Tantangan Pelaksanaan UU Cipta Kerja

dimas firdausy hunafa
Bagian Hukum Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama Republik Indonesia
Konten dari Pengguna
1 Maret 2021 10:02 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari dimas firdausy hunafa tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi omnibus law. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi omnibus law. Foto: Kiagoos Aulianshah/kumparan
ADVERTISEMENT
Pengawasan terhadap legislasi Omnibus Law harus tetap berlanjut, selain karena dianggap sebagai praktik legislasi yang masih baru, disisi lain juga substansi produk legislasinya mendapat ragam kritik dari kalangan publik.
ADVERTISEMENT
Produk legislasi yang dimaksud ialah UU No. 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Suatu praktik legislasi yang masih asing di Indonesia. Minimnya pengalaman ini menjadi kekhawatiran publik akan konsep legislasi Omnibus Law dalam tataran implementasi.
Omnibus Law lebih dikenal oleh negara-negara yang menerapkan sistem hukum Anglo saxon/common law sytem. Konsep ini diadopsi oleh Indonesia karena dianggap lebih efisien dalam mengatasi tumpang tindih regualasi.
Selain itu, jika kita menyimak pidato Presiden Joko Widodo pada awal keinginannya untuk mengadopsi konsep Omnibus Law di Indonesia, pada dasarnya ingin memberikan kemudahan dalam sektor perizinan investasi yang kondusif serta merampingkan pengelolaan birokrasi agar lebih simpel dan adaptif. Hal ini semata-mata dimaksudkan untuk mendorong bangsa Indonesia memiliki laju pertumbuhan ekonomi yang baik agar mampu bersaing secara global.
ADVERTISEMENT
Legislatif (baca: DPR) sebagai pemegang bandul kekuasaan pembentukan UU, menangkap sinyal Presiden dengan melahirkan 186 pasal UU Cipta Kerja. Kini niat baik itu (Presiden dan DPR) sedang tahap uji dan hari ini, kita ingin memastikan kesiapan bersama dalam menghadapi tantangan implementasi produk legislasi ini.

Dua Tantangan

Setengah jalan, UU Cipta Kerja mendapat tantangan akibat pandemi COVID-19 yang membuat tatanan pemerintahan harus beradaptasi dan menyesuaikan diri dengan kenormalan baru.
Di lain hal, perangkat birokrasi dipaksa berjalan lamban karena fokus pemerintah teralihkan mengatasi efek pandemi yang mengacaukan hampir seluruh komponen kenegaraan, termasuk fiskal negara, terlebih kesehatan rakyat.
Seiring sejalan penanganan pandemi yang masih berlanjut, faktanya, pelaksanaan UU Cipta kerja terus melangkah secara pasti, setidak-tidaknya telah melahirkan beberapa peraturan turunan. Meski demikian, terdapat beberapa catatan yang dapat kita gunakan sebagai bahan peringatan (warning).
ADVERTISEMENT
Pertama, tidak berhenti dalam tahap penormaan. Sifat Omnibus Law yang merampingkan beberapa peraturan, yang memiliki ruang lingkup pengaturan, domain kewenangan, dan karakter hukum yang berbeda-beda dalam satu UU, apabila tidak didasari teknik pembentukan yang tepat, kaidah penormaan yang cermat, dan proses hormonisasi secara ketat, hal ini disinyalir memberikan kerancuan penormaan aturan turunannya. Malahan, akan menambah lebih banyak kelemahan dan kerugian.
Jika kita kemudian beralih pengamatan pada peraturan turunan UU Cipta Kerja, sejauh pengamatan penulis, terdapat 49 (empat puluh sembilan) peraturan turunan telah terbentuk sebagai aturan pelaksana, hanya ada dua pilihan, implementasi dan awasi.
Implementasi dilakukan oleh pemerintah, dan apabila ternyata dalam praktik implementasinya terdapat hal yang menyimpang, seluruh pihak dapat melayangkan gugatan melalui uji materi (judicial review/ JR) di Mahkamah Agung (MA) agar proses pelaksanaannya tidak merugikan masyarakat lebih luas.
ADVERTISEMENT
Sebagaimana saat ini beberapa pihak telah melayangkan gugatan atas UU Cipta Kerja sebagai peraturan sektoral Omnibus Law di Mahkamah Konstitusi (MK). Hubungan timbal balik antara pemerintah dan rakyat inilah yang diidealkan negara demokrasi konstitusional yang sehat.
Lebih baik lagi, proses pengawasan dilakukan lebih dini, melalui kajian-kajian yang mendalam dan memiliki landasan filosofis, yuridis maupun sosiologis yang kuat, sebagai acuan dalam melakukan pengawasan. Sehingga dapat membuka mata untuk mengantisipasi tantangan-tantangan yang menimbulkan kerugian sejak awal.
Melalui kajian-kajian itu, dapat juga dijadikan dasar untuk melakukan pengawasan JR baik di MA maupun MK. Hal ini menuntut seluruh pihak termasuk akademisi, aktivis, politisi, maupun seluruh lapisan masyarakat.
Kedua, berdampak terhadap pelaksana pemangku kewenangan (stakeholder). Sifat Omnibus Law yang merampingkan karakter berbagai dimensi pengaturan UU dalam satu UU ini berdampak kepada pelaksana koordinasi kewenangan, baik vertikal maupun horizontal.
ADVERTISEMENT
Dalam koordinasi kewenangan horizontal berada di level pemerintah pusat, antara kementerian yang memiliki titik taut kewenangan dengan kementerian lain; secara vertikal jalur koordinasi kewenangan antara pemerintah pusat (kementerian) dan pemerintah daerah.
Pertanyaan yang muncul adalah, bagaimana keteraturan relasi hubungan kewenangan tersebut? Dalam hal ini kita perlu memastikan pemuatan norma dalam peraturan turunan UU Cipta Kerja perlu memuat norma mengenai kejelasan relasi hubungan kewenangan secara tepat dan cermat.
Secara konkret, nantinya penormaan kejelasan relasi hubungan kewenangan ini dapat digunakan pijakan oleh Presiden untuk membentuk pedoman pelaksanaan UU Cipta Kerja dan digunakan untuk mengambil langkah koordinasi dan komunikasi dengan kementerian sebagai pelaksana pembantu Presiden serta pemerintah daerah yang diwakilkan oleh perangkat daerah yang berkaitan.
ADVERTISEMENT
Sebagai negara kesatuan, daerah wajib didengar aspirasi dalam rangka menjalankan kebijakan yang diperintahkan oleh UU Cipta Kerja. Sehingga kedepan, dapat meminimalisir adanya peran egosektoral dan saling sikut kewenangan, baik di level pusat maupun daerah.
Akhir kata, pelaksanaan UU Cipta Kerja harus terus didorong ke arah pencapaian bersama, tantangan harus takluk melalui dukungan seluruh perangkat negara.
Dalam ranah praktik, pelaksanaan UU Cipta Kerja dilakukan melalui implementasi dan pengawasan oleh publik yang terus mengalir dalam batasan demokratis yang telah digariskan konstitusi, serta kerelaan daerah untuk bertindak aktif membantu merealisasikan urusan yang didelegasikan dalam peraturan perundang-undangan yang terkait.
Semata-mata agar ekspektasi bangsa Indonesia yang menyatakan diri berani bersaing di medan global tidak sebatas angan-angan yang tak mewujud.
ADVERTISEMENT
Dimas Firdausy Hunafa, Alumnus FH UAD dan Bagian Hukum Badan Litbang dan Diklat Kementerian Agama RI