Kampanye Donald Trump di Gedung Putih

Menguji Tesis Silent Majority

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
12 Oktober 2020 16:17 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Presiden AS Donald Trump dan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpartisipasi dalam debat kampanye presiden 2020 pertama mereka di kampus Klinik Cleveland, di Case Western Reserve University di Cleveland, Ohio, AS. Foto: Reuters
zoom-in-whitePerbesar
Presiden AS Donald Trump dan calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden berpartisipasi dalam debat kampanye presiden 2020 pertama mereka di kampus Klinik Cleveland, di Case Western Reserve University di Cleveland, Ohio, AS. Foto: Reuters
ADVERTISEMENT
Hari-H pemilu presiden Amerika kurang dari sebulan. Tapi sebagian besar pollster masih terkesan gamang memberikan prediksi hasil pemilu meskipun sejak Maret lalu tren polling mengunggulkan Joe Biden—bahkan sampai dua digit. Hanya sebagian kecil saja yang sudah membikin prediksi atas hasil pemilu November nanti.
ADVERTISEMENT
Kegamangan pollster itu bisa dimaklumi. Sebab, meminjam ungkapan David Byler, analis data The Washington Post, melakukan prediksi hasil pemilu adalah pekerjaan yang tantalizing and frustratingly opaque—menjanjikan sesuatu yang susah diraih di tengah rimba data keruh yang susah ditembus.
Melawan tren polling, Trump tetap yakin bahwa dia mampu meraih kemenangan untuk periode jabatan yang kedua. Keyakinan Trump itu dibungkus dengan sesumbar bahwa silent majority akan memberikan sebuah kejutan sekali lagi kepada elite dan publik Amerika—sebagaimana kejutan itu telah terjadi di 2016.
Sesumbar itu tidak berlebihan mengingat kekeliruan masif yang dialami pollsters dulu. Di 2016 itu berbagai pollster memprediksi kemenangan Hillary Clinton. Hillary adalah kandidat favorit untuk memenangi pemilu presiden, kata sebuah prediksi. Kemenangan Hillary sekitar 77-99%, kata prediksi yang lain. Dan Hillary unggul dengan selisih 1-7%, menurut prediksi yang lain lagi. Kenyataannya, Donald Trump menghantam semua ramalan itu. Bahkan, polling di level negara bagian seperti Pennsylvania dan Wisconsin pun hasilnya terbalik. Hillary menang di polling tapi Trump menang pada hitungan riil di lapangan.
Presiden AS Donald Trump melepas masker saat dia keluar di balkon Gedung Putih untuk berbicara dengan para pendukung. Foto: Tom Brenner/Reuters
Oktober 2020 ini kita juga menyaksikan tiga media/pollsters kredibel memberi prediksi bahwa Biden akan memenangi pemilu. Analisis The Economist (9/10) memberi Biden kans kemenangan sebesar 99% di level popular votes dan 92% di level electoral votes (electoral college).
ADVERTISEMENT
Mirip, FiveThirtyEight (8/10) memberikan kans kemenangan bagi Biden sebesar 84% di level popular vote; dan ditambah lagi prediksi The New York Times yang juga senada.
Terhadap ketiga prediksi tersebut, David Byler memberikan asesmen yang sama bagusnya. Alasannya, ketiga media/pollsters tersebut membangun model prediksinya dengan basis teori yang kokoh, bersimulasi dengan banyak prediction models, serta memanfaatkan data historis secara sistematik. Tapi, Byer memberikan sebuah catatan penting: peristiwa tak terduga bisa muncul menjelang pemungutan suara. Dan dia menyebut, peristiwa itu adalah Trump.
Keputusan taktis yang diambil Trump menjelang November bisa mengacaukan model prediktif para pollsters itu. Jika prediksi kemenangan Hillary itu ternyata bisa terbalik, maka nasib yang sama juga bisa dialami Joe Biden. Hillary Clinton dan Joe Biden menghadapi rival yang sama: Donald Trump.
ADVERTISEMENT
Sesumbar Trump tentang silent majority, karena itu, perlu ditimbang lebih cermat. Memang, bisa saja sesumbar Trump itu hanya gertak sambal belaka. Gertakan jenis ini normal terjadi di kampanye pemilu. Di mana pun, kandidat yang sedang berkampanye pasti merasa perlu untuk membalurkan optimisme kemenangan pada pasukan tempurnya.
Di luar urusan gertakan, ada tiga alasan mengapa sesumbar Trump perlu ditimbang lebih jauh. Pertama, sebagaimana dikatakan Trump sendiri, silent majority itu akan muncul menjelang pemungutan suara. Dengan begitu, model prediktif yang sudah dibikin oleh ketiga media/pollsters kredibel di atas memang belum menjangkau kelompok pemilih ini. Kedua, kekeliruan prediksi tahun 2016 sesungguhnya berkaitan dengan sebuah teka-teki metodologis: Bagaimana pollsters menjaring silent majority dalam proses sampling dalam sisa waktu kurang dari sebulan agar prediksinya akurat?
ADVERTISEMENT
Pertanyaan seperti itulah yang empat tahun lalu mendorong AAPOR (Asosiasi Survei Opini Publik Amerika) untuk menyelidiki sebab kegagalan pollsters. Di tempat lain, Inggris, BPC (Asosiasi Pollsters Inggris) juga berkutatan dengan problem metodologis yang mirip. Pollsters di sana justru lebih dulu mengalami kepahitan dalam memberikan prediksi Pemilu 2015. Mereka menebak terjadinya pertarungan ketat tantara Partai Konservatif dan Partai Buruh hanya untuk menemui hasil riil di lapangan bahwa Partai Konservatif unggul meyakinkan dalam pemilu itu. Kegagalan di Inggris itu beruntun, karena pada referendum Brexit 2016 mayoritas pollsters di sana keliru lagi dalam memberikan prediksi.
Sementara kita bisa menunda diskusi prediksi yang diberikan oleh FifeThirtyEight, The Economist dan The New York Times—kecuali mereka bertiga melakukan polling lagi menjelang Hari-H. Selebihnya, teka-teki metodologis itulah yang perlu kita soroti.
ADVERTISEMENT
Dalam konteks pemilu presiden Amerika, istilah silent majority merujuk hanya pada pemilih Trump saja. Istilah itu membagi pemilih Trump ke dalam dua kategori: mereka yang menyatakan pilihannya ke Trump dengan terus terang dan mereka yang silent atau tidak mau menyatakan pilihan politiknya. Agar tak membingungkan, istilah silent majority ini kadang dipertukarkan dengan dua istilah lain, yakni hidden voters (pemilih tersembunyi) atau shy Trumpers (pemilih Trump yang malu-malu).
Di tahun 2016 (dan dengan demikian 2020 juga), silent majority itulah yang menjadi salah satu sumber kegagalan pollsters. Intinya, ketika diwawancarai enumerator polling, pemilih Trump yang silent itu tidak mau berterus terang menyatakan pilihan politik mereka. Akibatnya, hasil hitungan dukungan untuk Trump di polling menjadi lebih kecil dari yang seharusnya. Seraya menyembunyikan pilihannya dari pollsters, mereka mencoblos Trump di bilik-bilik suara. Mereka itulah yang meluluhlantakkan prediksi-prediksi saat itu. Tapi mengapa mereka mau tidak berterus terang dengan pilihannya?
ADVERTISEMENT
Jawabannya, keterusterangan itu bisa menempatkan mereka di dalam situasi konfliktual. Perbedaan pilihan politik di rumah, di tempat kerja, dan di perkumpulan sosial bisa menimbulkan suasana tidak nyaman dalam pergaulan. Sebenarnya alasan ini bersifat umum dan tak harus dikenakan ke pemilih Trump saja.
Yang lebih spesifik, Trump bagaimana pun adalah figur yang polarizing. Dia memecah publik Amerika dengan segala kontroversinya. Sejumlah label sering diasosiasikan dengan Trump bahwa dia adalah seorang yang rasis, seksis, dan misoginis. Citra personal Trump yang seperti itu menjadikan sebagian pemilihnya untuk berdiam saja atas pilihan politiknya. Sebab mereka menghindari risiko dimusuhi atau terkucilkan secara sosial. Tesis klasik spiral of silence mendeskripsikan dengan tepat situasi ini. Intinya, ketakutan akan keterkucilan sosial mendorong pemilih Trump untuk menyembunyikan pilihannya dengan dengan melakukan konformitas pura-pura terhadap opini dominan yang anti-Trump. Jika makin banyak pemilih Trump yang melakukannya, maka spiral itu pun membesar sehingga gejala ini mengecoh pollsters.
ADVERTISEMENT
Penyebab kegagalan lain dari pollsters adalah kurang sensitifnya sampling frame yang mereka pakai untuk menjaring silent majority. Karena mereka terkonsentrasi pada wilayah atau kelompok demografi tertentu, mereka kurang terwakili dalam sample. Hasil exit poll yang dilakukan para pollster belakangan menemukan bahwa para pendukung Trump memang terkonsentrasi di pedesaan dan umumnya berstrata pendidikan bawah—tidak mengecap Pendidikan tinggi.
Secara retrospektif, tesis silent majority tersebut bisa menjelaskan kegagalan pollsters tahun 2016. Pertanyaannya, sejauh manakah tesis itu akan berlaku pada pemilu November 2020 nanti sehingga berpotensi menjungkalkan ramalan The Economist, FiveThirtyEight, dan The New York Times?
Kegamangan mereka dalam memberikan prediksi hasil Pemilu 2020 mengindikasikan bahwa problem metodologi itu sejauh ini belum sepenuhnya terpecahkan. Namun kita bisa berjalan sedikit melingkar dan mencoba menembus tabir silent majority itu dengan melakukan perbandingan situasi Hillary Clinton pada 2016 dan Joe Biden di 2020.
Calon presiden dari Partai Demokrat Joe Biden dalam debat kampanye presiden 2020 pertama di Cleveland, Ohio, AS, Selasa (29/9). Foto: Jonathan Ernst/REUTERS
Sama-sama melawan Trump, tapi selisih dukungan Biden-Trump lebih besar jika dibandingkan selisih Hillary-Trump. Dengan demikian, pada saat ini, selisih yang harus ditutup Trump melalui dukungan silent majority jauh lebih lebar. Problemnya, silent majority itu bukanlah sungguh-sungguh sebuah majority. Mereka ada, memang. Tapi mereka bukanlah sebuah gumpalan besar yang bisa menggeser perolehan suara secara ekstrem. Pendukung Trump itu bisa membalikkan kemenangan hanya jika selisih perolehan suara kandidat berbeda tipis.
ADVERTISEMENT
Berikutnya, di beberapa swing states, keunggulan Biden atas Trump lebih kokoh dibanding dengan keunggulan Hillary atas Trump. Pemilih di swing states seperti Wisconsin dan Pennsylvania kini lebih berpihak ke Biden ketimbang Trump. Situasi ini berbeda dari situasi Hillary di tahun 2016.
Akhirnya, jika data survei PEW Research Center Juni 2020 bisa dijadikan pegangan, mayoritas warga Amerika sekarang justru lebih bisa menerima kenyataan diversitas sosial masyarakat Amerika dan mereka cenderung melawan minoritas yang ekstrem—yakni basis pemilih yang dipelihara Trump. 67 persen warga Amerika berada di kelompok ini. Dengan demikian, sesungguhnya, sesumbar silent majority tidaklah sesakti dugaan Trump. Bahkan, mungkin, label silent majority kali ini lebih cocok disematkan kepada pendukung Joe Biden ketimbang pendukung Trump yang gemar menyulut bentrok sosial.
ADVERTISEMENT
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten
Sedang memuat...0 Konten