Konten dari Pengguna

Ulik Rahasia PLTS: Awet 25 Tahun

Dinda Sekar Kinasih
Renewable Energy Enthusiast / Undergraduate Industrial Engineering Student at UPN Veteran Yogyakarta
16 September 2021 16:17 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
8
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dinda Sekar Kinasih tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Tahun 2021 tidak baik-baik saja. Apakah saat ini kita merasakan suhu bumi yang amat terik ?

Pekerja melakukan perawatan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) milik Hotel Santika Premiere Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (7/7/2021). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
zoom-in-whitePerbesar
Pekerja melakukan perawatan panel surya di Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) milik Hotel Santika Premiere Palembang, Sumatera Selatan, Rabu (7/7/2021). Foto: ANTARA FOTO/Nova Wahyudi
ADVERTISEMENT
Ini salah satu akibat disrupsi karena meluapnya emisi karbon di atmosfer. World Meteorological Organization (WMO) pun telah menobatkan tahun 2020 menjadi satu dari tiga tahun terpanas sepanjang sejarah. Sulit disangkal, memang persoalan kritis yang menuntut upaya mitigasi secara cepat dan masif.
ADVERTISEMENT
Bahkan saat ini beberapa negara sedang gencar menyiapkan argumen manisnya. Pasalnya, pada November 2021 di Skotlandia akan diadakan Conference of the Parties 26 (COP26) yang merupakan Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) dengan tajuk perubahan iklim [1]. Konferensi ini juga akan menagih janji negara dalam penurunan emisi karbon. Bahkan bakal dituntut membuat komitmen dan target yang lebih ambisius.
Menjawab persoalan ini, upaya elektrifikasi energi terbarukan menjadi solusi ambisius yang konkret. Menilik analisis Institute for Essential Services Reform (IESR), potensi teknis tenaga surya di Indonesia bisa mencapai 3000 – 20.000 Giga Watt Peak (GWp). Hal ini menyebabkan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sangat digadang – gadang menjadi prime mover energi terbarukan. Apa bisa cahaya matahari menghasilkan energi listrik ?
ADVERTISEMENT
Ibarat bola salju, adanya revolusi industri 4.0 tentu memudahkan proses konversi cahaya matahari menjadi listrik. Pada dasarnya, cahaya matahari mengandung foton yang juga memiliki nilai energi tertentu. Ketika foton diserap oleh sel surya yang sifatnya semikonduktor maka akan memicu output tenaga listrik. Penggunaan sel surya digolongkan sebagai energi terbarukan dan berkelanjutan. Faktanya memang penerapan PLTS tidak menimbulkan output berupa emisi karbon.
Eloknya, perawatan PLTS pun bisa dibilang tidak ribet. Bahkan konsumen tidak perlu mengeluarkan biaya maintenance yang banyak. Pasalnya panel surya yang dipasang miring memungkinkan pembersihan mandiri oleh air hujan. Panel surya cukup dilap secara rutin agar sinar matahari bisa terserap secara maksimal.
Selain perawatannya yang mudah. Lebih menggiurkannya lagi, ternyata penggunaan PLTS dapat menghemat biaya listrik PLN hingga 30%. Perawatan gampang, potensi melimpah-ruah, biaya hemat. Lantas apa penyebab kurangnya kredo akan pemasangan PLTS ?Sebenarnya sudah tidak ada hambatan yang krusial.
ADVERTISEMENT
Indonesia memiliki rata – rata lama penyinaran puncak (Peak Sun Hour (PSH)) selama 4-5 jam. Pada kondisi cerah biasanya panel surya bisa menghasilkan listrik sebesar 10 – 25%. Fenomena langit cerah namun turun hujan, lazim dikenal dengan “hujan tokek”. Menjadi dambaan panel surya. Pasalnya pada kondisi itu matahari tidak terhalang awan. Sehingga sinar matahari bisa terserap secara maksimal. Turunnya hujan pun juga bisa digunakan untuk membersihkan debu yang menempal di badan panel surya.
Saat malam hari pun PLTS masih bisa menebarkan listrik secara cakap. Menilik sistem PLTS ada dua yaitu off-grid (mandiri) dan on-grid (terhubung jaringan PLN). Pada sistem off-grid, eksistensi baterai memegang tonggak penting untuk menghasilkan aliran listrik saat malam hari. Prioritas pemakaian baterai adalah jenis lithium-ion. Sistem off-grid sangat cocok direalisasikan di tepi negeri yang belum terjangkau listrik PLN.
ADVERTISEMENT
Sedangkan sistem on-grid, masih tetap terhubung ke jaringan PLN. Pengadaan komponen baterai bukan suatu kewajiban. Pasalnya saat malam hari, listrik PLN lah yang akan menjadi tonggak penghasil aliran listrik. Sistem on-grid ini sangat cocok direalisasikan untuk rumah hunian yang berkonsep perumahan.
Lazimnya panel surya akan bekerja optimal selama 25 tahun. Produsen panel surya pun sudah semestinya memberikan garansi selama 25 tahun juga. Namun, usia produktif juga bisa dipengaruhi oleh faktor alam dan desain sistem yang digunakan. Faktor alam ini biasanya dari sisi iklim, cuaca, dan kondisi geografis lainnya. Memang panel surya ini sangat sensitif dengan iklim dan suhu lingkungan sekitar. Iklim dan suhu lingkungan yang adem tentu akan meminimalkan adanya degradasi keluaran daya.
ADVERTISEMENT
Namun, bukan berarti setelah 25 tahun panel surya sudah tidak bisa digunakan. Hanya saja produksi listriknya yang akan berkurang. Bahan panel surya tentu juga akan mempengaruhi degradasi kinerja PLTS tiap tahunnya. Kalau menggunakan bahan monocrystaline akan mengalami degradasi kinerja sebesar 0,5%, polycrystalline sebesar 0,8% disusul dengan thinfilm sebesar 1%. Sulit dipungkiri, bahan monocrystaline memang menjadi primadona masyarakat karena efisiensinya yang apik.
Sehingga PTLS pantas dinobatkan dengan "tidak abal-abal”. Faktanya panel surya ini memang awet, perawatan mudah, lebih hemat, dan kinerja sistemnya yang menggiurkan. Dukungan potensi energi surya yang besar, perkembangan teknologi yang sangat pesat. Tentu harapan besar bisa meningkatkan kapasitas PLTS terpasang secara masif.
Sudah saatnya Indonesia menjadi pilots country secara global dengan pemanfaatan kekayaan alamnya untuk energi berkeadilan.
ADVERTISEMENT
[1] Satryo Bramono Btodiningrat (Koordinator Sustainable Development and Climate Change Kementrian Luar Negeri), Working Group I Contribution to the Sixth Assesment Report of The IPCC “Climate Change 2021 : The Physical Science Basic” : Jakarta 31 Agustus 2021.