Konvensi Demokrat: Membidik Trump, Mengabaikan Populisme, dan Nativism

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
Konten dari Pengguna
24 Agustus 2020 15:10 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Kandidat presiden dari Partai Demokrat AS Joe Biden saat Konvensi Nasional Demokrat secara virtual Foto: Democratic National Convention via REUTERS
zoom-in-whitePerbesar
Kandidat presiden dari Partai Demokrat AS Joe Biden saat Konvensi Nasional Demokrat secara virtual Foto: Democratic National Convention via REUTERS
ADVERTISEMENT
Rangkaian pidato kandidat dan tokoh-tokoh politik itu banyak yang cemerlang tapi secara keseluruhan berperspektif myopic. Konvensi Nasional Partai Demokrat yang berlangsung tiga hari di minggu kemarin itu merumuskan problem Amerika dengan tajam, namun lebih banyak menyoroti karakter lawan dan kurang melihat akar masalah Amerika.
ADVERTISEMENT
Kita perlu maklum, tentunya. Konvensi itu pada akhirnya adalah sebuah perhelatan kampanye. Ia bukan sebuah seminar atau workshop yang mengejar intellectual rigourkejernihan dan ketajaman intelektual. Titik dan garis ketegangan sosial yang hadir di Amerika dalam dekade terakhir dan makin meluber ke arena politik elektoral hanya disinggung sambil lalu.
Dipadatkan, pesan pokok konvensi itu jelas dan keras: Donald Trump bukanlah sosok yang cocok bahkan tidak layak memimpin Amerika sebagai presiden. Mengutip ungkapan aslinya: "He is unfit to be president."
Michelle Obama yang dikenal dengan cara bicaranya yang terukur, kali itu menunjuk langsung hidung Donald Trump dengan mengatakan bahwa Trump adalah "The wrong president for our country." Bill Clinton pun mengkritik tajam dengan menuding, "Just one thing never changes—his determination to deny responsibility and shift the blame"—Trump selalu menghindari tanggung jawab dan hanya gemar menyalahkan orang lain.
Michelle Obama berbicara saat Konvensi Nasional Demokrat secara virtual. Foto: Democratic National Convention via REUTERS
ADVERTISEMENT
Bahkan Barnie Sanders yang sangat populer di kalangan pemilih progresif dengan usulan kebijakan pajak yang radikal saat pemilihan primer, di paragraf pertama transkrip pidatonya menukas, "We have a president who is not only incapable of addressing these crises but is leading us down the path of authoritarianism." Tak hanya tak mampu menangani berbagai krisis, Trump sedang menakik jalan otoritarianisme di Amerika.
Puncaknya, Joe Biden maupun Kamala Harris juga mengalami personalisasi pada pidato masing-masing dengan menekankan bahwa problem yang dihadapi Amerika bersumber dan berakhir di sosok Donald Trump. Mereka mengajak pemilih untuk melihat kenyataan bahwa karakter Trump terlalu banyak membawa keburukan untuk masa depan Amerika.
Persoalannya, Trump memenangkan Pemilu Presiden 2016 dengan dukungan suara populer sekitar 63 juta suara. Memang benar, ia kalah dari Hillary Clinton dalam pengumpulan suara populer dan kemenangannya dikatrol pada level electoral college. Tapi yang perlu diingat, jumlah suara populer yang dimenangkan Trump adalah jumlah yang besar—dan sebagian darinya adalah pemilih fanatik Trump. Sementara, follower Trump di platform Twitter kini melampaui 85 juta.
ADVERTISEMENT
Karena itu, pasangan kandidat Joe Biden dan Kamala Harris perlu memperhitungkan jumlah dan aspirasi 63 atau 85 juta pemilik suara itu pula. Terlebih lagi, dalam pidato saat penerimaan kandidasi di konvensi itu Biden berjanji bahwa dia kelak akan menjadi presiden bagi seluruh rakyat Amerika, bukan presiden bagi pemilihnya saja. Ini berarti, dia perlu melihat watak dan akar keterbelahan sosial masyarakat Amerika.
Diringkas, keterbelahan itu mengikuti dua garis ketegangan sosial yang mencerminkan problem yang lebih dalam: Kecenderungan populisme dan nativisme dalam berpolitik.
Populisme tidak otomatis berarti buruk. Gagasan bahwa orang biasa perlu didengarkan tuntutannya adalah sebuah normalitas. Bahkan, desakan keadilan dan kesetaraan yang berwatak populis dalam sejarah juga membawa perbaikan kualitas kesejahtaraan masyarakat demokrasi. Kesuksesan gerakan dan partai polulis umumnya bersumber dari kemampuan tokoh-tokohnya untuk mengidentifikasi grievances atau keresahan sosial-ekonomi rakyat biasa serta kemampuan gerakan itu untuk mengukir kompromi-kompromi dalam pembuatan kebijakan di tingkat elite—selain cara-cara disruptif.
ADVERTISEMENT
Juga, populisme dapat memberikan dan menanamkan sebentuk martabat pada rakyat biasa yang sering diabaikan dalam politik formal. Tetapi populisme juga bisa membawa persoalan genting.
Populisme pada dasarnya membagi sebuah masyarakat menjadi dua kelompok dengan memisahkan rakyat jelata dari kelompok elite. Pemisahan ini kemudian diikuti dengan penyematan nilai kemurnian dan keluguan rakyat kebanyakan di satu sisi, yang dihadapkan pada kaum elite yang korup pada sisi yang berseberangan. Klaim atas kemurnian dan tuduhan korup itulah yang bisa berkembang menjadi sebuah bola liar.
Di Amerika, pada dekade terakhir ini, sentimen dan gerakan populis menguat berbarengan dengan semakin melunturnya kepercayaan warga Amerika terhadap pemerintahnya. Dalam pandangan mereka, pemerintah dan elite politik semakin tidak responsif atas tuntutannya. Mereka menganggap bahwa pemerintah Amerika justru tersandera oleh kepentingan partikular dari elite ekonomi dan terlalu sibuk dengan kepentingan mereka sendiri. Sentimen tersebut pada gilirannya mendorong terbentuknya sikap dan pilihan yang ekstrem pada pemilih.
ADVERTISEMENT
Ekstrimitas mereka semakin menebal ketika sebuah nativisme muncul kembali dan meluas dalam wacana politik di Amerika mutakhir. Nativisme mengandaikan pembelahan masyarakat yang didasarkan pada keaslian—ada kelompok asli dan di luarnya kelompok tidak asli. Awalnya, kriteria keaslian itu dilekatkan pada tempat kelahiran di Amerika. Para nativis itu memandang dan meyakini bahwa warga Amerika hanyalah mereka yang lahir di negara itu. Dan hanya mereka pula yang memiliki keabsahan untuk memiliki hak politik dan ekonomi.
Nativisme ini bukan sebuah gejala baru, bukan pula sebuah cerita baru. Dalam sejarah Amerika, kriteria keaslian itu pernah mengambil wajah agama. Di abad 19, para imigran baru yang datang dari Jerman dan Irlandia tidak disukai kehadirannya oleh warga Protestan yang menjadi “asli” hadir lebih dulu dan lahir di Amerika. Tentu, pandangan nativis ini menjadi sebuah ironi karena jauh sebelum para imigran Eropa datang dan mendiami Amerika, warga asli Indian telah menghuni daratan luas itu. Karena itu pandangan nativisme sesungguhnya bisa dipakai dan ditekuk sebagai teknik untuk survive dan dimanfaatkan untuk alat mobilisasi politik. Pada dirinya, pandangan ini melahirkan sikap yang diskriminatif sebab ia mengimplikasikan adanya warga kelas satu dan kelas dua.
ADVERTISEMENT
Perwujudan nativisme ini di masa sekarang muncul setidaknya dalam dua isu besar: Birther dan imigrasi. Isu birther merujuk pada kriteria eligibilitas seorang calon presiden yang harus lahir di Amerika. Isu ini terus mengapung dalam wacana publik Amerika sejak Barack Obama mencalonkan diri jadi presiden tahun 2008. Sedangkan untuk isu imigrasi, ia seolah menjadi sebuah isu abadi yang selalu hadir di setiap pemilu presiden—karena bagaimana pun Amerika adalah sebuah negara yang dibentuk para imigran.
Presiden AS Donald Trump. Foto: REUTERS/Jonathan Ernst
Di tangan Trump, populisme dan nativisme itu dieksploitasi sedemikian rupa untuk memobilisasi dukungan. Sejak kampanye untuk Pemilu Presiden 2016, dia secara rutin menuduh elite politisi di Washington DC sebagai elite yang mengabaikan warga Amerika dan kaum elite itu berkonspirasi untuk memanipulasi warga dan menghantam dirinya. Dia menampilkan diri sebagai pembela jelata seraya melabeli para elite politik itu sebagai enemy of the people untuk membujuk pemilih.
ADVERTISEMENT
Taktik populis tersebut diperkuat lagi dengan penggunaan label deep state yang secara lebih spesifik membelah rakyat jelata dengan sebuah elite kecil yang mengendalikan ekonomi-politik Amerika. Batas elite itu kabur, tetapi dengan gampang imaji tentang deep state itu merasuk ke dalam benak sebagian warga Amerika.
Isu birther pun dieksploitasi Trump di berbagai kesempatan. Ia melemparkan ke publik keraguannya atas tempat kelahiran Obama menjelang Pemilu Presiden 2012 ketika dia sedang menimbang untuk mengikuti nominasi calon presiden di Partai Republik. Dia terus-menerus mengulangnya di tahun 2016, dan kini di tahun 2020 taktik itu digunakan untuk menyerang Kamala Harris yang dipilih Joe Biden sebagai pasangan kandidat wakil presiden.
Data dan fakta tidaklah penting bagi Trump ketika melemparkan isu birther. Dan tampaknya dia tahu bahwa sikap sebagian pemilih tidaklah melulu dibentuk oleh data dan fakta. Sekali dilempar ke publik, isu tersebut memiliki daur hidupnya sendiri dan mampu memobilisasi pendukung. Pada situasi semacam itu, Trump adalah seorang political entrepreneur. Dia melihat celah elektoral itu, dan kemudian mengeksploitasinya habis-habisan untuk memenangkan dukungan suara tanpa merasa perlu untuk melihat akibat ikutannya yang membelah, memperkeras polarisasi sosial, dan menerbitkan agresivitas di sebagian lingkaran pendukungnya.
ADVERTISEMENT
Di lihat dari sini, problem yang melekat pada Trump sesungguhnya hanyalah setengah persoalan yang dihadapi Amerika dan perlu ditangani oleh Joe Biden dan Kamala Harris. Retorika dan gerak-gerik Trump sesungguhnya bertumpu pada akar sosiologis yang dalam—yang akar persoalan ini terbenam dan tak disebut dalam rangkaian pidato cemerlang selama berlangsungnya Konvensi Partai Demokrat.
Calon presiden dari Partai Demokrat, Joe Biden; dan Calon Wakil Presiden, Senator Kamala Harris. Foto: Carlos Barria/Reuters
Para politisi Demokrat itu terlalu terpaku pada karakter Trump dan mengabaikan problem di balik kesuksesan elektoral Trump. Tapi, mungkin, topik ini akan muncul dalam putaran debat presiden di September kelak.