Takziah untuk Penggali Pancasila

Dipo Alam
Aktivis dambakan adab ketika dipimpin dan memimpin
Konten dari Pengguna
24 Februari 2020 16:44 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dipo Alam tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Garuda Pancasila Foto: Antara/Muhammad Iqbal
zoom-in-whitePerbesar
Garuda Pancasila Foto: Antara/Muhammad Iqbal
ADVERTISEMENT
Pernyataan-pernyataan Kepala BPIP (Badan Pembinaan Ideologi Pancasila), mulai dari ucapannya bahwa ‘agama adalah musuh Pancasila’, ‘konstitusi berposisi di atas kitab suci’, hingga imbauannya mengenai ‘salam Pancasila’, telah memancing kontroversi di tengah masyarakat selama dua pekan terakhir. Sejumlah tokoh telah menyampaikan kritik dan keprihatinannya.
ADVERTISEMENT
Sungguh ironis, kita melihat BPIP kini lebih disibukkan oleh pekerjaan mengklarifikasi pernyataan pimpinannya daripada mengkampanyekan Pancasila secara cerdas dan simpatik.
Membenturkan Pancasila dengan agama adalah sebuah tindakan ceroboh, apalagi dilakukan oleh seorang pejabat tinggi pemerintah yang kedudukannya setara dengan menteri. Semua orang tahu bahwa selama ini pemerintahan Presiden Joko Widodo, meskipun didukung oleh ormas keagamaan besar seperti NU (Nahdlatul Ulama), selalu diserang sebagai “memusuhi umat”.
Kepala Badan Pembinaan Ideologi Pancasila (BPIP) Yudian Wahyudi. Foto: ANTARA FOTO/Hafidz Mubarak A
Upaya konstruktif presiden untuk melakukan rekonsiliasi dengan kelompok politik Islam yang selama ini berseberangan dengannya, termasuk dengan mengangkat mantan kompetitornya Letjen TNI (Purn.) Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan—yang dalam Pemilihan Presiden tahun 2019 kemarin didukung oleh kelompok politik Islam yang berseberangan dengan Jokowi, bisa mundur kembali oleh pernyataan-pernyataan tak simpatik kepala BPIP tadi.
ADVERTISEMENT
Di luar soal politik, pernyataan-pernyataan kontroversial dan tak simpatik semacam itu juga kontraproduktif bagi gerakan pembudayaan Pancasila di tengah masyarakat. Publik masih menyimpan memori buruk mengenai indoktrinasi Pancasila yang searah dan monolitik pada masa orde baru, sehingga tentunya tak menginginkan proyek pembudayaan Pancasila di era Reformasi sekarang ini dilakukan melalui isu-isu tak simpatik dan sensitif yang potensial melahirkan ketegangan. Alih-alih bersimpati, publik bisa jadi bersikap antipati, sebuah respons yang pastinya tidak menguntungkan pemerintah dan bangsa kita secara umum.
Pancasila, yang oleh penggalinya, Bung Karno, dimaksudkan sebagai ‘kalimatun sawa’ (titik temu) untuk menjembatani sekaligus memoderasi kemajemukan bangsa kita, di tangan pejabat yang ceroboh bisa berubah menjadi alat pemecah-belah. Persis di situ, siapa pun yang mengemban tugas untuk membina dan mengembangkan diskursus Pancasila mestinya mengambil sikap hati-hati dan bijaksana.
ADVERTISEMENT
Jangan lupa, selama hampir dua puluh tahun terakhir wacana mengenai Pancasila memang agak diabaikan dan sejumlah hal yang berkaitan dengannya sempat mendapatkan stigma buruk. Itu terjadi karena sebagian masyarakat kita (masih) ada yang mengidentikkan Pancasila dengan Orde Baru. Persepsi tersebut tentu saja keliru, karena Pancasila adalah dasar negara (staatsfundamental norm) yang dirumuskan oleh para pendiri Republik menjelang Proklamasi, bukan produk rezim orde baru.
Sesudah lama diabaikan, belakangan, ketika konflik horizontal berlatar belakang kesukuan dan keyakinan keagamaan gampang meletus, banyak orang, termasuk pemerintah, kemudian mewacanakan kembali perlunya kita menengok dan menghidupkan lagi Pancasila.
Persoalannya adalah benarkah merenggangnya kohesi sosial tersebut disebabkan oleh melemahnya penghayatan masyarakat kita terhadap Pancasila? Dan bisakah persoalan-persoalan itu dijawab dengan mengkampanyekan lagi Pancasila secara doktriner?
ADVERTISEMENT
Saya sendiri berpandangan jika merenggangnya kohesi sosial masyarakat kita bukanlah karena publik telah mengabaikan Pancasila. Melebarnya ketimpangan, meningkatnya ketidakadilan, merajalelanya praktik hukum yang tebang pilih, serta pembangunan yang hanya menguntungkan minoritas-oligarkis, menurut saya menjadi faktor-faktor yang telah melemahkan ikatan sosial kita sebagai bangsa.
Jika demikian, maka solusi untuk mengatasi persoalan-persoalan tadi tentunya bukanlah dengan menggencarkan kampanye mengenai Pancasila, tapi dengan memperbaiki tata kelola pemerintahan, hukum, dan ekonomi.
Kampanye indoktrinasi Pancasila memang sudah bukan masanya lagi dilakukan. Apalagi, jika kampanye tersebut sekadar dimaksudkan untuk mengidentikkan Pancasila pada figur seorang pemimpin atau sebuah rezim. Cukup orde lama dan orde baru saja yang melakukannya.
Pancasila dan Agama
Soekarno (kiri) bersama Agus Salim. Foto: Wikimedia Commons
Kalau membaca kembali pikiran-pikiran Bung Karno, Mohammad Hatta, Agus Salim, Abikoesno Tjokrosoejoso, A.A. Maramis, atau para pensyarah Pancasila seperti Notonagoro, Soediman Kartohadiprodjo, serta Roeslan Abdoelgani, sangat jelas jika nilai-nilai yang ada pada Pancasila memang digali dari bumi Nusantara, sehingga mustahil kita bisa memahaminya Pancasila jika tak memahami sumber-sumber nilai yang menjadi penyusunnya.
ADVERTISEMENT
Kalau disederhanakan, sumber penyusun nilai itu ada tiga, yaitu:
1. Agama/religiusitas,
2. Adat (kebudayaan, hukum adat),
3. Historisitas (sejarah sosial-ekonomi-politik).
Sehingga, upaya untuk mempertentangkan Pancasila dengan agama, jelas menyalahi latar belakang kelahiran dan sumber nilai Pancasila itu sendiri. Pemerintahan saat ini mestinya tak mengulang kesalahan rezim orde baru dalam menempatkan dan menafsirkan Pancasila.
Dulu, Orde Baru menggunakan Pancasila sebagai alat untuk “menggebuk” lawan-lawan politiknya. Hampir semua pihak yang berseberangan dengan Pemerintah kemudian dianggap sebagai “tidak Pancasilais”. Mengingat kelompok yang beroposisi terhadap rezim Orde Baru umumnya berasal dari aktivis kiri, aktivis LSM (Lembaga Swadaya Masyarakat), maka serangan terhadap para oposannya waktu itu adalah melalui stigmatisasi “komunis”.
Sekarang, di masa pemerintahan Presiden Joko Widodo, kelompok yang berseberangan dengan Pemerintah kebetulan adalah kelompok politik Islam, sebab para aktivis kiri serta mantan oposan Orde Baru lainnya kini telah berubah menjadi pendukung rezim.
ADVERTISEMENT
Ironisnya, meski pernah menjadi korban orde baru, para aktivis penyokong rezim saat ini justru menggunakan cara-cara orde baru untuk menggebuk lawan-lawan politiknya, yaitu dengan membenturkannya dengan Pancasila. Bedanya, jika dulu Orde Baru menggunakan stigma “komunis” untuk menggebuk para oposannya, kini Pemerintah dan para penyokongnya menggunakan stigmatisasi “khilafah” serta cap “radikal” untuk menyerang lawan-lawan politik mereka.
Stigmatisasi yang dilakukan oleh rezim saat ini, menurut saya, sangat berbahaya. Bahkan, jauh lebih berbahaya daripada stigmatisasi yang dilakukan oleh orde baru. Sebab, dengan membawa-bawa idiom agama, persatuan dan kesatuan kita jadi berada dalam pertaruhan besar.
Umat Islam bagaimana pun adalah lem perekat terbesar bangsa ini, sehingga upaya membentur-benturkan Pancasila pada beberapa idiom ke-Islam-an, meskipun target politiknya hanya terbatas pada kelompok tertentu, sangatlah berbahaya. Pancasila mestinya digunakan oleh pemerintah sebagai alat inklusi, untuk merangkul, bukan alat untuk mengekslusi kelompok-kelompok kritis yang berseberangan dengan pemerintah.
ADVERTISEMENT
Takziah Bung Karno
Presiden pertama Soekarno Foto: Wikipedia
Kegaduhan yang disebabkan oleh pernyataan-pernyataan kepala BPIP telah mengingatkan saya pada pengalaman hampir setengah abad yang lalu. Meskipun sebagai aktivis KAPPI (Kesatuan Aksi Pemuda Pelajar Indonesia) pada 1966 saya ikut berdemonstrasi menuntut pembubaran PKI (Partai Komunis Indonesia) dan mundurnya Bung Karno, namun ketika Bung Besar wafat, 21 Juni 1970, saya yang masih berstatus sebagai mahasiswa UI (Universitas Indonesia) ikut takziah dan menyalatkannya.
Sebagai politisi, Bung Karno memang harus siap sedia dikritik, namun sebagai bapak bangsa, posisinya haruslah kita tinggikan. Jasanya bagi bangsa ini memang tak ternilai.
Hari itu, Minggu, sejak pagi hingga malam lautan manusia tak berhenti mengalir menjejali halaman Wisma Yaso dan Jalan Gatot Subroto. Suasananya benar-benar sangat mengharukan. Di tengah lautan manusia hari itu, saya yang baru bisa melayat malam hari, tak mendengar kegaduhan apa pun, kecuali isak tangis dari para pelayat. Rongga dada saya sesak rasanya menyaksikan pemandangan tersebut. Indonesia berkabung hari itu.
ADVERTISEMENT
Sebagai anak bangsa, saya sebenarnya tidak rela harus melayat Bung Karno di Wisma Yaso, yang kini menjadi Museum Satria Mandala. Menurut saya, seharusnya beliau bisa disemayamkan di kediaman Ibu Fatmawati, yang mendampinginya saat Proklamasi. Bung Karno dan Bu Fat layak mendapatkan kehormatan itu. Tapi pemerintahan saat itu ternyata berkehendak lain. Sebelum diterbangkan ke Blitar, jenazah Bung Karno hanya diperkenankan untuk disemayamkan di Wisma Yaso.
Sangat sulit sebenarnya menyibat lautan manusia yang hadir pada malam itu. Beruntung saya datang dengan Mayjen TNI Abdul Gani dari Siliwangi, yang takziah mengenakan PDU III (Pakaian Dinas Upacara), sehingga bisa menerobos lautan massa dan masuk ke dalam Wisma. Saya sendiri malam itu melayat dengan mengenakan jaket kuning UI.
ADVERTISEMENT
Di ruang tengah, pemandangan lebih mengharukan terpampang di muka. Saya menyaksikan Buya Hamka, ulama yang pernah menolak Nasakom (Nasionalis-Agama-Komunis), sehingga pernah ditahan selama dua tahun empat bulan (1964-1966) oleh pemerintahan Soekarno, malam itu memimpin salat jenazah. Sungguh demikian luhur memang posisi Bung Karno di sanubari seluruh anak bangsa, sekaligus betapa mulianya hati seorang Hamka. Pemandangan indah itu membuat suasana jadi kian haru.
Meski pernah dituduh hendak menggulingkan Bung Karno, yang tentu saja merupakan fitnah dari golongan komunis terhadap para pemuka agama Islam yang menolak Nasakom, Hamka tidak pernah merasa sakit hati pernah dipenjarakan Bung Karno.
Ia memang menolak Nasakom yang digagas Bung Karno, tapi rasa hormatnya pada Bung Karno tak pernah lepas. Apalagi, selama dalam tahanan, Hamka jadi memiliki waktu yang leluasa untuk menyelesaikan Tafsir Al Azhar yang telah mulai disusunnya sejak awal 1960-an. Tafsir Al Azhar adalah karya raksasa Hamka sebagai mufasir.
ADVERTISEMENT
Bahkan, dalam sebuah tulisannya pada tahun 1981, Hamka mengaku sangat mencintai Bung Karno. Menurut Hamka, Bung Karno pantas dicintai, sama seperti halnya kita mencintai negara ini dan Merah Putih. Apalagi, Soekarno dinilai Hamka sebagai orang yang jujur dalam persahabatan.
Penilaian Hamka sepertinya tidaklah berlebihan. Kejujuran itu bisa dilihat ketika Bung Karno berwasiat agar ketika ia meninggal, maka yang diminta untuk mengimami salat jenazahnya adalah Hamka. Itu pula yang membuat Hamka tersedu-sedu saat Kafrawi Ridwan, Sekjen Departemen Agama waktu itu, dan Mayjen TNI Soeryo, ajudan Presiden Soeharto, datang ke rumahnya menyampaikan wasiat tersebut.
Belajar dari persahabatan antara Bung Karno dengan Hamka tadi, saya percaya bahwa memang tidak ada benturan antara agama dengan Pancasila. Agama adalah salah satu sumber nilai dari Pancasila, sehingga mempertentangkan keduanya merupakan sikap ahistoris.
ADVERTISEMENT
Di tengah kontroversi mengenai ucapan Kepala BPIP, yang seharusnya bisa menjadi duta yang simpatik bagi Pancasila, saya ingin berdoa untuk Bung Karno dan Buya Hamka. Keduanya adalah figur yang inspiratif. Semoga pahala Hamka dalam menulis Tafsir Al Azhar juga melimpah kepada Bung Karno.
Al Fatihah untuk keduanya.
Jakarta, 24 Februari 2020