Donald Trump kampanye di Florida

Konflik dan Skenario Pasca-Pemilu Presiden Amerika

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
19 Oktober 2020 13:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
ADVERTISEMENT
Beberapa tahun lalu kita susah membayangkan terjadinya kekacauan dan ketidakpastian politik akut di Amerika Serikat sebagaimana terlihat sekarang.
ADVERTISEMENT
Di tengah pandemi COVID-19 yang merajalela, Amerika memiliki seorang presiden yang ceroboh dan terus-menerus mendeligitimasi integritas pemilu yang sedang berlangsung.
Seorang presiden yang berulang kali menyatakan tanpa bukti bahwa telah terjadi rekayasa pemilu—kecuali kalau dia yang memenangi pemilu.
Presiden yang berkali-kali mengeluarkan klaim tanpa data bahwa adanya manipulasi surat suara secara masif yang terkirim melalui pos.
Puncaknya, seorang presiden yang kerap mengatakan bahwa dia belum tentu mau mengakui hasil pemilu; dan seandainya kalah, dia tidak menjamin berlangsungnya transfer kekuasaan secara damai.
Pemilu Presiden 2020 tampaknya akan menjadi defining moment bagi Amerika: akankah ketegangan politik dan persengketaan pemilu membawa perbaikan atau justru menyulut kekacauan?
Tentang persengketaan hasil pemilu, itu memang bukan peristiwa baru bagi Amerika. Situasi Pemilu Presiden 2000 mungkin menjadi perbandingan yang paling dekat dengan situasi Pemilu 2020 ini.
ADVERTISEMENT
Kita tahu, Bush memenangi Pemilu Presiden 2000. Tetapi proses menuju kemenangan itu ditandai kontroversi yang peristiwanya berpusat di Negara Bagian Florida.
Tiga kontroversi terjadi serentak di sana: penentuan deadline penghitungan suara yang bergeser beberapa kali untuk mengakomodasi pemilih yang tinggal di luar negeri, penentuan kriteria keabsahan suara karena banyak kertas suara tak berlubang tapi hanya berdekik, dan tarik-menarik antara Pengadilan Tinggi Florida dan Pengadilan Mahkamah Agung Federal dalam memilih total suara yang dipakai dalam penghitungan kemenangan. Ketidakpastian hasil pemilu pun sempat bergulir.
Lima televisi berjaringan membatalkan pengumuman pemenang pemilu presiden sebagai president-elect setelah pencoblosan usai. Al Gore pun sempat menarik ucapan selamatnya kepada Bush yang pada perhitungan suara awal dinyatakan sebagai pemenang.
ADVERTISEMENT
Tapi, akhirnya, Mahkamah Agung Federal memberi kata akhir. Lembaga itu menetapkan tenggat penghitungan suara dan menentukan kriteria keabsahan suara. Kontroversi, perdebatan dan andai-andai masih terus berlangsung tapi semua pihak akhirnya menerima keputusan Mahkamah. Dan proses transfer kekuasaan berlangsung damai.
Tapi intensitas ketidakpastian politik tahun 2020 berlangsung jauh lebih dalam. Jika Mahkamah Agung menjadi penentu akhir sebagaimana tahun 2000, justru lembaga ini sekarang sedang dilanda kontroversi. Menyimpang dari kepatutan yang sebelumnya memandu keputusan presiden, Trump melanggarnya dengan mengusulkan pengisian kursi kosong hakim agung dalam posisinya sebagai lame duck president.
Presiden AS Donald Trump melempar masker saat kampanye, yang pertama sejak dirawat karena COVID-19, di Bandara Internasional Orlando Sanford di Sanford, Florida, AS, (12/10). Foto: Jonathan Ernst/REUTERS
Pada satu sisi, usulan itu menjadi sebuah strategi elektoral. Karena hakim pengganti itu memiliki latar belakang konservatif, isu pengisian kursi hakim agung itu bisa menjadi pembujuk pemilih di konservatif yang kebanyakan mendukung Trump.
ADVERTISEMENT
Pada sisi lain, jika kelak persengketaan hasil pemilu presiden benar-benar terjadi, Trump telah menempatkan jejaknya di Mahkamah Agung. Dengan tambahan hakim agung baru itu, komposisi hakim agung di mahkamah menjadi bergeser. Dari 9 hakim agung, 6 di antara memiliki orientasi konservatif yang sekubu dengan Trump dan Partai Republik dan 3 hakim agung yang memiliki orientasi liberal. Sementara, calon hakim pengganti dalam hearing kemarin tidak menegaskan komitmennya untuk menonaktifkan diri jika kelak ada persengketaan hasil pemilu. Di atas kertas, prospek kemenangan Trump di Mahkamah Agung membesar.
Semula, itu terkesan sebagai koinsidensi belaka. Kematian Hakim Agung Ruth Ginsburg tentulah natural—terjadi tanpa perencanaan. Tetapi pemaksaan pengisian kursi kosong yang dilakukan sebelum pemilu adalah sebuah langkah politik. Plot ini menjadi masuk akal: Trump dan politisi Partai Republik membuka rute persengketaan pemilu ke Mahkamah Agung karena mereka “menguasai” mahkamah agung. Plot ini makin mengental jika kita menautkannya dengan berbagai pernyataan pendelegitimasian proses pemungutan dan penghitungan suara pemilih.
ADVERTISEMENT
Skenario buruknya, Trump akan menolak hasil pemilu. Sebagai presiden, bagaimana pun Trump memiliki kekuasaan sangat besar. Dengan kekuasaannya, ditambah lagi jika para politisi Partai Republik menyokong di belakangnya, dia bisa mencegah munculnya konsensus di Kongres untuk menunda keabsahan hasil pemilu. Bahwa Trump menyiapkan tim hukum yang masif, itu menguatkan dugaan bahwa pemilu presiden nanti akan berujung di Mahkamah Agung. Juga, dengan kekuasaannya, Trump bisa memaksakan kehendak untuk bertahan sebagai presiden apa pun hasil pemilunya.
Skenario itu bisa berkembang menjadi lebih buruk lagi karena proses pergantian kekuasaan di Amerika mengenal adanya masa interregnum. Ini adalah interval panjang antara Hari-H pemilu presiden pada saat president-elect (pemenang pemilu) diumumkan sampai ketika sang pemenang secara resmi disumpah menjadi presiden.
ADVERTISEMENT
Di masa interregnum yang berjumlah 79 hari itulah terbuka kemungkinan bahwa Trump akan meluaskan pertarungan keluar dari gelanggang pengadilan yang elitis dengan melibatkan massa pendukungnya. Sementara, milisi sipil—khususnya white supremacists pendukung Trump—telah beberapa kali memamerkan kekuatan dan menyulut kekerasan di sejumlah kota.
Kombinasi ketidakpastian politik hasil pemilu, publik yang terbelah, Trump yang unpredictable tapi memiliki kekuasan besar, dan sulutan kekerasan yang sporadik berpotensi meledakkan kerusuhan sosial di sekujur Amerika.
Publik pun merasakan situasi itu. Hampir separo mereka mencemaskan kerusuhan sosial akan berkobar setelah pemilu, sebagaimana direkam oleh YouGov. Rekaman polling ini menangkap persepsi dan perasaan publik terhadap situasi konfliktual di antara warga Amerika.
Sejumlah media kredibel pun mulai mendiskusikan potensi perang sipil dengan membandingkan situasi konfluktual menjelang perang sipil 1861-1965 dengan situasi sekarang. Sebagian sejarawan memang meragukan kesamaan keduanya, namun sebagian yang lain justru menekankan kemiripannya dan mengatakan setidaknya situasi sekarang bergerak menuju tubir jurang perang sipil.
ADVERTISEMENT
Tentu banyak faktor lain yang akan menentukan pecah-tidaknya sebuah perang sipil, dan pra-kondisi yang mematangkannya. Yang lebih gampang diramal adalah respons jangka pendek dari para politisi elite. Respons ini memiliki kerusakan lebih kecil tetapi diharapkan mampu menyerap ketegangan politik dan sosial. Kita bisa melihat kemungkinan itu dengan membaca langkah-langkah politik para aktor kunci.
Sejauh ini Trump selalu memaksimalkan posisi kepresidennya untuk melindungi dirinya dari banyak persoalan. Posisi itu digunakan untuk menghadapi problem pembayaran pajak dan menekan menteri serta jaksa agung untuk mencapai tujuan-tujuan politiknya. Ia pun memanfaatkan kepresidenannya untuk menghindari tuduhan kriminal dan skandal seksualnya dengan memanfaatkan klausul bahwa seorang presiden tidak bisa didakwa selama masih menjabat.
Presiden AS Donald Trump memberikan isyarat saat kampanye, yang pertama sejak dirawat karena COVID-19, di Bandara Internasional Orlando Sanford di Sanford, Florida, AS, (12/10). Foto: Jonathan Ernst/REUTERS
Berbagai taktik power grabbing yang dijalankan oleh Trump tersebut sesungguhnya telah mengubah keseimbangan kekuatan eksekutif (presiden) dan legislatif (Kongres) dengan bobot kekuatan eksekutif lebih besar dibanding Kongres. Salah satu kemungkinan untuk menera-ulang keseimbangan adalah dengan mengajukan legislasi yang membatasi kekuasaan presiden.
ADVERTISEMENT
Ketua Kongres Nancy Pelosi telah memulai langkah itu. Dia mengajukan draf undang-undang untuk mengantisipasi keruwetan yang sedang berlangsung. Di bawah payung Amandemen 25 Konstitusi, Pelosi ingin meluaskan kriteria kemampuan atau ketidakmampuan seorang presiden dalam menjalankan kewajibannya. Klausul amandemen itu sendiri memberikan kriteria tentang sakit dan ketidakmampuan. Tetapi entitas penentu ketidakmampuan itu adalah wakil presiden dan para Menteri.
Pelosi mengusulkan dibentuknya badan tersendiri untuk proses penilaian terhadap presiden—dan berada di bawah kewewenangan Kongres. Selain mengantisipasi ketidakpastian politik, Pelosi tampaknya ingin juga mencegah kemungkinan terjadinya kolusi antara wakil presiden dan sang presiden dan mencegah munculnya dab bertahannya seorang presiden bertipe Trump.
Di bawah kepresiden Trump juga, tahun 2019, Senator Jeff Merkley mengajukan draf legislasi untuk amandemen baru konstitusi ke Kongres. Dengan judul A Blue Print for Our Democracy, salah satu usulan amandemen Merkley adalah penghapusan electoral college. Argumennya, kehadiran electoral college justru tidak cocok dengan semangat konstitusi yang bertumpu pada daulat rakyat (“We the People …”) yang seharusnya diterjemahkan sebagai pemilu secara langsung—bukan melalui pendelegasian.
ADVERTISEMENT
Dua draf itu memberi jendela tentang perdebatan isu-isu penting yang tampaknya akan muncul pada periode pasca pemilu. Jika kelak dieksekusi, gagasan yang termuat dalam dua usulan itu akan mengubah wajah politik Amerika secara revolusioner. Keduanya akan membawa implikasi perubahan pada tata kelola pemerintahan, mendorong reformasi sistem kepartaian, dan memaksa partai politik beradaptasi.
Jika penyelesaian relatif damai pasca-pemilu itu yang dijalani, rute itu bisa memperbarui demokrasi Amerika. Seperti kapitalisme, meminjam Joseph Schumpeter, demokrasi pun bisa menjadi sebuah sistem yang mampu memperbaiki diri melalui mekanisme creative destruction.
Tapi jika kerusuhan sosial dan perang sipil yang terjadi, demokrasi Amerika akan mengalami kolaps karena tak mampu menyerap perkembangan konflik dalam masyarakatnya. Kemungkinan ini masih terlihat sama, tapi itu bukan sebuah kemungkinan yang mustahil.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten