news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Patriotisme: A Game Changer Pilpres Amerika?

Dodi Ambardi
Dosen Departemen Sosiologi, Fisipol, Universitas Gadjah Mada. Departemen Ilmu Politik, Ohio State University (Doktoral)
Konten dari Pengguna
14 September 2020 11:06 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dodi Ambardi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Siluet Donald Trump. Foto: Brendan Smialowski / AFP
zoom-in-whitePerbesar
Siluet Donald Trump. Foto: Brendan Smialowski / AFP
ADVERTISEMENT
Awalnya berita itu dipublikasikan The Atlantic, 3 September lalu. Lantas bocoran informasi dari empat staf Trump itu menyebar ke berbagai kanal mainstream. Berikutnya ia menemukan jalan tol menuju gelanggang luas di media sosial. Bisa jadi, berita pendek tersebut akan menjadi sebuah game changer yang berpotensi menghumbalangkan Trump di November nanti.
ADVERTISEMENT
Judul beritanya agak panjang: “Trump: Americans Who Died in War Are ‘Losers’ and ‘Suckers’”. Peristiwa yang menjadi fokus berita tersebut sudah lewat dua tahun silam. Intinya, dalam rangkaian kunjungannya ke Eropa tahun 2018, Donald Trump membatalkan satu rencananya untuk melakukan ziarah penghormatan terhadap ribuan tantara Amerika yang gugur di Perang Dunia I. Acaranya diselenggarakan di sebuah Taman Makam Pahlawan Amerika di sebuah kota kecil yang terletak di Prancis Utara.
Yang menuai kontroversi dari bocoran itu, Trump mempertanyakan manfaat ziarah itu. Dia menganggap bahwa makam para tentara itu tak lebih dari makam para losers alias pecundang. Sekaligus, dia menganggap mereka yang terbunuh dalam perang itu adalah suckers—orang-orang yang tolol.
ADVERTISEMENT
Namun, bukankah Trump selama ini sudah dikenal luas dengan bahasanya yang vulgar dan cemoohan yang terbuka, dan dengan cara itu dia memenangkan jabatan kepresidenan Amerika?
Sebagian itu bawaan tabiatnya. Sebagian yang lain, kekasaran bahasa itu digunakannya untuk menghantam lawan-lawan politiknya, kaum liberal. Dia bersengaja menabrak etiket lazim yang dikenal dengan istilah politically correct, yang dituduhnya tak lebih dari topeng yang memuat agenda kaum liberal dan memojokkan kaum konservatif. Cocok dengan kepentingan dan gaya basis pendukung populisnya, Trump secara taktis mengatakan bahwa kriteria politically correct telah mengasingkan mayoritas warga Amerika yang ingin perubahan. Sopan-santun elitis itu justru memasung kebebasan warga dalam berekspresi. Tapi, kali ini, pernyataan ceroboh itu menyenggol batas wilayah yang umumnya disucikan bagi oleh mayoritas Amerika: patriotism. Termasuk sebagian pendukungnya yang pemuja patriotisme.
ADVERTISEMENT
Dalam imaji warga Amerika seumumnya, tentara dan veteran perang dianggap mewakili sebentuk patriotisme. Secara sederhana, patriotisme dipahami sebagai semangat dan sikap mencintai tanah air dan bangsa. Perang dengan negara lain untuk mempertahankan sebuah cita-cita dan ideal kebangsaan adalah perwujudan paling umum. Sementara, dalam kehidupan sehari-hari sikap itu diwujudkan dalam penghormatan bendera dan lagu kebangsaan. Itu sebabnya ketika Colin Kaepernick tahun 2016, pemain football profesional Amerika, menekukkan lututnya saat lagu kebangsaan dikumandangkan sebelum pertandingan dimulai, ia menuai kontroversi luas. Tindakan itu dilakukan sebagai protes terhadap kebrutalan polisi yang diskriminatif atas kaum kulit hitam. Protes Kaepernick itu bergaung sampai sekarang dan diikuti oleh banyak atlet selebritas lainnya. Banyak warga Amerika yang merasa tersinggung. Trump pun meresponsnya dengan kemarahan dalam cuitannya yang menghardik para atlet itu, yang dianggapnya tidak memiliki rasa hormat terhadap bendera negara, lagu kebangsaan, dan Amerika.
ADVERTISEMENT
Pada peristiwa lain, sejak 2016 dia dengan getol memasarkan dan membujuk warga Amerika dengan semboyan Make Amerika Great Again dan America First! Dua semboyan ini jelas-jelas menomorsatukan kepentingan Amerika. Dengan itu ia menarik Amerika dari berbagai perjanjian multilateral yang dianggapnya merugikan atau merendahkan Amerika yang besar.
Wajah Trump yang kontradiktif ini ditelisik oleh para pengamat dan media di sana.
Sejumlah analisis membedakan a true patriotism dari fake patriotismpatriotisme yang asli dari yang palsu. Trump pernah memublikasikan sepotong foto dengan balutan bendera Amerika untuk memamerkan diri bahwa ia cinta Amerika. Seraya memeluk erat bendera, pernyataan dan tindakan Trump justru kerap mencemooh mereka yang berperang membela Amerika. Ini sebuah pameran fake patriotism yang bertabrakan dengan pernyataan dan tindakan dia lainnya.
ADVERTISEMENT
Terhadap mendiang Senator John McCain, misalnya, Trump melabeli veteran perang Vietnam itu sebagai seorang loser. Dia menolak mengakui patriotisme dan kepahlawanan McCain, karena baginya seorang pahlawan seharusnya tidak pernah tertawan musuh, dan tidak mati. Sebuah logika yang unik dan aneh.
John McCain Foto: REUTERS/Brian Snyder
Kontradiksi Trump juga muncul saat Trump melakukan ziarah ke makam pahlawan di Arlington tahun 2017. Di sebuah percakapan dengan John Kelly, yang anaknya terbunuh di Afghanistan tahun 2010, Trump berbisik dan bertanya kepada jenderal purnawirawan itu, mengapa para tentara itu mau mati untuk tujuan yang baginya tidak jelas. Tampak jelas di situ bahwa Trump tidak memahami arti sebuah pengorbanan. Dia tidak memahami a true patriotism.
Varian lain dari penjelasan model psikologis ini tersedia juga, dan masih bertumpu pada watak Trump. Dinyatakan, Trump tidak memiliki kapasitas abstraksi untuk membedakan patriotisme dan nasionalisme.
ADVERTISEMENT
Kedua istilah itu memiliki elemen yang sama, yakni kecintaan pada tanah air, bangsa dan negara. Keduanya memiliki elemen sama lainnya, yakni kepentingan kolektif bangsa atau negara. Tetapi perbedaan keduanya relatif menyolok. Patriotisme tidak mengandaikan adanya susunan hierarkis atas bangsa-bangsa dan tidak bersifat agresif. Ke dalam, patriotisme menampung perbedaan pandangan dan membuka ruang diskursif untuk menemukan sebuah kepentingan kolektif nasional. Nasionalisme, sebaliknya, mengandaikan superioritas bangsa sendiri dan ekspansif karena memiliki kecenderungan untuk menjadi nomor satu. Ke dalam, kelompok yang mendaku paling nasionalis ingin mendominasi dan menyekunderkan kelompok-kelompok lain.
Semboyan America First!, di tangan Trump, berarti kepentingan Amerika harus nomor satu dan dominasi Amerika menjadi tujuan utama. Karena itu, kita bisa memahami langkah Trump yang membawa Amerika keluar dari berbagai perjanjian multilateral antarnegara atau antarbangsa. Sementara, ke dalam, Trump dengan fanbase-nya mendaku sebagai kelompok yang paling patriotis. Tak aneh jika di banyak kesempatan dia bersikap konfrontatif terhadap para pengritiknya, mencemooh kelompok lain, dan hampir tidak pernah melakukan tindakan yang bersifat akomodatif dan rekonsiliatori.
ADVERTISEMENT
Perspektif psikologis tersebut bisa membantu menjelaskan kontradiksi atau hipokrisi yang menandai masa kepresidenan Trump. Cuma, problemnya satu: mengapa, sebagaimana dilaporkan banyak media di Amerika, Trump justru berubah panik ketika berita dari The Altantic tersebut semakin menyebar luas? Mengapa pula Trump merasa perlu untuk memobilisasi stafnya untuk mengeluarkan bantahan berderet terhadap berita tersebut?
Kita memerlukan perspektif yang berbeda untuk memahami kepanikan itu tanpa perlu bertabrakan dengan penjelasan psikologis untuk Trump. Perspektif lain ini bersumbu pada obsesi Trump untuk terpilih lagi di November nanti.
Berita dan isu patriotisme itu pada intinya adalah sebuah isu sensitif bagi pemilih tentara (dari semua matra) dan veteran. Kelompok ini istimewa secara simbolik karena mereka selalu ditautkan dengan patriotisme yang menuntut pengorbanan nyawa dalam pelaksanaan tugas-tugas mereka di daerah peperangan. Selain simbolik, secara elektoral pun jumlah mereka cukup besar dengan proporsi kurang lebih 13 persen dari total proporsi pemilih. Lebih penting lagi, kelompok tentara dan veteran ini bisa menjadi sebuah voting bloc yang bersumber pada kesamaan motivasi dan concern.
ADVERTISEMENT
Dalam musim pemilu kelompok ini sangat bisa diandalkan. Tingkat rerata partisipasi veteran lebih tinggi ketimbang non-veteran. Kecenderungan mereka dari waktu ke waktu adalah memberikan dukungan suaranya ke kandidat-kandidat dari Partai Republik untuk pemilu sela dan pemilu presiden.
Selain itu, kelompok ini juga mampu mengorganisasikan kampanye di tingkat akar rumput. Pada Pemilu Presiden 2016, di bawah naungan CVA (Concerned Veterans for America) veteran ini menyediakan 12 ribu relawan yang mampu melakukan kampanye lewat telepon dan menjangkau 12 juta pemilih dan mampu mendatangi dan mengetuk pintu 250 ribu rumah. Dan yang paling krusial, mereka membantu menentukan kemenangan Trump di tiga negara bagian yang termasuk swing states: Pennsylvania, Michigan, dan Wisconsin.
Trump patut cemas atas kecerobohannya setelah cemoohannya terhadap para veteran diungkap oleh The Atlantic minggu kemarin. Cemoohan itu jelas menyentuh harga diri dan kebanggaan para veteran. Isu patriotisme ini—sendiri atau berkombinasi dengan isu rasialisme dan kegagalan penanganan Covid-19—sangat berpotensi untuk menjadi sebuah game changer yang akan menentukan nasib Trump di November nanti. Arti strategis para veteran tersebut bobotnya bertambah ketika Trump justru memerlukan setiap jengkal penambahan blok suara. Di pemilu 2016, ia tertolong oleh electoral college—bukan semata jumlah suara tingkat pemilih.
ADVERTISEMENT
Melihat respons banyak veteran—dari pangkat bintara sampai jenderal—yang terekam di media mainstream dan media sosial, isu patriotism ini layak dibaca sebagai sebuah signal ketimbang sekadar noise elektoral. Ia bisa meliar dan menjadi sebuah game changer.
Donald Trump. Foto: Carlos Barria/REUTERS