Sebenarnya Kebijakan Kelautan dan Perikanan untuk Siapa?

Diva Eka Putra Fatkhu Rohman
Seorang mahasiswa Ilmu Kelautan Unversitas Brawijaya yang sedang berproses
Konten dari Pengguna
29 April 2021 20:32 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Diva Eka Putra Fatkhu Rohman tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber: Unsplash.com
zoom-in-whitePerbesar
Sumber: Unsplash.com
ADVERTISEMENT
Setelah mengesahkan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja pada 2 November 2020, pemerintah mulai menyusun sejumlah aturan turunan, di antaranya adalah Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Baru-baru ini PP No. 27 Tahun 2021 menjadi kontroversi di antara para pegiat kelautan, peraturan ini dianggap mempermudah pengeksploitasian pesisir untuk dijadikan wilayah pembangunan atau industri.
ADVERTISEMENT
Salah satu dampaknya dirasakan para nelayan di Muara Angke Jakarta Utara di mana jumlah tangkapan kerang hijau yang menjadi ciri khas daerahnya turun secara signifikan beberapa waktu belakangan ini. Tak hanya itu, sebelum disahkannya UU Ciptaker saja pada tahun 2019 tercatat di Indonesia setidaknya terdapat 42 wilayah pesisir telah di reklamasi, ratusan konsesi pembukaan tambang di pesisir, dan ratusan hektar wilayah pesisir telah menjadi lahan sawit.
Setelah mengalami penolakan dari berbagai kalangan dengan aksi yang masif di berbagai daerah di Indonesia, Undang-Undang Cipta Kerja pada akhirnya tetap disahkan oleh pemerintah pada 2 November tahun 2020. Hal ini sangat disayangkan, di mana pada saat rakyat kecil berjuang agar tidak kelaparan di tengah pandemi yang sedang menimpa, pemerintah malah mengesahkan undang-undang yang disetujui secara sepihak tanpa menimbang pendapat masyarakat.
ADVERTISEMENT
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja merupakan sebuah kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indoensia dengan maksud untuk menyerap tenaga kerja dengan jumlah yang besar di tengah persaingan yang semakin kompetitif dan tuntutan globalisasi ekonomi. Namun, dalam praktiknya masih banyak aturan yang bersimpangan dengan tujuan awal peraturan ini dibentuk serta menimbulkan efek negatif bagi masyarakat kecil.
Seperti aturan turunan dari UU Ciptaker ini, yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Kelautan dan Perikanan. Peraturan ini sedang hangat menjadi pembicaraan di kalangan para pegiat kelautan. Hal ini dikarenakan pasal-pasal yang berada dalam peraturan ini dianggap dapat merusak wilayah pesisir dan juga merugikan masyarakat terutama nelayan. Pada pasal 3 disebutkan bahwa status Zona inti Kawasan Konservasi dapat diubah jika terdapat proyek strategis nasional. Alasan tersebut menjadi salah satu pemicu terjadinya penolakan terhadap peraturan pemerintah ini. Dikhawatirkan dengan adanya pasal tersebut membuat Kawasan Konservasi yang notabenenya dibuat agar kelestarian sumberdaya laut dapat digunakan secara berkelanjutan akan terganggu karena status pengubahan Kawasan Konservasi menjadi Zona Inti di mana proyek strategis nasional akan dibangun pada wilayah tersebut.
ADVERTISEMENT
Contoh nyata yang saat ini terjadi dapat kita lihat pada daerah Muara Angke Jakarta Utara, di mana terjadi reklamasi pantai secara besar-besaran untuk dibangun menjadi perumahan dan kawasan industri. Khalil seorang nelayan kerang hijau di wilayah Muara Angke menuturkan bahwa dalam beberapa waktu terakhir hasil laut kerang hijau yang menjadi ciri khas daerah Muara Angke sendiri berkurang secara drastis, “setelah ada proyek reklamasi ini penghasilan kami sebagai nelayan, nelayan apa saja baik kerang atau ikan ini jadi sulit”. Jika dulunya dalam sekali melaut dapat menghasilkan hingga sekitar dua juta rupiah, saat ini para nelayan hanya dapat menghasilkan enam juta perbulan atau setara dengan dua ratus ribu rupiah dalam satu harinya.
ADVERTISEMENT
Tak hanya itu, saat ini para nelayan Pulau Pari Kepulauan Seribu sedang menghadapi masalah yang serius di mana mereka terancam akan kehilangan tempat tinggal sekaligus lokasi mata pencaharian mereka dikarenakan sengketa lahan dengan perusahaan swasta. Perusahaan juga turut melakukan kriminalisasi terhadap tiga warga yang dituduh melakukan pemungutan liar serta serta pemerasan atas pengelolaan Pantai Perawan, yang notabenenya sebelum perusahaan ini datang, warga sudah mengelola kawasan Pantai Perawan secara swadaya. Para nelayan Pulau Pari saat ini juga mengeluhkan akan berkurangnya komoditas andalan daerahnya, yaitu rumput laut karena adanya pembangunan resort yang disertai dengan reklamasi sehingga jumlah dan kualitas rumput laut Pulau Pari terus berkurang dan menurun.
Dengan adanya beberapa permasalahan di atas, dapat kita simpulkan bahwa meskipun PP No. 27 Tahun 2021 membahas tentang penyelenggaraan di bidang kelautan dan perikanan, PP ini tidak serta merta menguntungkan para pegiat perikanan tetapi malah merugikan seperti halnya nelayan yang tangkapannya mulai berkurang dan juga warga pesisir yang mulai tergusur dari tempat tinggalnya.
ADVERTISEMENT
Namun, malah sebaliknya para investor dan perusahaan besar dengan mudahnya mendapatkan izin untuk mengeksploitasi wilayah laut dan pesisir demi kepentingan mereka sendiri seperti reklamasi dan juga pembangunan proyek di wilayah konservasi.
Hal ini sangat disayangkan, di mana oligarki lebih mengutamakan para investor besar untuk mengeksploitasi wilayah pesisir dengan merancang sebuah peraturan dengan embel-embel peraturan tentang kelautan dan perikanan, tetapi dalam praktiknya tidak menguntungkan para nelayan sedikit pun.
Dengan adanya PP No. 27 Tahun 2021 ini juga dikhawatirkan wilayah mangrove yang menjadi ekosistem bagi para organisme laut untuk bertelur menjadi hilang, sehingga kelangsungan sumberdaya laut perlahan-lahan akan habis, dampak buruknya anak cucu kita di masa depan hanya akan dapat mengenang bahwa negara tercintanya dahulu pernah menjadi negara maritim terbesar di dunia.
ADVERTISEMENT
Pemerintah sebaiknya dapat mengkaji dan mempertimbangkan lagi tentang dampak yang dapat ditimbulkan oleh PP No. 27 Tahun 2021 ini terhadap rakyat kecil seperti nelayan dan masyarakat pesisir.
Pemerintah seharusnya dapat lebih aware tentang celah-celah yang rawan untuk disalahgunakan oleh oknum yang tidak bertanggung jawab untuk kepentingannya sendiri. Sebuah peraturan baiknya tidak merugikan dan tidak menguntungkan satu pihak saja, tetapi juga harus dapat bermanfaat bagi kepentingan masyarakat dan juga alam. Maka dari itu, pemerintah bisa membuat peraturan yang dapat melestarikan sumber daya alam secara berkelanjutan untuk masa depan negara dan juga penerus bangsa.