Arab Saudi dan Kecerdasan Buatan

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
Konten dari Pengguna
2 April 2024 8:13 WIB
·
waktu baca 5 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shutterstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shutterstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Arab Saudi ingin bergabung dalam perlombaan kecerdasan buatan (AI), ini bermakna satu hal yang pasti, investasi gila-gilaan. Bisa Anda tebak berapa banyak uang yang Kerajaan Arab Saudi akan gelontorkan? US$40 miliar untuk menjadikan negara ini sebagai pusat kecerdasan buatan.
ADVERTISEMENT
OpenAI bisa dikatakan sebagai perusahaan AI paling terkenal di planet ini. Valuasinya mencapai $80 miliar. Riyadh ingin menginvestasikan setengah dari uang itu di AI. Tapi sekali lagi, ini adalah Arab Saudi.
Kapan uang menjadi masalah bagi Saudi? Mari kita lihat rencana Saudi. PIF bakal memimpin misi ini. PIF (Public Investment Fund) adalah SWF (sovereign wealth funds) yang dimiliki dan dikendalikan oleh Kerajaan Arab Saudi.
Sebuah laporan menyebutkan bahwa Riyadh tengah dalam pembicaraan dengan pemodal lain. Di antara yang utama adalah Andreessen Horowitz, perusahaan Modal Ventura asal Amerika Serikat. Andreessen Horowitz adalah pendukung kuat kecerdasan buatan.
Salah seorang pendirinya, Marc Andreessen, mengatakan AI bisa menyelamatkan dunia. Jadi Riyadh ingin Marc Andreessen dan Ben Horowitz membuka kantor mereka di Saudi. Diharapkan dana tersebut dapat beroperasi pada paruh kedua tahun ini.
ADVERTISEMENT
Tetapi apakah investor akan tertarik? Apakah para insinyur dan profesional top global akan datang ke Arab Saudi? Gubernur PIF Yasir al-Rumayyan berpikir demikian. Dia percaya Arab Saudi memiliki beberapa keunggulan. Dia menyatakan AI bakal menghabiskan banyak energi dan Arab Saudi adalah pemimpin global dalam hal energi bahan bakar fosil dan energi terbarukan.
Dia lebih lanjut mengatakan bahwa AI membutuhkan banyak daya pemrosesan, ada kalanya ribuan chip bekerja bersamaan. Ini berarti banyak listrik yang dibutuhkan. Pusat data akan membutuhkan 50% lebih banyak daya pada tahun 2027.
Riyadh tentu punya banyak. Arab Saudi adalah produsen bahan bakar fosil terbesar ketiga, ditambah taruhan AI sejalan dengan tujuan jangka panjang pihak kerajaan. Putra Mahkota Arab Saudi Muhammad bin Salman (MBS) menyebutnya Vision 2030.
ADVERTISEMENT
Targetnya adalah untuk melakukan diversifikasi dari minyak dan ke fokus pada industri lain, seperti pariwisata dan teknologi. Jadi di atas kertas, Arab Saudi memiliki semua yang dibutuhkan; uang, energi, dan beberapa fleksibilitas regulasi, ditambah melimpahnya warga muda. Tapi bisakah ini semua menarik talenta terbaik global?
Arab Saudi adalah masyarakat tertutup. Karenanya upaya untuk membuat orang datang dan bekerja di sana akan sulit. Apakah Riyadh sudah punya perencanaan untuk itu? Jawabannya ada pada kekautan networking. Salah satu perguruan tinggi top kerajaan adalah Universitas Sains dan Teknologi Raja Abdullah (King Abdullah University of Science and Technology).
Kampus ini dipimpin oleh Dr Tony F Chan. Chan sebagian besar telah bekerja di pelbagai perguruan tinggi Barat. Dia pernah mengajar di Yale dan UCLA. Sebelumnya dia belajar di Caltech dan Stanford. Ide di balik ini adalah menyebarkan berita dengan menggunakan nama-nama besar guna menarik talenta terbaik.
ADVERTISEMENT
Tidak hanya Arab Saudi. Uni Emirat Arab (UEA) juga berinvestasi dalam AI. Pada tahun 2020, Abu Dhabi membuka universitas pertama di dunia yang didedikasikan untuk kecerdasan buatan. Sekarang UEA memiliki menteri khusus untuk kecerdasan buatan. Semua ini mendorong pertumbuhan industri di Asia Barat.
Tentu ini menjadi kabar baik untuk kawasan Timur Tengah, khususnya Saudi dan UEA. Ini berarti bakal lebih banyak lapangan kerja dan berkurangnya ketergantungan kepada minyak bumi. Bagi negara-negara seperti India, ini juga menjadi panggilan untuk waspada dan dorongan untuk berinvestasi lebih banyak.
Bahkan, beberapa hari lalu India meluncurkan misi AI baru. India berencana akan menghabiskan 10.000 Crore rupee selama 5 tahun, atau $1,2 miliar selama 5 tahun ke depan. Sementara Arab Saudi akan menghabiskan $40 miliar. Ada kesenjangan di sini.
ADVERTISEMENT
India tidak bisa bersaing dengan negara-negara Teluk dalam hal pembiayaan. India harus mencari jalan lain, seperti talenta, kekuatan pasar, atau kemitraan dengan pelaku AI yang sudah ada.
Salah satu peluang yang bisa dikejar adalah keterbukaan. Pemerintah India tengah berupaya untuk membeli 10.000 GPU. Apa itu GPU? Ini adalah singkatan dari Graphics Processing Unit (Unit Pemrosesan Grafis). GPU ini adalah blok bangunan dari kecerdasan buatan. Rencana awalnya adalah membuat GPU ini tersedia untuk perusahaan AI India. Tapi dari mana GPU bisa duperoleh? Kemungkinannya adalah Nvidia.
Pendirinya Jensen Huang mengatakan Nvidia ingin terlibat, "Jika India membeli GPU untuk AI, Nvidia membangun GPU AI yang sangat bagus. Ketika Anda kembali, tolong sebarkan berita ini. Jika seseorang ingin membeli GPU, saya terbuka untuk bisnis dan kami sangat tertarik dengannya."
ADVERTISEMENT
Nvidia siap bermain dan perusahaan ini adalah yang terdepan saat ini. Nvidia menguasai 80% pasar chip AI. Semua membeli darinya; Amazon, Google, Meta, Microsoft OpenAI, Tesla. Semua perusahaan ini membeli chip Nvidia. Beberapa waktu lalu Nvidia meluncurkan produk baru, chip Blackwell b200. Hopper adalah chip lama Nvidia, Blackwell adalah yang baru. Performanya luar biasa.
Blackwell 30 kali lebih cepat dari Hopper. Ia memiliki 208 miliar transistor. Hopper hanya punya 8o miliar. Transistor adalah bagian dari setiap chip. Anggap saja seperti sakelar. Transistor dapat mematikan dan mengontrol aliran listrik melalui chip. Lebih banyak transistor berarti lebih banyak daya.
Para ahli mengatakan Blackwell akan membantu Nvidia mengkonsolidasikan posisi teratasnya dan banyak perusahaan India juga akan membelinya. Mereka diperkirakan akan mendapatkan chip ini pada bulan Oktober.
ADVERTISEMENT
Intinya di sini cukup sederhana. Perusahaan Amerika memiliki keunggulan dan negara-negara Teluk memiliki dana tak terbatas. Jadi India bakal mudah tertinggal dalam perlombaan AI ini. Karenanya India perlu mengambil sejumlah keputusan radikal untuk mengejar ketinggalan dengan cepat.