Konten dari Pengguna

Mengenal Konformitas: ‘Ikut-Ikutan’ atau Penyesuaian?

DIVA SALSABILA
Mahasiswa Psikologi Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah Jakarta
11 Desember 2021 11:42 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DIVA SALSABILA tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
sumber: unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
sumber: unsplash.com
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah kamu meniru perilaku atau gaya orang lain ketika berada dalam sebuah kelompok? Jika pernah, apa kamu melakukan itu karena ingin terlihat selaras? Atau karena takut dianggap berbeda dengan yang lain? Ternyata, fenomena ini ada istilahnya, lho, yaitu konformitas. Lalu, apa itu konformitas? Menurut (Baron & Byrne, 2005) konformitas adalah suatu jenis pengaruh sosial yang mengubah perilaku dan sikap individu agar sesuai dengan norma sosial yang berlaku. Sementara itu, pengertian yang lebih sederhana disebutkan oleh (Cladini dan Goldstein, 2004) yang mengatakan bahwa konformitas adalah suatu perubahan perilaku yang terjadi pada individu sehingga sesuai dengan respons orang lain.
sumber: unsplash.com
Definisi di atas maksudnya apa, sih? sebagai contoh, saat mendengar suara gelak tawa seseorang ketika menonton acara stand up comedy, seringkali tanpa sadar kita ikut-ikutan tertawa, padahal lelucon yang disampaikan talent sama sekali tidak kita anggap lucu dan terdengar seperti kata-kata biasa. Tapi mengapa kita ikut tertawa? tiap individu pasti memiliki alasan yang berbeda-beda, namun biasanya kita ikut tertawa karena merasa sungkan dengan orang lain atau agar tidak terlihat bodoh. Contoh selanjutnya ialah, ketika ingin membeli sepatu baru, seseorang cenderung mengikuti tren yang sedang beredar dalam lingkungan sosialnya daripada memilih sepatu sesuai dengan seleranya sendiri.
ADVERTISEMENT
Kejadian seperti yang telah dipaparkan di atas pasti tidak asing kita jumpai dalam kehidupan sehari-hari dan itu bukti bahwa konformitas memang sering terjadi dalam masyarakat. Lalu, pertanyaan selanjutnya yang timbul adalah, apakah, hal tersebut merupakan kebiasaan yang buruk? Mendengar kata penilaian sepertinya tidak sah jika kita hanya melihat dari satu sudut pandang saja, diperlukan dua sudut pandang yang berbeda untuk menjawab pertanyaan tersebut. Untuk itu kita perlu mengetahui alasan-alasan yang melatarbelakangi individu melakukan konformitas.
Mengapa Seseorang Melakukan Konformitas?
Terdapat beberapa alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan konformitas. (Brown, 2006) menyebutkan beberapa alasan tersebut adalah.
Pertama, karena adanya rasa ingin disukai. Manusia selalu ingin mendapatkan persetujuan orang lain agar dapat terlihat ‘normal’ dan akhirnya mendapatkan pujian. Hal inilah yang akhirnya mendorong manusia bertingkah laku sesuai dengan respon dari orang lain.
ADVERTISEMENT
Kedua, rasa takut akan penolakan. Tidak ada satu orang pun di muka bumi ini yang ingin merasakan pahitnya penolakan. Oleh karena itu, tanpa sadar kita cenderung mengikuti arus yang telah dibentuk oleh mayoritas masyarakat daripada membentuk arus baru yang sesuai dengan diri kita.
Ketiga, keinginan untuk merasa benar. Setiap individu pernah berada dalam kondisi dilematis karena tidak bisa memutuskan suatu perkara. Jika dalam sebuah kelompok terdapat individu yang mampu membuat keputusan dan dirasa benar maka dirinya akan ikut serta sehingga dianggap benar.
Setelah mengetahui alasan yang melatarbelakangi seseorang melakukan konformitas, kita bisa menyimpulkan bahwa setiap individu memiliki naluri untuk menyesuaikan dirinya ke dalam masyarakat sehingga ia dapat diterima. Penerimaan sosial sangat penting bagi seorang individu karena hal itu membuat seseorang merasa aman dan tidak dianggap berbeda. Maka dari itu, konformitas adalah hal yang normal terjadi pada individu.
ADVERTISEMENT
Konformitas, Baik atau Buruk?
Menurut pandangan saya pribadi, perilaku 'ikut-ikutan' ini dapat menjadi sarana untuk mengembangkan diri ke arah yang lebih baik. Mengapa demikian? Jika kita menemukan sebuah kelompok yang terdiri dari orang-orang cerdas dan hebat, tentunya kita sebagai salah satu anggota kelompok tersebut ikut terpacu untuk menjadi pribadi yang lebih baik. Pastinya banyak cara kita lakukan agar dapat diterima dan memiliki kecocokan dengan yang lain. Untuk mendapatkan kecocokan tersebut, biasanya kita cenderung mengikuti pola hidup mereka yang produktif dan positif. Dengan begitu kita dapat mengembangkan potensi dalam diri sekaligus mendapatkan penerimaan sosial.
Sebaliknya, jika kita terjebak dalam kelompok yang tidak baik, perilaku 'ikut-ikutan' ini justru membawa kita terjebak dalam jurang kesengsaran. Misalnya, ketika kita bergabung dalam sekelompok orang yang suka menyontek. Maka, secara alamiah kita akan mengikuti perilaku tersebut dan akibat yang ditimbulkan adalah menerima sanksi dari pihak sekolah. Jika kita tidak secepat mungkin mengontrol diri untuk menghindari perilaku yang tidak terpuji tersebut, bukannya mendapatkan manfaat justru yang kita terima hanyalah penolakan sosial.
ADVERTISEMENT
Dua kejadian di atas dapat menjadi contoh, meskipun konformitas merupakan hal yang normal bagi individu, namun pada kondisi-kondisi tertentu tidak selamanya menjadi solusi untuk memecahkan persoalan ketika kita dihadapkan dengan pilihan-pilihan. Konformitas dapat membawa kita pada pilihan yang tepat dan rasional atau membawa kita pada pilihan yang salah dan memperburuk keadaan. penyesuaian diri memang diperlukan. Namun, jika kita mengetahui bahwa terdapat sesuatu yang salah walaupun dipercayai oleh mayoritas orang, kita tidak perlu merasa tertekan untuk mengikutinya.
Kehidupan memang diwarnai dengan berbagai pilihan, tetapi manusia dibekali akal yang rasional. Sehingga, kita diharapkan lebih bijak dalam melakukan konformitas. Jangan sampai tindakan yang kita lakukan justru mengarah kepada hal yang negatif . Tetap bijak dalam memilah mana yang memang benar sesuai fakta dan 'ikut-ikutan' menganggap benar sesuatu hanya karena dianggap 'benar' oleh mayoritas orang.
ADVERTISEMENT
"Orang yang mengikuti orang banyak biasanya tidak akan lebih jauh dari orang banyak. Orang yang berjalan sendirian kemungkinan menemukan diri mereka di tempat-tempat yang belum pernah dikunjungi orang sebelumnya."- Albert Einstein
Referensi
Baron, R.A., & Byrne, D. (2005). Psikologi sosial, jilid dua (edisi ke sepuluh).
Alih Bahasa: Ratna Djuwita, Melania Meitty Parman, Dyah Yasmina, Lita P. Lunanta. Jakarta: Erlangga.
Mulyadi, S, et al (2016). Psikologi Sosial. Jakarta: Penerbit Gunadarma.
Brown, C. (2006). Social psychology. London: SAGE Publications, Ltd.