Myanmar dan Prinsip Nonintervensi

Dion Pardede
Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara
Konten dari Pengguna
23 Oktober 2021 14:02 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dion Pardede tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
sumber: pixabay
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
”Menlu Malaysia: Evaluasi Prinsip Nonintervensi” demikian judul salah satu kolom dalam rubrik Internasional koran KOMPAS pada Jumat (22/10/2021) tatkala Menteri Luar Negeri Malaysia Saifuddin Abdullah merasa prinsip nonintervensi menghalangi upaya ASEAN untuk mengatasi konflik Myanmar. Hal ini menarik, karena dalam diskursus hukum internasional, hal ini bukan kali pertama diperdebatkan.
ADVERTISEMENT
Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa menghendaki prinsip Noninterference (Nonintervensi) terhadap urusan domestik suatu negara berdaulat. Hal ini tidak lain untuk menjaga kedaulatan itu sendiri. Tak terkecuali negara-negara kawasan Asia Tenggara yang tergabung dalam Association of Southeast Asian Nation (ASEAN).
Tak sampai di situ, prinsip ini dijunjung teramat tinggi, mengingat latar waktu Pembentukan ASEAN berdekatan dengan Perang Dingin.
Perdebatan mengenai prinsip ini bukan sekali atau dua kali terjadi, namun masih belum ada kesepakatan maupun jalan tengah terkait perbedaan pandangan terhadap prinsip ini.
Terakhir, prinsip ini kembali memunculkan perdebatan tatkala kudeta militer Myanmar pada awal Februari tahun ini terus berkembang dan menimbulkan krisis yang kian memburuk. Terjadilah perdebatan khususnya pada negara-negara anggota ASEAN tentang langkah yang akan diambil dalam upaya regional untuk menyelesaikan krisis Myanmar yang juga merupakan anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT
Lantas, apakah prinsip ini jika diterapkan secara rigid benar-benar membawa kemanfaatan bagi kawasan? Bagaimana pula kaitan antara prinsip ini dengan upaya kolektif mengatasi persoalan Myanmar?

Sejarah Prinsip Nonintervensi ASEAN

Sebagaimana disebutkan sebelumnya, Pembentukan ASEAN yang berdekatan dengan Perang Dingin menyebabkan kedaulatan serta perlindungannya dalam bungkus prinsip noninterference dijunjung begitu tinggi dalam hubungan diplomatik antar negara-negara ASEAN.
Tampak pada Deklarasi ASEAN 1967 atau kita kenal pula sebagai Deklarasi Bangkok ditekankan pentingnya ‘security from external interference”. Jika dikaitkan dengan perbedaan konteks sosial masing-masing negara mulai dari sejarah bangsa, kebudayaan, pandangan politik, hingga komposisi populasi suatu negara (Pohan, 2009: 55).
Yang dimaksud adalah melindungi identitas nasional. Prinsip Nonintervensi ditempatkan sebagai instrumen saling hormat antar negara kawasan atau anggota-anggota ASEAN.
ADVERTISEMENT
Yang menarik, adalah dalam sejarahnya prinsip Nonintervensi tidaklah dianut terlalu rigid. Terdapat beberapa kasus di mana salah satu negara turun tangan dalam persoalan domestik.
Indonesia, pernah membantu Filipina dalam urusan persenjataan guna mengadang Terorisme pada tahun 1986. Atau misalnya Thailand yang mengurusi maraknya penyalahgunaan Narkotika dalam negeri Myanmar.
Terdapat pola khusus di mana prinsip Nonintervensi disimpangi. Kepentingan Filipina menerima intervensi dari Indonesia karena ada suatu hal yang tidak bisa ia atasi sendiri. Atau Thailand, yang menyimpangi prinsip non interference karena negara tersebut menerima dampak juga dari persoalan domestik Myanmar yakni penyalahgunaan narkotika.
Dari pola tersebut, mudah dipahami bahwa prinsip Nonintervensi tidaklah mustahil untuk disimpangi, apabila isu yang disasar dalam suatu intervensi memberi dampak yang dua arah, atau domestik sebagai sebab, namun transnasional sebagai sebuah akibat.
ADVERTISEMENT
Untuk fakta-fakta tersebut, telah banyak pemikiran mengenai intervensi yang dibenarkan dalam hubungan antar negara kawasan.
Salah satunya adalah constructive intervention atau intervensi konstruktif yang untuk pertama kali dikemukakan oleh Anwar Ibrahim dari Malaysia. Intervensi konstruktif sesuai namanya, bertujuan untuk membangun, atau pada taraf ideal menyelesaikan masalah tersebut.
Hal tersebut memanglah penting, karena prinsip Nonintervensi jika dipandang sebagai penghadang hanya akan memberikan celah pembiaran dalam hubungan regional. Hal ini justru kontra produktif bagi ASEAN sebagai sebuah Perserikatan Regional. ASEAN hanya dipandang sebagai forum formal yang mengisolasi diri dari keadaan riil masing-masing negara anggota.

Kedaruratan Myanmar

Myanmar sejak kudeta militer 01 Februari 2021 telah bergejolak, transisi kekuasaan dari sipil ke junta militer melahirkan pergolakan parah dalam masyarakat, bahkan berhadapan dengan aparat pemerintah junta.
ADVERTISEMENT
Sepanjang aksi penolakan pemerintahan junta, sedikitnya 1200 warga sipil tewas. Pelanggaran HAM berat, instabilitas sosial, bahkan ekonomi. Menggunakan logika telanjang, harusnya mudah dipahami bahwa Myanmar butuh bantuan untuk memecah konflik.
Namun, persoalan dengan prinsip Nonintervensi masih menghalangi negara-negara kawasan untuk turun tangan. Apa lagi soalnya adalah kekuasaan, maka pemerintah junta militer Myanmar akan cenderung defensif dan menginstrumentasi prinsip Nonintervensi dengan dalih kedaulatan. Dengan begitu, maka resolusi untuk konflik Myanmar hanya akan diselesaikan di bawah hukum dan konstitusi Myanmar sendiri.
Dan secara normatif, dalam menyikapi krisis politik Myanmar, sayangnya ASEAN tidak bisa keluar dari prinsip dan nilai-nilai yang tertera dalam Piagam ASEAN. Salah satu prinsip tersebut, adalah prinsip Nonintervensi. Ini artinya, krisis politik salah satu negara ASEAN adalah urusan dalam negeri negara yang bersangkutan, dan oleh karenanya intervensi dari negara anggota ASEAN yang lain tidak bisa dibenarkan (Hidriyah, 2021: 8).
ADVERTISEMENT
Di awal kudeta, beberapa negara anggota seperti Indonesia, Malaysia, dan Singapura memang membuat pernyataan yang mengecam tindakan represif pemerintah junta militer dalam menanggapi unjuk rasa, namun tidaklah dapat negara-negara tersebut benar-benar turun tangan dalam menyelesaikan konflik tersebut.
Pada akhir April 2021, dalam ASEAN Leaders Meeting yang dilaksanakan di Jakarta, disepakati 5 (lima) poin konsensus untuk mengatasi konflik Myanmar, di antaranya:
Pertama, kekerasan harus segera dihentikan di Myanmar dan semua pihak harus menahan diri sepenuhnya;
Kedua, dialog konstruktif di antara semua pihak terkait harus ada untuk mencari solusi damai bagi kepentingan rakyat Myanmar;
Ketiga, utusan khusus Ketua ASEAN akan memfasilitasi mediasi proses dialog, dengan bantuan Sekretaris Jenderal;
Keempat, ASEAN akan memberikan bantuan kemanusiaan melalui ASEAN Humanitarian Assistance (AHA) Center;
ADVERTISEMENT
Kelima, utusan khusus dan delegasi akan mengunjungi Myanmar untuk bertemu semua pihak terkait.
Namun, Myanmar tidak menindaklanjuti Konsensus ASEAN, dan tidak ada perkembangan signifikan dalam hal pemulihan konflik Myanmar, khususnya terkait poin pertama dan kedua konsensus.
Menindaklanjuti hal tersebut, muncullah langkah yang sedikit lebih konkret berupa kesepakatan dalam sebuah Pertemuan Darurat para Menteri Luar Negeri pada hari Jumat (15/10). Indonesia, Malaysia, dan Singapura memberi usul untuk tidak mengundang pimpinan Junta Militer Myanmar; Min Aung Hlaing dalam Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) ASEAN, 26-28 Oktober mendatang. Usul ini diterima dan disepakati. Dan pada KTT nantinya, Myanmar akan diwakili unsur nonpolitik.
Min Aung Hlaing menganggap hal ini sebagai wujud penyimpangan terhadap prinsip Nonintervensi. Penulis sepakat.
ADVERTISEMENT
Ini meski simbolis merupakan bentuk intervensi konstruktif yang menunjukkan keberpihakan pada masyarakat Myanmar. Jelas bahwa keputusan untuk tidak mengundang Min Aung Hlaing disambut baik oleh Pemerintah Bayangan Myanmar dan juga masyarakat sipil.
Langkah tersebut adalah awal yang baik dalam menimbang-nimbang langkah yang perlu diambil ASEAN dikaitkan dengan prinsip Nonintervensi maupun intervensi konstruktif.
Menurut Menteri Luar Negeri Malaysia, Saifuddin Abdullah, perlu langkah konkret untuk menyelesaikan krisis Myanmar karena dampaknya juga akan dirasakan oleh kawasan. Terdapat kekhawatiran dampak yang meluas.
Maka, tampak polanya masih serupa, bahwa penyimpangan terhadap prinsip Nonintervensi dapat menerima pembenarannya apabila suatu persoalan domestik sebagai sebab dipandang memproduksi akibat yang transnasional.
Persoalan terdahulu telah membuktikannya, dan terbaru seluruh negara anggota sepakat untuk melakukan intervensi dengan tidak mengundang pimpinan Junta. Ini dapat dipandang sebagai titik mula bagi evaluasi dari prinsip Nonintervensi itu sendiri.
ADVERTISEMENT