Restrukturisasi Kredit, Solutifkah Bagi Perbankan dan Debitur?

Ditta Arbilla Pratiwi
Mahasiswa PKN STAN
Konten dari Pengguna
2 Juli 2020 11:41 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Ditta Arbilla Pratiwi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Photo : opiniojuris.org
zoom-in-whitePerbesar
Photo : opiniojuris.org
ADVERTISEMENT
COVID-19 melumpuhkan berbagai sektor kehidupan. Masalah kesehatan ini merambah menjadi permasalahan multidimensional di masyarakat. Pelaku Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) menjadi salah satu korban yang paling merasakan dampak dari pandemi ini. Berbagai macam stimulus moneter dan fiskal diberikan oleh pemangku kepentingan guna mengurangi efek negatif yang ditimbulkan serta mendukung pemulihan perekonomian nasional.
ADVERTISEMENT
Salah satu kebijakan tersebut yakni dengan melakukan restrukturisasi kredit oleh perbankan yang diatur oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK). Mengutip dari Bursa Efek Indonesia (IDX), restrukturisasi kredit merupakan upaya perbaikan yang dilakukan dalam kegiatan perkreditan terhadap debitur yang berpotensi mengalami kesulitan untuk memenuhi kewajibannya. Kebijakan restrukturisasi kredit ini berlaku bagi debitur UMKM dan Non-UMKM dengan tujuan untuk meningkatkan kualitas kredit menjadi lancar setelah direstrukturisasi. Restrukturisasi kredit yang diberikan berupa penurunan suku bunga kredit, perpanjangan jangka waktu kredit, pengurangan tunggakan bunga kredit, pengurangan tunggakan pokok kredit, dan penambahan fasilitas kredit serta konversi kredit menjadi Penyertaan Modal Sementara dengan jangka waktu maksimal satu tahun.
Pada April 2020, OJK mencatat sebanyak 74 Bank Umum Konvensional/Syariah telah melakukan restrukturisasi terhadap 1,02 juta debitur dengan nilai restrukturisasi mencapai Rp 207,2 triliun dimana sebanyak 819.923 diantaranya merupakan UMKM dengan nilai restrukturisasi sebesar Rp 99,36 triliun. Hal ini kemudian berlanjut pada akhir Mei 2020, dimana sebanyak 96 Bank Umum Konvensional/Syariah telah melakukann restrukturisasi kredit dengan penambahan debitur menjadi 5,33 juta debitur dengan 4,55 juta debitur berasal dari UMKM. Nilai restrukturisasi yang tercatat mencapai Rp 517,2 triliun. Diprediksi jumlah restrukturisasi ini akan terus meningkat seiring dengan belum meredanya COVID-19 di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pemberlakuan restrukturisasi kredit dianggap merupakan langkah yang tepat bagi perbankan. Melalui restrukturisasi kredit, maka bank dapat merestrukturisasi debiturnya sehingga dikatakan lancar sehingga ancaman tergerusnya modal bank akibat penambahan cadangan dapat diatasi. Restrukturisasi kredit juga digunakan untuk mengantisipasi potensi penambahan kredit bermasalah secara signifikan. Berdasarkan kredit yang direstrukturisasi, Bank BUMN yakni BRI, BNI, Mandiri, dan BTN mendominasi hampir 99% dari total kredit yang terstrukturisasi. BRI sebagai bank dengan sumbangsih restrukturisasi kredit terbesar menyatakan bahwa segmen debitur yang paling banyak menerima adalah UMKM.
Restrukturisasi kredit juga diterapkan di negara-negara dunia. Kamboja menerapkan skema restrukturisasi kredit dengan mengutamakan pada pengusaha di sektor pariwisata, garmen, konstruksi, dan transportasi yang pinjamannya terlambat dibayarkan kurang dari 90 hari. Negara ASEAN lainnya, Thailand, menerapkan skema restrukturisasi kredit bagi UKM dimana membedakan antara pengusaha yang masih dikategorikan “sehat”, yakni yang pinjamannya belum dikategorikan sebagai non-performing loan (NPL) dan restrukturisasi kredit bagi kredit yang telah dikategorikan sebagai NPL sehingga memerlukan restrukturisasi kredit bermasalah. Dapat dilihat, secara global pun, pelaku usaha yang paling terdampak adalah pengusaha UMKM.
ADVERTISEMENT
Meskipun menjadi penerima restrukturisasi kredit terbanyak, pelaku usaha pada segmen UMKM masih memiliki banyak hambatan dalam melakukan restrukturisasi kredit. Banyak debitur yang kesulitan dalam mendapatkan restrukturisasi kredit akibat sulitnya pengajuan kepada bank. Menurut OJK sendiri, skema penerapan restrukturisasi kredit diserahkan kepada masing-masing bank dengan memerhatikan regulasi yang telah dikeluarkan. Sebagai perbandingan, skema yang diterapkan pada Bank BRI yakni berupa restrukturisasi berdasarkan penurunan omzet bagi debitur UMKM sedangkan pada Bank Mandiri kebijakan diberlakukan dengan cara melihat kondisi masing-masing debitur dan bagi yang memenuhi ketentuan akan dilakukan pembayaran angsuran pokok dan atau bunga sampai dengan maksimal satu tahun. Perbankan sebagai pihak yang berwenang dalam menentukan debitur mana yang berhak akan restrukturisasi kredit yang disalurkan menilai, lambannya respon terhadap debitur dikarenakan perlunya pengecekan secara menyeluruh guna menghindari adanya “penumpang gelap” pada pengajuan restrukturisasi kredit. Perhatian kepada perbankan harus terus dilakukan mengingat kemampuan yang dimiliki masing-masing berbeda. Antisipasi perlu dilakukan dengan melakukan pencadangan serta berusaha menarik investor agar likuiditas terjaga.
ADVERTISEMENT
Dari sisi debitur, adanya restrukturisasi kredit dapat menjadi hal yang tidak tepat apabila dilakukan tanpa adanya pemikiran panjang. Sebelum mengajukan restrukturisasi kredit, debitur perlu mengetahui bahwa keringanan yang diberikan oleh bank tidak akan menghilangkan kewajiban yang diemban namun bersifat mempermudah. Kemudahan pembayaran yang diberikan pun tidak berlangsung secara terus-menerus melainkan hanya hingga kemampuan debitur pulih yang dibatasi maksimal satu tahun sesuai dengan ketentuan OJK. Oleh karena itu, perlunya debitur untuk membandingkan trade off yang didapat apabila memilih untuk mengajukan restrukturisasi. Suku bunga yang diberikan juga perlu diperhatikan, karena apabila tidak terdapat perubahan suku bunga namun dilakukan perpanjangan waktu kredit, maka menyebabkan debitur membayar lebih banyak daripada yang seharusnya ia bayarkan sebelum melakukan restrukturisasi kredit. Debitur juga perlu memprediksi bagaimana ia akan membayar kredit setelah batas restrukturisasi kredit sebab tidak serta merta pemulihan ekonomi akan langsung terjadi akibat restrukturisasi kredit ini. Maka, program restrukturisasi kredit disarankan lebih kepada pelaku usaha yang memiliki kredit yang jangka waktunya pendek atau hampir berakhir sehingga risiko kredit macet atau gagal bayar dapat diminimalisir. Pemberlakuan “Normal Baru” untuk tatanan kehidupan perlu menjadi pertimbangan dikarenakan berbedanya sektor usaha tentunya akan menghadapi tantangan yang berbeda pula, sehingga perbedaan sektor usaha memiliki besaran risiko yang berbeda pula.
ADVERTISEMENT
Adanya restukturisasi kredit tidak hanya cukup sebagai solusi untuk menghadang dampak COVID-19 terhadap perekonomian terutama terkait dengan perkreditan. Dari sisi perbankan, yakni OJK sebagai lembaga pengendali, diperlukan keberlanjutan regulasi untuk mengatasi menurunnya likuiditas perbankan yang menjadi efek domino dari adanya restrukturisasi kredit. Prediksi mengenai seberapa lama pandemi ini akan mempengaruhi kredit yang disalurkan perbankan, juga perlu dilakukan agar perbankan dapat memprediksi besaran potential loss yang terjadi. Hambatan yang terjadi selama restrukturisasi kredit berupa lambannya pelayanan kepada nasabah sepatutnya menjadi pertimbangan bagi pemerintah untuk menyediakan lembaga yang berfungsi untuk memverifikasi tiap debitur. Masyarakat yang menjadi debitur juga diharapkan untuk tetap membayar kredit semestinya apabila masih memiliki kemampuan untuk membayar agar solusi restrukturisasi kredit ini tepat sasaran. Sangatlah penting bagi debitur untuk menjadi bijaksana agar tidak terjebak dalam jebakan perkreditan.
ADVERTISEMENT
Oleh : Ditta Arbilla Pratiwi – Mahasiswa PKN STAN