Napas Friska mendadak tersengal. Matanya berkaca-kaca. Dia tak langsung menjawab ketika aku bertanya tentang keseharian orangtuanya di rumah. Kubayangkan: memang tak mudah. Kesediaan bercerita adalah satu hal, lidah yang terkunci karena pikiran dibanjiri kenangan pahit adalah hal lain. Belum genap sebulan sejak kedua orangtua Friska meninggal dunia.
“Aku jadi agak triggered,” kata Friska, akhirnya. “Tapi nggak apa-apa. Psikologku justru menganjurkan untuk bercerita karena ini membantu prosesku berduka.”
Friska bilang, ketika kedua orangtuanya masih ada, dia selalu terbangun oleh musik dari ruang tamu setiap pukul enam pagi. Itulah tanda orangtuanya sudah mulai beraktivitas. Lagu-lagu disco, slow rock, atau jazz ‘60 sampai ‘90-an mengiringi sang ibu menyapu atau mengepel lantai selagi ayahnya menyantap sarapan.
Lanjut membaca konten eksklusif ini dengan berlangganan
Keuntungan berlangganan kumparanPLUS
Ribuan konten eksklusif dari kreator terbaik
Bebas iklan mengganggu
Berlangganan ke newsletters kumparanPLUS
Gratis akses ke event spesial kumparan
Bebas akses di web dan aplikasi
Kendala berlangganan hubungi [email protected] atau whatsapp +6281295655814