Seputar Masalah Legislasi

dimas firdausy hunafa
Bagian Hukum Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
8 Juli 2020 8:55 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dimas firdausy hunafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Seputar Masalah Legislasi
zoom-in-whitePerbesar
ADVERTISEMENT
Alasan pandemic corona viruse Disease-19 (covid-19) membuat Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) berusaha menurunkan target Program Legislasi Nasional (Prolegnas) 2020, dari awalnya Pembentuk UU menetapkan 50 Rancangan UU (RUU), rencananya DPR hanya akan mengambil 37 RUU untuk dibahas. Namun yang menjadi sorotan ialah, sejumlah RUU yang kontroversial didorong untuk tetap dilanjutkan masuk dalam daftar prolegnas 2020, seperti RUU Cipta Kerja, Revisi KUHP, dan RUU Pemasyarakatan. Tak sedikit yang mengira, hal ini merupakan upaya DPR mempercepat pembahasan RUU kontroversial tersebut.
ADVERTISEMENT
Jika kita urai, masalah akut terkait prolegnas sebelumnya terletak pada lemahnya produktivitas pembentukan UU, diperparah beberapa UU yang berhasil dibuat cenderung kontroversial dan bertolak belakang dengan apa yang dibutuhkan rakyat. sebut saja misalnya Revisi UU KPK dan Revisi UU Minerba.
Pada sisinya yang lain, ditengah masa sulit menghadapi Covid-19, tentu rakyat berharap banyak setiap kebijakan dan perundang-undangan yang dikeluarkan oleh otoritas pembentuk dapat mengatasi persoalan kenegaraan. Namun sayang seolah sudah menjadi kebiasaan buruk, pembentuk UU sering mengeluarkan RUU yang tak memiliki urgensi kebutuhan dan jauh dari kata “pro rakyat”. Belum lama ini muncul RUU Haluan Ideologi Pancasila (RUU HIP) yang kurang lebih sama, mendapat penolakan luas dikalangan publik.
RUU HIP merupakan produk legislasi inisiasi DPR, Salah satu alasan yang kerap disampaikan DPR terkait RUU ini adalah, untuk mengatur operasionalisasi ideologi Pancasila dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Patut jika rakyat mempertanyakan, apakah pembentuk UU telah mengoperasionalisasikan butir-butir nilai Pancasila dalam setiap proses legislasi bagi kehidupan bangsa dan negara?. Adakah harapan jaminan kesejahteraan rakyat terhadap kualitas legislasi kedepan?
ADVERTISEMENT
Kedudukan Pancasila dalam Proses Legislasi
Pancasila sebagai nilai dasar negara, digali sedalam akar budaya bangsa, dan ditempa oleh kerasnya penjajahan, hingga akhirnya lima azas disepakati mencerminkan gagasan berdirinya bangsa Indonesia, hanya karena kegigihan jasa founding people’s. Filsafat moral Pancasila inilah yang harus diketahui oleh semua putra bangsa. Pun upaya mewujudkan Pancasila sebagai sumber nilai, diakui sebagai norma dasar, mirip grundnorm-nya Hans Kelsen atau staatsfundanentalnorm milik Hans Nawiasky dalam suatu rantai hierarki norma hukum.
Prinsip norma dasar Pancasila selanjutnya dapat dilihat secara yuridis-konstitusional dalam Pembukaan konstitusi Indonesia (UUD NRI 1945) sebagai norma filosofis penyangga konstitusionalisme, untuk selanjutnya dioperasionalisasi, dijabarkan, dan dilestarikan dalam setiap hierarki atau tata urutan peraturan perundang-undangan di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Sentilan RUU HIP
Sebagai suatu sumber nilai, Pancasila harus dijabarkan dalam semua tingkat peraturan perundang-undangan, baik undang-undang, kebijakan, ketetapan, program pembangunan dan lain sebagainya. Karena didalamnya memuat prinsip demokrasi dan kesejahteraan rakyat versi ke-Indonesia-an. Pada titik ini, bukan berarti Pancasila lantas diformalkan melalui pranata UU dan turunannya secara absolute, melainkan, prinsip nilai itu yang dicerminkan dalam setiap norma. Hal ini yang perlu diluruskan, karena jika salah kaprah, justru menurunkan derajat Pancasila sebagai sumber nilai, lebih-lebih merusak tatanan hukum dan kenegaraan. Misalnya, jika Pancasila dinormakan melalui UU, akan memunculkan kerancuan antar norma disetiap lapis perundang-undangan bahkan berpotensi bertentangan dengan UUD NRI 1945, hal ini akan memunculkan kebingungan dalam pengujian perundang-undangan baik di Mahkamah Agung maupun Mahkamah Konstitusi. Kesalahan inilah yang memantik ragam reaksi atas lahirnya Rancangan UU HIP.
ADVERTISEMENT
Sisi Lain Legislasi
Jika diibaratkan, legislasi merupakan roda kemudi demokrasi, sementara institusi politik adalah nahkoda dibalik roda kemudi tersebut. Sebagai nahkoda demokrasi, penulis menentukann dua tipe nahkoda demokrasi, pertama, nahkoda demokrasi yang amanah mengantar rakyat sampai tujuan, atau kedua, nahkoda demokrasi yang serakah membelokkan arah legislasi demi alasan kepentingan pragmatis. Posisi rakyat sebagai penumpang, tentu jangan mau diarahkan oleh tipe kedua.
Salut, apa yang telah dilakukan rakyat saat ini untuk terus mengawal arah legislasi, meski ditengah pandemic covid-19 yang belum tahu kapan berakhir. Kemudi demokrasi harus tetap dikendalikan, karena akan menentukan arah perjalanan bangsa dalam menaungi medan global.
Semoga semangat konsolidasi demokrasi tetap terjaga. Jangan sampai, kita hanya mengira-ira masih hidup dalam alam demokrasi--jika tak ingin dikatakan demikian--legislasi tanpa pengawalan rakyat secara ketat, seperti apa yang dibayangkan S. Levitsky dan Daniel Ziblat, matinya demokrasi dapat terjadi. Wallahu A’lam.
ADVERTISEMENT
Dimas Firdausy Hunafa, Peneliti Pusat Studi Hukum Konstitusi Fakultas Hukum Uniersitas Islam Indonesia (PSHK FH UII)