Tentang KamiPedoman Media SiberKetentuan & Kebijakan PrivasiPanduan KomunitasPeringkat PenulisCara Menulis di kumparanInformasi Kerja SamaBantuanIklanKarir
2024 © PT Dynamo Media Network
Version 1.89.0
Pemilu Serentak 2020 dan Restorasi Demokrasi Amerika
2 November 2020 11:22 WIB
ADVERTISEMENT
Desain demokrasi ala Amerika semula terlihat prima. Desain itu pun telah lama menjadi sebuah model demokrasi yang menghasilkan emulasi di banyak negara lain—khususnya di Amerika Latin. Selain itu, Amerika juga menjadi benchmark bagi demokrasi lainnya dalam perbandingan demokrasi.
ADVERTISEMENT
Tapi, dalam empat tahun terakhir, kelemahan desain itu terekspose. Dua prinsip pokok yang menopang demokrasi Amerika tergerus. Prinsip separation of power melemah, dan mekanisme check and balance mengalami kemacetan. Politik Amerika kini semakin mirip dengan politik di negara berkembang. Di level elite, kolusi dan adu kekuatan menjadi mode dominan, sementara di level masyarakat, demokrasi Amerika terkesan tak mampu menangani polarisasi yang makin menguat dan kerusuhan sosial yang meletup sporadik.
Jika pemilu memang dipercaya sebagai metode damai untuk melakukan perubahan, sejauh manakah pemilu serentak Selasa 3 November besok bisa merestorasi kecermelangan demokrasi di Amerika? Katakanlah pemilu menghasilkan pergantian presiden dan struktur mayoritas-minoritas Kongres berubah, akankah peluang restorasi meningkat?
Dengan gagasan separation of power, Amerika memisahkah cabang pemerintahan menjadi tiga: Eksekutif, legislatif, dan yudikatif. Pemisahan ini bertujuan untuk mencegah penumpukan kekuasaan di satu cabang pemerintahan. Dengan gagasan check and balance, kontrol terhadap anasir pemusatan kekuasaan didorong lebih jauh. Jika salah satu cabang kekuasaan menggeser keseimbangan politik, cabang yang lain akan melakukan koreksi melalui mekanisme itu.
ADVERTISEMENT
Tapi, sendi-sendi pokok demokrasi Amerika itulah yang kini sedang goyah.
Trump, sebagai presiden, selalu ekspansif. Dia terus berusaha meluaskan kekuasaannya dengan menggeser keseimbangan antarcabang pemerintahan. Kasus pembangunan tembok perbatasan dengan Meksiko adalah ilustrasi yang pas untuk menggambarkan ekspansi kekuasaan eksekutif itu.
Tembok pembatas yang bertujuan mencegah merembesnya imigran ilegal itu jelas memerlukan anggaran besar. Dalam kampanyenya, Trump berjanji akan membebankan biaya itu ke Meksiko. Mudah ditebak, Trump gagal memaksa Meksiko membiayai tembok batas itu. Tapi Trump bersikeras mewujudkannya, sebab itu adalah selling point Trump untuk membujuk sekaligus memelihara basis pendukungnya.
Jalan keluarnya, Trump membelokkan sebagian dana pemerintah untuk pembangunan tembok itu. Ia menyatakan kedaruratan sebagai justifikasi langkahnya. Persoalannya, apropriasi dana pemerintah dan klaim kedaruratan itu mensyaratkan persetujuan Kongres sebagai pemilik kewenangan. Tapi Trump tak peduli dan menabrak saja aturan konstitusi tersebut.
ADVERTISEMENT
Power grabbing semacam itu dilakukan Trump berulang. Tak hanya mengangkat menantunya yang berkualifikasi meragukan sebagai penasihat presiden, Trump juga kerap memecat pejabat tinggi negara yang dianggapnya tidak loyal. Seraya memperlakukan aneka badan pemerintahan federal sebagai subsidiary berbagai perusahaannya, dia mengganti pejabat inspektorat yang mengawasi penggunaan dana pemulihan ekonomi. Alih-alih menyerap tuntutan demonstran dalam gerakan protes Black Lives Matter, Trump mengirimkan pasukan federal tanpa identitas untuk menangkapi mereka.
Dari kacamata para komentator, Trump tampak sedang membangun sebuah imperial presidency yang mirip dengan karakter penguasa di negara-negara otoriter yang gemar menumpuk kekuasaan. Kualitas demokrasi merosot sejalan dengan proses penumpukan kekuasaan itu.
Tapi, sesungguhnya, tindakan Trump hanyalah separuh cerita tentang erosi demokrasi Amerika. Separo lainnya, erosi itu bersumber dari problem relasi antarcabang pemerintahan.
ADVERTISEMENT
Di cabang legislatif, kekuasaan Kongres terbagi dalam dua kamar—House of Representative dan Senate. Di atas kertas, struktur kekuasaan yang disengaja dipecah ini membuka ruang check and balance di wilayah internal Kongres. Namun, hasilnya ternyata bisa bertolak-belakang. Kasus pengisian kursi kosong seorang hakim agung di Supreme Court (Mahkamah Agung) mendemonstrasikan macetnya mekanisme tersebut. Senat yang dikuasai mayoritas Partai Republik justru melakukan kolusi politik dengan presiden.
Memang, adalah wewenang presiden untuk mengajukan nama hakim agung untuk mengisi kursi kosong di Mahkamah Agung. Namun wewenang nominasi itu dibatasi norma informal bahwa presiden yang berstatus lame duck (mendekati akhir masa jabatan) sebaiknya tidak mengangkat hakim baru. Alasannya, presiden perlu mendengarkan suara publik melalui pemilu sehingga presiden terpilih melalui pemilulah yang lebih berhak mengajukan nominasi. Situasi serupa terjadi pada masa kepresidenan Obama. Obama menghormati norma tak tertulis itu dengan menunda nominasi sampai pemilu presiden usai menyusul meninggalnya Hakim Agung Antonin Scalia. Sementara, Trump mengabaikan norma itu, dan menominasikan Amy Barret untuk mengisi kursi kosong yang ditinggalkan Ruth Ginsburg.
ADVERTISEMENT
Dalam situasi seperti itu, Senat bisa melakukan kontrol terhadap presiden yang melanggar norma tak tertulis itu. Sebab, Senatlah yang memiliki wewenang untuk mengesahkan hakim pengganti itu.
Namun, yang terjadi sebaliknya. Senat yang dikuasai Partai Republik justru yang mendesak agar Trump segera mengusulkan pengganti. Padahal, banyak anggota senat dari Partai Republik pun juga berposisi lame duck. Dengan pertimbangan politik bahwa proses nominasi dan pengesahan hakim agung baru yang konservatif itu bisa memobilisasi dukungan suara pemilih konservatif, Senat dan presiden menyegerakan pengisian kursi kosong itu.
Kolusi itu begitu terang-benderang. Selain kecepatan yang tak lazim, proses pengisian kursi hakim agung itu mengabaikan pula prinsip meritokrasi yang diagungkan di Amerika. Dalam dengar pendapat, salah satu senator Partai Republik, Ted Cruz, berpanjang-lebar menanyakan hobi musik sang calon hakim agung Amy Barrett—pertanyaan yang sama sekali tidak memiliki relevansi dengan uji kualitas seorang calon hakim agung.
ADVERTISEMENT
Menambah keburukan, Mahkamah Agung sebagai cabang yudikatif terkesan berkolusi dengan menggadaikan independensinya dalam membuat keputusan untuk kasus Wisconsin.
Di tengah pandemi, Gubernur Wisconsin meminta penundaan pemilu lokal guna mencegah penyebaran COVID-19. Tetapi permintaan itu ditolak parlemen lokal yang dikuasai Partai Republik. Alasan politik mendasari penolakan itu: Para politisi Partai Republik akan mendapat keuntungan justru jika partisipasi pemilih di pemilu menurun.
Mahkamah Agung hampir tak bersuara dalam kasus itu. Ketika akhirnya membuat keputusan, isinya memihak keinginan parlemen lokal yang berbias ke kepentingan Partai Republik. Keputusan Mahkamah memaksa pemilih Wisconsin mengambil risiko penularan dengan datang ke bilik suara atau melepaskan hak suaranya. Dengan begitu, Mahkamah Agung malah menghambat hak konstitusional warga negara untuk menggunakan hak suaranya—yang seharusnya dijaga Mahkamah Agung.
ADVERTISEMENT
Contoh kolusi, melumernya batas pemisahan kekuasaan, dan macetnya check and balance bisa kita perpanjang. Intinya sama, demokrasi Amerika sedang mengalami erosi kualitas yang luar biasa yang membuatnya tidak layak menjadi benchmark demokrasi.
Karena itu, pemilu serentak di Amerika besok memiliki arti penting hanya jika pemilu itu membuka kemungkinan terjadinya restorasi demokrasi—yakni pemulihan separation of power dan check and balance. Kurang dari itu, pemilu hanya akan berupa peristiwa hiruk-pikuk tanpa makna. Tapi melalui perubahan seperti apa yang bisa dibawa pemilu?
Produk pemilu serentak besok bisa menghasilkan dua kemungkinan: A unified government atau a divided government. Unified government muncul jika presiden dan Kongres dikuasai oleh partai yang sama. Sedangkan divided government muncul saat kedua cabang pemerintahan tersebut dikuasai oleh partai yang berbeda: Presiden berasal dari Partai Republik sementara mayoritas Kongres dikuasai oleh Partai Demokrat—atau sebaliknya.
ADVERTISEMENT
Kebajikan unified government, ia bisa menghasilkan pemerintahan efektif tapi membuka kemungkinan tirani mayoritas. Sebaliknya, kehadiran divided government akan mengurangi efektivitas pemerintahan tetapi mendorong terjadinya proses check and balance.
Jika melihat data mutakhir berbagai polling dalam seminggu terakhir, pemilu besok tampaknya akan menghasilkan a fully united government yang dikuasai Partai Demokrat. Biden diramalkan akan memenangi pemilu presiden dan Partai Demokrat akan menguasai Kongres—House of Representative dan Senat sekaligus.
Pertanyaannya: Katakanlah prediksi itu benar, lantas seberapa besar peluang restorasi demokrasi akan terjadi?
Kasus penggantian hakim di Mahkamah Agung yang terjadi bulan lalu memberi kita sebuah panduan untuk menjawab pertanyaan itu. Jika a partially unified government yang menampilkan seorang presiden dan mayoritas senat yang sama-sama berasal dari Partai Republik berakhir dengan sebuah kolusi, maka a fully unified government yang dikuasai Partai Demokrat bisa juga berujung pada kolusi pula.
ADVERTISEMENT
Dalam perbandingan, memang, Joe Biden lebih memiliki komitmen untuk bersetia dengan norma tak tertulis tentang kepatutan politik ketimbang Donald Trump. Perbandingan yang sama juga berlaku pada para politisi Partai Demokrat dan politisi Partai Republik.
Namun, restorasi demokrasi Amerika memerlukan lebih dari sekadar pergantian presiden dan perubahan struktur mayoritas-minoritas di Kongres. Pemeliharaan prinsip separation of power dan check and balance memerlukan komitmen para politisi kedua partai untuk menjaganya. Pemilu besok hanya sebatas menjanjikan perubahan distribusi kekuasaan eksekutif dan legislatif, tapi tidak menjamin pemeliharaan komitmen kenegaraan politisi. Bisa jadi, keriuhan pemilu serentak di Amerika akhirnya hanya berfungsi mengganti elite tapi tak merestorasi demokrasi.