Demokrasi Indonesia Pasca-SBY

Dipo Alam
Aktivis dambakan adab ketika dipimpin dan memimpin
Konten dari Pengguna
9 September 2020 9:43 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dipo Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan

Refleksi tentang Trias Politica

Ilustrasi SBY Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi SBY Foto: Dok: Maulana Saputra/kumparan.
ADVERTISEMENT
Setiap bentuk kekuasaan harus bisa diawasi dan dikritik. Itu sebabnya demokrasi mengenal trias politica. Sayangnya, fungsi check and balances terhadap kekuasaan pemerintah saat ini tengah mendapat so-rotan. Parlemen, yang seharusnya bisa menjadi kanal politik resmi untuk menyal-urkan kegelisahan dan suara masyarakat, kini dianggap mampet. Banyak anggota parlemen saat ini lebih suka menjadi juru bicara pemerintah daripada menjadi juru bicara publik.
ADVERTISEMENT
Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kanal-kanal kegelisahan publik memang banyak yang tak berfungsi. Penilaian ini bukan hanya berlaku untuk parlemen, na-mun juga untuk kanal-kanal non-parlement-er. Perguruan tinggi, atau intelektual kampus, misalnya, yang dalam literatur ilmu sosial kita selalu diidealkan untuk berjarak terhadap kekuasaan—agar mereka bisa jernih menang-kap realitas sosial, kini justru kian terkooptasi oleh kekuasaan. Hal serupa juga terjadi pada gerakan mahasiswa. Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, kita melihat gerakan mahasiswa tak lagi aktif seperti pada peri-ode-periode sebelumnya.
Satu-satunya kanal yang kembali “normal” belakangan ini hanyalah media massa. Sesu-dah kehilangan daya kritisnya selama lima ta-hun kemarin, belakangan sejumlah pers kita telah kembali kepada posisinya sebagai watch-dog bagi lembaga kekuasaan. Tak heran, di ten-gah berbagai kemandegan ini, munculnya ger-akan seperti KAMI, misalnya, atau tampilnya tokoh-tokoh kritis seperti Rizal Ramli, Rocky Gerung, atau Refly Harun dalam berbagai di-skusi di ruang publik, dianggap sejenis oase yang mampu menampung dahaga kegelisahan masyarakat.
ADVERTISEMENT
Munculnya tokoh atau gerakan-gerakan kri-tis non-parlementer memang lumrah dalam demokrasi. Apalagi, gerakan seperti ini selalu muncul di setiap periode pemerintahan. Pada masa Orde Baru, misalnya, kita mengenal adan-ya kelompok Petisi 50, yang berisi tokoh-tokoh kritis pada zamannya. Namun demikian, mes-ki dari sisi kebebasan berpendapat kelahiran gerakan-gerakan kritis non-parlementer ha-rus dianggap lumrah, namun dari sisi lembaga kenegaraan munculnya gerakan semacam itu harus dianggap sebagai tanda tak berfungsin-ya trias politica. Ini adalah sejenis alarm bagi praktik demokrasi kita.
Di Indonesia, di mana akar budaya kekua-saan absolut masih terasa kuat hingga hari ini, kehadiran lembaga bertaji yang bisa mengon-trol eksekutif sangatlah diperlukan. Persis di situ, keberadaan aliansi partai pendukung pe-merintah di parlemen sebagaimana yang tel-ah berlangsung dalam empat Pemilu terakhir, menjadi bersifat problematis. Aliansi semacam ini terbukti telah menghambat kerja parlem-en. Apalagi, kita sebenarnya menganut sistem presidensial.
ADVERTISEMENT
Secara teoritis, di dalam sistem presidensial sebenarnya tidak pernah dikenal distingsi “par-tai oposisi” dan “partai pemerintah”. Semua partai yang bisa mendudukkan wakilnya di kursi parlemen adalah partai pemenang. Han-ya jumlah kursi mereka saja yang berbeda satu sama lain.
Masalahnya, karena kita kemudian meng-adopsi syarat presidential threshold di dalam Pemilihan Presiden (Pilpres), maka sistem presidensial ini telah diintervensi oleh anasir parlementarianisme. Sebab, dengan adanya syarat presidential threshold, kemudian seolah muncul distingsi antara “partai yang duduk di pemerintahan” dengan “partai di luar pemerin-tahan”. Aroma parlementerpun muncul di sini, di mana ketika sebuah partai politik ikut men-dudukkan wakilnya di kabinet, maka seluruh wakilnya di parlemen pun harus ikut membe-bek pada pemerintah.
Inilah yang menerangkan kenapa fung-si kontrol parlemen belakangan terasa kian mengendur. Apalagi, sesudah dua calon presi-den yang saling berhadapan pada Pilpres 2019 kemarin kemudian memutuskan bergabung dan berbagi kekuasaan. Praktis, parlemen kian kehilangan tajinya sebagai kekuatan penyeim-bang pemerintah.
ADVERTISEMENT
Sebenarnya, kalau kita mundur lagi ke belakang, sejak pemilihan presiden secara langsung digelar pertama kali pada 2004, pe-merintah yang berkuasa pada akhirnya me-mang selalu berhasil didukung oleh mayoritas partai di parlemen. Pada periode 2004-2009, misalnya, partai pendukung pemerintah men-guasai 73 persen kursi parlemen. Pada periode berikutnya, persentase ini tak banyak berubah, yaitu menjadi 75 persen (2009-2014), 69 persen (2014-2019), dan 74 persen (2019-2024).
Meskipun demikian, dalam dua periode pemerintahan Presiden SBY, dukungan par-tai-partai kepada pemerintah tidak pernah menyurutkan fungsi check and balances lem-baga perwakilan rakyat. Sehingga, meskipun Golkar, PKS, dan PAN, misalnya, sama-sama mendudukkan wakilnya di kabinet, tetapi ke-tika muncul persoalan-persoalan yang harus dikritisi, mereka tak ragu untuk melontar-kan kritik terhadap pemerintah. Bahkan, saat menghadapi kasus Bank Century, misalnya, kita sama-sama melihat Golkar dan PKS telah menjadi motor utama bergulirnya hak angket di parlemen.
ADVERTISEMENT
Artinya, keterlibatan partai-partai tadi da-lam mendudukkan wakilnya di pemerintahan, tidak membuat mereka menyensor kader-kad-ernya yang duduk di DPR. Inilah yang telah membuat mekanisme check and balances tetap terjaga dalam dua periode pemerintahan Presi-den SBY yang lalu.
Sampai di sini muncul pertanyaan: kenapa sesudah periode pemerintahan Presiden SBY kontrol parlemen jadi cenderung melemah? Apa yang harus dilakukan untuk memperbaiki fungsi kontrol terhadap pemerintah ini?

Pentingnya Kontrol Parlemen

Penguatan peran parlemen dalam sistem politik modern dipengaruhi oleh semangat untuk membatasi peran negara (eksekutif), atau kekuasaan para raja, yang mewarnai seja-rah Eropa pada abad ke-18 dan ke-19. Sebagai akibat dari gerakan aufkralung, rasionalisme, sekularisme, dan Revolusi Industri, masyarakat Eropa mengalami kebangkitan luar biasa yang kemudian mendorong munculnya usaha-us-aha untuk membatasi kekuasaan para raja. Fungsi negara dibatasi karena kemudian mun-cul kesadaran masyarakat mengenai mengenai hak-hak rakyat dan pentingnya fungsi kontrol terhadap kekuasaan.
ADVERTISEMENT
Bersamaan dengan itu berkembanglah gagasan parlementarianisme modern yang mewadahi tuntutan aspirasi rakyat untuk terlibat aktif dalam proses pengambilan keputusan politik kenegaraan. Inilah yang telah menye-babkan terjadinya pergeseran sebagian kekua-saan pemerintahan ke tangan rakyat melalui parlemen. Jadi, munculnya gagasan konsti-tusionalisme, serta gagasan negara hukum (Rechtsstaat) pada dasarnya lahir untuk mem-batasi kekuasaan pemerintah supaya tidak ter-lalu dominan.
Parlemen Inggris, misalnya, yang biasa dianggap sebagai model ideal pelembagaan gagasan Montesquieu, bermula dari adanya hasrat kaum aristokrat dan rakyat biasa untuk turut mengambil bagian dalam pemerintahan, agar kekuasaan tidak hanya dimonopoli oleh raja.
Foto: Dipo Alam
Perjuangan itu berhasil mengalihkan kekua-saan dari para raja ke lembaga parlemen. Den-gan cepat, kekuasaan politik pun bergeser dari pemerintahan eksekutif ke lembaga legislatif. Tren pergeseran kekuasaan dari pemerintah (eksekutif) ke parlemen (legislatif) terus ber-lanjut sampai abad ke-19. Pengaruhnya terus meluas ke berbagai negara Eropa dan Ameri-ka, seperti Perancis, Jerman, Belanda, Swedia, Rusia, Amerika Serikat, dan lain-lain. Peranan parlemen di negara-negara ini, selama abad ke-18 dan ke-19, terus berkembang bersamaan dengan meningkatnya aspirasi rakyat yang in-gin membebaskan diri dari kekuasaan dan pen-indasan para raja bersama kaum aristokrat.
ADVERTISEMENT
Di Indonesia, untuk mengontrol kekuasaan eksekutif maka parlemen telah dibekali kekua-saan yang kuat, terutama dalam proses legisla-si. Jika sebelumnya dalam UUD 1945 yang lama kekuasaan legislasi berada di tangan Presiden, maka sesudah terjadi amandemen, kekuasaan itu dipegang oleh DPR. Artinya, sesuai prin-sip trias politica, dalam hal membentuk un-dang-undang maka kekuasaan pokok kini telah dialihkan dari tangan Presiden ke tangan DPR.

Pemusatan Kekuasaan Pemerintah

Dengan dalih mengatasi krisis dan pandemi, melalui sejumlah beleid yang terbit dalam satu semester terakhir pemerintah telah memper-besar kekuasaannya sedemikian rupa. Pada 13 April 2020, misalnya, pemerintah telah menge-luarkan Peraturan Pemerintah Pengganti Un-dang-Undang (Perppu) No. 1/2020 tentang Ke-bijakan Keuangan Negara dan Stabilitas Sistem Keuangan untuk Penanganan Pandemi Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) dan/atau Dalam Rangka Menghadapi Ancaman yang Memba-hayakan Perekonomian Nasional dan/atau Stabilitas Sistem Keuangan. Karena namanya ter-lalu panjang, publik kemudian menyebutnya sebagai Perppu Corona.
ADVERTISEMENT
Berbeda dengan lazimnya Perppu yang per-nah terbit, yang biasanya hanya bersifat men-gubah satu atau beberapa norma dalam satu undang-undang, maka Perppu No. 1/2020 ingin mengubah norma di banyak sekali undang-un-dang. Dalam catan saya, Perppu No. 1/2020 melakukan perubahan norma terhadap seti-daknya 8 buah undang-undang. Sehingga, ini bisa disebut sebagai “Perppu (Rasa) Omnibus Law”.
Delapan undang-undang yang diubah dan diintervensi oleh Perppu sapu jagat ini adalah
(1) UU MD3 yang mengatur kewenangan DPR,
(2) UU Keuangan Negara, (3) UU Perpajakan,
(4) UU Kepabeanan, (5) UU Penjaminan Sim-panan, (6) UU Surat Utang Negara, (7) UU Bank Indonesia, dan (8) UU APBN 2020.
Beleid semacam ini seharusnya dikritisi secara tajam oleh parlemen dan masyarakat sipil. Sebab, inilah pertama kalinya sebuah Perppu hendak mengubah norma lebih dari satu undang-undang sekaligus. Pretensi untuk menjadi omnibus law ini memang berbahaya, karena ada potensi abuse of power di dalamnya. Perppu tersebut mengandung pasal-pasal yang telah memberikan imunitas kepada aparat pe-merintah untuk tidak bisa dituntut atau diko-reksi melalui lembaga pengadilan manapun. Padahal, Indonesia adalah negara hukum, di mana penyelenggaraan pemerintahan semes-tinya tunduk dan bisa dikontrol oleh hukum.
Perpu 1/2020 Foto: Dipo Alam
Secara normatif, Presiden saja, menurut konstitusi, bisa dimakzulkan jika melakukan pelanggaran hukum. Sementara, melalui Perp-pu tadi, ada lembaga pemerintahan yang po-sisinya menjadi seperti superbody, lebih hebat dari Presiden, karena lembaga tersebut tidak bisa dituntut secara hukum. Saya kira ini ada-lah sebentuk praktik korupsi kewenangan.
ADVERTISEMENT
Selain itu, Perppu tersebut juga memberi kewenangan yang sangat besar kepada aparat pemerintahan, khususnya KSSK (Komite Sta-bilitas Sistem Keuangan), karena boleh meng-gusur kekuasaan lembaga negara yang ke-wenangannnya diatur dalam UUD 1945. DPR, misalnya, yang menurut UUD 1945 memiliki hak budgeting dan memiliki kuasa membentuk undang-undang, namun dengan dalih krisis maka revisi APBN kini bisa dilakukan oleh pe-merintah tanpa melalui DPR terlebih dahulu. Begitu juga halnya dengan penerbitan obligasi, limitnya tidak perlu minta persetujuan DPR lagi, karena bisa ditentukan oleh pemerintah sendiri. Hal-hal semacam itu sebenarnya rawan sekali terhadap penyalahgunaan kekuasaan.
Sayangnya, DPR yang mestinya merasa terganggu karena banyak kewenangannya telah diambil alih oleh pemerintah, justru dengan mudah meloloskan Perppu tersebut, sehing-ga kini Perppu itu telah diundangkan menjadi
ADVERTISEMENT
UU No. 2/2020. Pengesahan yang sangat mu-dah itu tentu saja mengecewakan. Mengingat, salah satu semangat yang kita usung sewaktu menggulirkan Reformasi dulu adalah bagaima-na membuat parlemen menjadi lebih berdaya sehingga bisa mengontrol kekuasaan Presiden. Namun, semangat itu sepertinya telah dicam-pakan begitu saja.
Sikap ini tentu saja tragis. Saat eksekutif berusaha menggelembungkan kekuasaannya, parlemen justru mempersilakan kekuasaannya dipreteli.

Memperbaiki Trias Politica

Jika kita perhatikan, hampir semua skandal besar yang muncul sesudah Reformasi selalu terjadi dengan latar belakang serupa, yaitu ab-sennya kontrol kekuasaan ketika lembaga ek-sekutif dan legislatif dikuasai oleh kubu yang sama. Hal ini menunjukkan jika besarnya dukungan partai politik di parlemen dalam sistem presidensial tidaklah selalu berman-faat untuk publik. Dukungan semacam itu malah bisa membuat fungsi kontrol parlemen jadi tumpul. Praktik politik semacam ini bisa disebut sebagai pengkhianatan terhadap prin-sip trias politica. Dan ini terbukti telah meru-sak demokrasi. Sebab, setiap kali pembagian kekuasaan dikaburkan, maka saat itulah ko-rupsi biasanya berjalan secara massif, baik di lembaga eksekutif, legislatif, maupun yudika-tif.
ADVERTISEMENT
Pada masa Presiden SBY, kontrol parlemen terhadap pemerintah masih berfungsi dengan baik. Apalagi waktu itu pers juga masih menja-di watch dog kekuasaan, belum terkena penya-kit partisan akut seperti belakangan ini. Selain itu, pemerintah juga mendapatkan penga-wasan ketat dari hampir seluruh elemen mas-yarakat sipil. Setiap kebijakan yang dianggap mengganggu rasa keadilan masyarakat, misal-nya, pasti akan segera diprotes oleh mahasiswa, kaum buruh, petani, dan elemen masyarakat terkait. Tokoh keagamaan dari ormas-ormas besar juga kerap ikut bereaksi menyuarakan keprihatinannya.
Lantas, bagaimana dengan kondisi hari ini? Di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo, sayangnya kehidupan demokrasi kita justru mengalami sejumlah kemundu-ran. Agustus lalu, Badan Pusat Statistik (BPS) kembali merilis angka Indeks Demokrasi In-donesia (IDI). Untuk tahun 2019, skor IDI kita naik menjadi 74,92. Sebagai catatan, IDI dibagi menjadi 3 kategori, yaitu buruk (skor <60), se-dang (skor 60-80), dan baik (skor >80). Den-gan jumlah skor tersebut, artinya demokrasi kita saat ini tergolong sedang. Namun, yang menarik bukanlah bagian ini.
ADVERTISEMENT
Dengan jumlah tersebut, inilah untuk per-tama kalinya skor IDI di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo bisa melampaui skor IDI tahun 2014, yang merupakan tahun terakh-ir pemerintahan Presiden SBY. Merujuk kepa-da data BPS, secara berurut nilai IDI nasional lima tahun terakhir adalah 73,04 (2014); 72,82 (2015); 70,09 (2016); 72,11 (2017); 72,39 (2018), dan 74,92 (2019).
Dalam penentuan nilai IDI, ada 3 aspek, 11 variabel, dan 28 indikator yang diperhitungkan. Tiga aspek itu adalah kebebasan sipil, hak-hak politik, dan lembaga demokrasi. Dari keti-ga aspek tersebut, kebebasan sipil mengalami penurunan. Selain itu, empat variabel juga tercatat mengalami kemunduran, yakni kebe-basan berkumpul dan berserikat, kebebasan berpendapat, pemilu yang bebas dan adil, serta peran partai politik.
Indeks Demokrasi Indonesia 2014-2019 Foto: Dipo Alam
Menyimak angka-angka tadi, meskipun ada kenaikan skor tahun terakhir, secara faktual ke-hidupan demokrasi kita dalam lima tahun tera-khir umumnya memang cenderung turun, ter-utama untuk aspek dan variabel-variabel yang telah disebutkan.
ADVERTISEMENT
Pemilu 2019 kemarin, di mana Pemilihan Anggota Legislatif dan Pemilihan Presiden/ Wakil Presiden dilangsungkan secara serentak, kita sebenarnya memiliki kesempatan untuk memilih Presiden dan parlemen yang bersifat independen satu sama lain. Dengan demikian, fungsi check and balances antarlembaga tinggi negara bisa berjalan kembali. Sayangnya, kes-empatan itu telah dirusak oleh angka presiden-tial treshold 20 persen dalam UU No. 7/2017 tentang Pemilihan Umum. Angka presidential treshold sebesar 20 persen ini terbukti telah mematikan kreasi demokrasi. Selain bangsa jadi terbelah, kita juga terus-menerus terjebak pada politik dagang sapi dan bagi-bagi kekua-saan.

Sumber Polarisasi Politik

Sebagai imbas tetap dipertahankannya syarat presidential threshold 20 persen, sejak 2014 lalu kita terus-menerus berhadapan den-gan dua calon presiden tiap kali Pemilu. Aki-batnya, masyarakat mengalami keterbelahan luar biasa. Kita tiba-tiba menjadi divided society. Cara pandang orang mengenai berbagai hal akhirnya hanya dipandu oleh kacamata du-alistis yang hitam-putih: jika bukan pro-Jokowi, pastilah pro-Prabowo; jika bukan “cebong”, pastilah “kampret”. Kondisi ini tentu saja san-gat tidak sehat. Tidak seharusnya perbedaan pilihan politik dijadikan sejenis “agama” baru dalam kehidupan masyarakat kita.
ADVERTISEMENT
Sebelum 2014, potensi terjadinya polarisa-si masyarakat sebenarnya juga ada. Namun, meminjam analisis Eve Warburton, “Deepening Polarization and Democratic Decline in Indone-sia” (2020), potensi itu tidak pernah meletup akibat gaya kepemimpinan Presiden SBY. Pada Pilpres 2004 dan 2009, menurut Warburton, SBY juga memiliki peluang untuk mengek-sploitasi isu keagamaan, misalnya, mengingat lawan terberatnya berasal dari partai nasionalis yang kurang Islamis. Namun, SBY yang dise-but sebagai seorang muslim yang taat, lebih suka menjalankan kampanye politik inklusif. Hasilnya, menurut Warburton, SBY berhasil memenangkan mayoritas suara pemilih, baik suara kelompok Islam konservatif yang ada di Sumatera dan Jawa Barat, maupun dari golongan agama minoritas.
Apa yang ditulis Warburton ini mengingat-kan saya pada buku yang disunting oleh Edward Aspinall, Marcus Mietzner, dan Dirk Tomsa, The Yudhoyono Presidency: Indonesia’s Decade of Stability and Stagnation (2015). Aspinal, Mi-etzner dan Tomsa menulis jika Presiden SBY memposisikan dirinya sebagai pemimpin dari sebuah masyarakat yang tersegregasi, sehingga berusaha untuk memoderasi dan menengahi berbagai potensi benturan. Inilah yang mem-buat Indonesia di bawah SBY terbebas dari po-larisasi dan konflik politik yang mencolok.
ADVERTISEMENT
Namun, sejak 2014 kita telah terjebak da-lam polarisasi politik. Warburton menyebut ada tiga kontestasi politik yang telah mem-buat Indonesia jadi terpolarisasi cukup parah jika dibandingkan yang pernah terjadi bebera-pa dekade terakhir. Tiga kontestasi politik itu adalah Pilpres 2014, Pilkada Jakarta 2017, dan Pilpres 2019. Persaingan antara Presiden Joko Widodo dan mantan lawannya, Prabowo Sub-ianto, menurut Warburton, telah memicu ter-jadinya perpecahan politik yang sebelumnya hanya bersifat laten saja antara golongan Islamis dengan sekuler.
Munculnya polarisasi dua kubu politik da-lam sepuluh tahun terakhir ini memang agak menggelikan, mengingat negara kita sebenarn-ya menganut sistem multi-partai. Indonesia bukanlah Amerika Serikat yang arena politi-knya terbagi ke dalam dua kutub, yaitu antara Demokrat dan Republikan, yang merepresen-tasikan dua ideologi berseberangan.
ADVERTISEMENT
Polarisasi yang muncul di tengah mas-yarakat Indonesia dalam dua Pemilu terakhir masih terlalu dini untuk bisa disebut sebagai polarisasi ideologi. Polarisasi itu muncul leb-ih karena adanya desain regulasi Pemilu yang bermasalah, dalam hal ini adanya syarat pres-idential threshold yang terlalu besar. Berbeda dengan polarisasi ideologi yang bersifat kon-truktif, karena melahirkan kontestasi gagasan, maka polarisasi akibat salah mendesain regula-si Pemilu efeknya bisa destruktif, yaitu terjad-inya perpecahan dan konflik sosial.
Polarisasi sosial semacam itu akan ter-us-menerus terjadi jika ambang batas pen-calonan presiden sebesar 20 persen, atau lebih tinggi lagi, tetap dipertahankan. Sebab, dengan angka ambang batas yang tinggi, Pilpres yang akan datang kemungkinan hanya akan menjadi ulangan dari Pilpres 2014 dan 2019 saja, yaitu hanya menghasilkan dua kandidat pasangan calon.
ADVERTISEMENT
Untuk mengurangi polarisasi di tengah mas-yarakat yang sudah terjadi dalam dua Pemilu terakhir, maka syarat presidential threshold mau tidak mau harus diperbaiki, jika tak bisa dihilangkan. Dengan dihapuskannya presi-dential threshold, atau setidaknya mengubah angkanya menjadi jauh lebih kecil (misalnya 5 persen), kita bisa menyelamatkan peradaban politik kita dari polarisasi yang merusak. Lang-kah itu juga akan memperbaiki praktik trias politica, sehingga kita bisa memiliki presiden yang kuat sekaligus parlemen yang berdaya da-lam waktu bersamaan. Kembalinya trias polit-ica merupakan cermin dari berlakunya prinsip kedaulatan rakyat dalam berdemokrasi.
Siapa yang tak mendambakan ideal sema-cam itu?
Jakarta, 9 September 2020