melakukan pengujian di samping banyaknya penolakan yang disuarakan melalui aksi maupun desakan media masa. Namun sikap MK yang menolak menguji formil revisi UU KPK dianggap tak memihak pada kepentingan publik. Memang sejak awal, revisi UU KPK tak pernah melibatkan partisipasi masyarakat secara luas.
ADVERTISEMENT
MK sebagai gerbang terakhir bagi justice seeker (rakyat), diharapkan mampu memberikan rasa lega melalui putusannya yang bersifat populis, namun belakangan ini MK menutup itu semua. Pada titik ini, public trust terhadap MK ditakutkan mulai pudar, padahal amat penting bagi suatu lembaga negara yang merupakan bagian tak terpisahkan dari bukti kredibilitas dan akuntabilitas penyelenggaraan kewenangan yang diemban.
Mencari Akar Masalah
Bicara public trust, erat kaitannya dengan pelayanan yang diberikan, memang secara kelembagaan MK dalam memberikan pelayanan selangkah lebih maju dibanding lembaga negara lain. Contoh, mekanisme e-court yang sudah diterapkan, digitalisasi kelembagaan yang sudah mapan, keterbukaan informasi yang mudah diakses. Namun dari segi substansi produk yang dihasilkan, putusan MK belakangan ini perlu mendapat perhatian.
ADVERTISEMENT
Bukan sekali putusan MK bersifat “kurang” populis. Jika diamati, belakangan ini MK seolah kikuk ketika berhadapan dengan kepentingan politik (Zainal Arifin Mochtar, 2021). Maksudnya, ketika terdapat gugatan yang menyangkut kepentingan politik, independensi hakim dalam menjatuhkan putusan tersandera rasa pekewuh, hal ini disinyalir karena terdapat persoalan ditingkat hulu, yakni mekanisme pengangkatan hakim di Indonesia yang masih bernuansa politis. Tidak hanya pada MK, peradilan di bawah MA-pun memiliki permasalahan yang hampir sama.
Terdapat korelasi antara sistem pengangkatan hakim dengan jaminan independensi peradilan. Tesis ini bukan mengada-ada jika merenungkan teori dasarnya Odette Buittendam yang mengatakan, tidak ada hakim yang baik, melainkan terbentuk berdasarkan sistem yang baik. Secara legal-konstitusional hubungan kausalitas mekanisme pengangkatan hakim MK menentukan sembilan hakim diangkat oleh presiden masing-masing tiga orang berasal dari DPR, MA dan Presiden. Dipersulit dalam level UU-pun menutup kemungkinan adanya partisipasi publik.
ADVERTISEMENT
Putusan MK dan Pengalaman Pahit
Berikut akan dibuktikan beberapa sampel putusan MK yang berkorelasi dengan tesis di atas, pertama, Putusan MK No. 36/PUU-XV/2017. Dalam putusan ini MK menolak menguji permohonan yang didalilkan, MK praktis memperkuat bahwa KPK merupakan unsur eksekutif sehingga hak angket yang dimiliki DPR terhadap KPK tetap dapat dijalankan. Seolah menjilat ludahnya sendiri, pada putusan-putusan sebelumnya MK mengatakan KPK merupakan lembaga independen yang tidak dapat diintervensi oleh pihak mana pun. Kedua, putusan soal ambang batas pencalonan Presiden, penulis mengamati dalam tiga putusan. Putusan MK No. 51-52-59/PUU-VI/2008; Putusan MK No. 53/PUU-XV/2017 dan Putusan MK No. 74/PUU-XVIII/2020, pada intinya MK berkukuh bahwa ambang batas merupakan hal yang lumrah, bahkan secara konstitusional merupakan open legal policy pembentuk UU. Namun dalam praktik, ambang batas tak pernah menemukan format ideal, selalu terjadi perubahan setiap akan dilaksanakan pemilihan. Dalam dua pemilu belakangan, kandidat yang mengikuti kompetisi hanya dua pasangan calon. Padahal, salah satu ciri pemilihan yang demokratis ialah bersifat kompetitif dan terbukanya peluang bagi siapa pun untuk ikut berkompetisi di dalamnya. Dalam pandangan ini, MK seolah lepas tangan dan tak pernah memberikan alternatif.
ADVERTISEMENT
Masih terdapat putusan-putusan yang bernuansa politis. Hal lain yang patut menjadi pembelajaran ialah kasus suap yang pernah menyeret dua hakim MK, pengalaman ini merupakan bukti nyata tidak semua hakim MK itu bersih dan negarawan. Untuk itu, menegakkan independensi peradilan dimulai dari hakim yang baik, ikhtiar-nya dengan menemukan format mekanisme pengangkatan hakim melalui jalur rekrutmen dan seleksi yang terbuka dan imparsial.
Gagasan Penyempurnaan: Perkuat Peran KY
Sejak awal pembentukan Komisi Yudisial (KY) memang dirancang untuk membenahi permasalahan sistem pengangkatan hakim. Penulis merekomendasikan dua jalan, pertama, mekanisme distribusi. DPR bergandengan dengan publik menjaring nama-nama calon hakim kemudian diusulkan kepada KY, untuk selanjutnya dilakukan seleksi secara kompetitif dan melibatkan peran akademisi. Nama-nama yang terpilih kemudian diangkat oleh Presiden.
ADVERTISEMENT
Kedua, Studi Idul Rishan (2016) barangkali layak dijadikan rujukan, yakni dengan mengadopsi sistem merit laiknya praktik di negara-negara Eropa continental. Praktik ini dianggap paling memungkinkan, dengan “melibatkan” peran KY dalam proses screening dan uji kelayakan calon hakim. Pertimbangannya, dalam rangka menjaga check and balances antar cabang kekuasaan. Namun perlu digarisbawahi benang kusut sejatinya berada di sektor peraturan. Bagaimanapun mekanisme yang dipilih, dua langkah perlu ditempuh yakni menemukan momentum amandemen UUDN RI 1945; diikuti perbaikan di level UU.
Dimas Firdausy Hunafa, Pengamat Konstitusi dan Perancang Peraturan Perundang-undangan Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI