Apakah Wanita Pembawa Anjing ke Masjid Bisa Dipidana?

DNT LAWYERS
DNT is an Indonesian commercial litigation law firm, presenting a varied worldwide legal service to all business level all around the country.
Konten dari Pengguna
5 Juli 2019 15:18 WIB
comment
1
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari DNT LAWYERS tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ibu Mengamuk di Masjid. Foto: Dok. Istimewa
zoom-in-whitePerbesar
Ibu Mengamuk di Masjid. Foto: Dok. Istimewa
ADVERTISEMENT
Minggu lalu, perempuan berinisial SM membawa anjing ke dalam Masjid Al-Munawarah di Kabupaten Bogor. Selain itu, SM juga memasuki masjid dengan marah-marah serta menggunakan sandal. Kasus ini kemudian menjadi viral. Banyak yang menghujat tindakan SM dan meminta agar SM dihukum berat akibat perbuatannya. Pasalnya dalam Islam, anjing tergolong sebagai hewan yang najis berat.
ADVERTISEMENT
Akibat perbuatan SM, pengurus masjid melaporkan yang bersangkutan ke Polres Bogor dan telah ditetapkan sebagai tersangka dalam persangkaan Pasal 156a KUHP, tentang penodaan agama oleh pihak kepolisian pada 2 Juli 2019. Akan tetapi terdapat fakta baru. Berdasarkan pemeriksaan dokter Rumah Sakit Polri Kramat Jati, disimpulkan bahwa SM sedang mengalami gangguan jiwa jenis skizofrenia. Hal tersebut didukung dengan riwayat SM di 2 (dua) rumah sakit lain. Skizofrenia adalah salah satu jenis penyakit jiwa. Ciri-cirinya terdapat penyimpangan dari pikiran, disertai ekspresi emosional yang tidak wajar. Tidak jarang pengidap skizofrenia ini sering dikatakan 'cacat mental' atau 'orang gila'.
Lantas, apakah orang gila bisa dipidana?
Dalam hukum pidana terdapat alasan penghapus pidana berupa alasan pemaaf. Maksud alasan pemaaf adalah, suatu alasan yang menghilangkan atau menghapus kesalahan dari pelaku tindak pidana, sedangkan perbuatannya tetap melawan hukum.
ADVERTISEMENT
Alasan pemaaf ini melihat dari sisi pelakunya (subjektif). Hal ini dapat dilihat dalam Pasal 44 ayat (1) KUHP yang berbunyi:
Maksud dari pasal tersebut, misalnya, jika ada pelaku tindak pidana yang tidak waras atau gila, maka pelaku tersebut tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sehingga ia tidak dapat dijatuhi pidana dan harus dilepas dari tuntutan hukum.
Dalam kasus di atas, secara hukum, menurut penulis, SM tidak dapat dipidanakan karena adanya alasan pemaaf. SM yang mengidap skizofrenia dalam praktik di Indonesia dikategorikan sebagai gangguan jiwa berat, sehingga melekat Pasal 44 ayat (1) KUHP yang membuatnya tidak dapat mempertanggungjawabkan perbuatannya.
ADVERTISEMENT
Hal ini pun diperkuat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 575/Pid.B/2013/PN-KIS dan Nomor 144/Pid.B/2014/PN.Cj yang pada intinya menyatakan dalam amar putusannya bahwa meskipun suatu perbuatan terbukti secara sah dan meyakinkan adalah tindak pidana, namun karena pelaku mengalami gangguan jiwa berat (skizofrenia), maka ia tidak dapat diminta pertanggungjawaban pidana. Oleh karenanya, orang tersebut harus dilepaskan dari segala tuntutan.
Artikel hukum ini ditulis oleh Hidayatullah M.A. Nasution, intern student di DNT Lawyers (mahasiswa Sekolah Tinggi Hukum Indonesia Jentera). Bila anda ingin berkonsultasi lebih lanjut terkait persoalan hukum, segera hubungi kami di (021) 6329-683 atau email di [email protected] atau datang ke kantor kami di Dalimunthe & Tampubolon Lawyers. (www.dntlawyers.com). Terima kasih, semoga bermanfaat.
ADVERTISEMENT