Konten dari Pengguna

Krisis Populasi Global

Donny Syofyan
Dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Andalas
27 Mei 2024 8:05 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Syofyan tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Sumber Foto: Shuttertstock
zoom-in-whitePerbesar
Sumber Foto: Shuttertstock
ADVERTISEMENT
sosmed-whatsapp-green
kumparan Hadir di WhatsApp Channel
Follow
Pernahkah Anda bermain Jenga? Jika belum, caranya dengan membuat menara dari balok lalu pemain bergiliran mengambil satu balok pada satu waktu. Hal ini secara bertahap membuat menara tidak stabil. Proses ini sangat lambat tetapi hasilnya jelas dan cepat, menara runtuh.
ADVERTISEMENT
Model ini adalah potret krisis populasi. Para ilmuwan menyebutnya sebagai bencana yang sedang terjadi. Puluhan tahun silam krisis populasi tak lebih dari kekuatan yang bergerak lambat, tetapi sekarang tidak demikian lagi. Krisis telah berkembang.
Sekarang penurunan angka kelahiran (baby bust) terjadi dengan cepat dan luas. Ia merugikan hampir setiap negara. Para pakar sudah mewanti-wanti terjadinya penurunan populasi global. Inilah mengapa tingkat kesuburan atau jumlah kelahiran per wanita menurun di sebagian besar negara.
Pada tahun 2017 tingkat kesuburan global berada di angka 2.5, sementara pada tahun 2021 turun menjadi 2.3. Sekarang diperkirakan bertengger pada angka 2.1.
Tingkat ideal sebetulnya adalah 2.2. Tingkat ideal ini disebut replacement rate—tingkat kelahiran per wanita untuk menjaga populasi tetap stabil.
ADVERTISEMENT
Tingkat kesuburan nyaris menurun untuk kebanyakan wanita di semua tingkat pendidikan dan pendapatan. Di negara-negara berpenghasilan tinggi, situasinya lebih parah selama puluhan tahun. Kesuburan turun di bawah replacement rate pada 1970-an.
Namun hal yang sama juga berlaku di negara-negara berkembang. Perlu dicatat bahwa penurunan tersebut tidak selamanya menunjukkan krisis karena terjadi secara diam-diam.
Ambil contoh India. Tahun lalu India melampaui China sebagai negara terpadat di dunia, namun tingkat kesuburan di India masih di bawah replacement rate. Atau perhatikan juga kawasan Afrika Sub-Sahara, yang mencakup negara-negara seperti Zambia, Nigeria, dan Somalia.
Dulu negara-negara ini resisten terhadap krisis kesuburan. Diperkirakan bahwa pada tahun 2100, pada akhir abad ini, wilayah tersebut akan menyumbang satu dari setiap dua anak yang lahir di dunia.
ADVERTISEMENT
Namun hal itu juga bakal berubah. Wanita semakin banyak menggunakan kontrasepsi. Ini adalah tren global. Demografer mengatakan pada akhir abad ini negara-negara di dunia akan mengalami penurunan populasi yang dramatis.
Mereka akan membayar harga ekonomi yang mahal untuk itu. Lebih sedikit orang berarti lebih sedikit barang dan jasa. Penurunan populasi menyumbang atas lambatnya pertumbuhan ekonomi.
Lebih sedikit orang juga berarti konsumsi lebih sedikit. Ini berarti krisis populasi di satu negara dapat memicu krisis ekonomi di negara lain. China adalah contoh nyata dari hal ini. Populasinya menurun dengan cepat tahun lalu.
Jumlah penduduk di China turun 2 juta dan ingat China adalah ekonomi terbesar kedua di dunia. China memainkan peran kunci dalam mendorong pertumbuhan ekonomi global.
ADVERTISEMENT
Jika baby bust memburuk, China bakal mengalami kekurangan pekerja pabrik. Ini akan semakin memperlambat pertumbuhan ekonomi China dan meningkatkan biaya bagi konsumen di luar China. Ini menjadi masalah bagi negara-negara yang sangat bergantung pada barang-barang China.
Plus konsumen China akan lebih sedikit membelanjakan uang. Ini akan menjadi masalah bagi banyak brand global. Ini merupakan pelajaran bagi sebagian besar negara adidaya seperti AS dan Rusia yang menghadapi krisis populasi serupa.
Banyak negara yang mulai khawatir. Menjadi pertanyaan, apa langkah-langkah yang ditelah dijalankan oleh banyak negara? Berbagai pemerintah tengah menggelontorkan uang untuk mengatasi masalah ini. Negara membayar orang tua baru, memberikan insentif pajak dan cuti orang tua.
Jujur ini semua berbiaya sangat mahal, namun nyatanya belum menunjukkan tanda-tanda yang positif atau membahagiakan. Mengapa? Karena pemerintah tidak mendengarkan suara rakyat, terutama kaum perempuan.
ADVERTISEMENT
Menurut penelitian, wanita menunda kelahiran anak karena sejumlah alasan; undang-undang aborsi, pengangguran, ketersediaan perawatan kesehatan, biaya perumahan, biaya penitipan anak, dan beban pekerjaan rumah tangga.
Jadi mereka tidak membutuhkan bonus bayi. Ini mungkin dapat membantu beberapa ibu baru, tetapi tidak akan menyelesaikan masalah mereka.
Perempuan tidak dapat membuat keputusan sendiri tentang pernikahan, pekerjaan, dan reproduksi mereka. Namun tanggung jawab membesarkan anak dan mengurus keluarga sering kali dibebankan kepada mereka.
Banyak dari mereka memiliki pekerjaan penuh waktu. Tidak heran jika wanita ingin keluar dari beban dan ketidakadilan ini. Jelas pemerintah mengabaikan penelitian dasar.
Negara telah mengabaikan langkah-langkah strategis yang dapat meningkatkan angka kelahiran. Secara tidak langsung, negara telah mengabaikan perempuan.
ADVERTISEMENT
Sebagai satu-satunya pihak yang dapat memecahkan krisis ini, banyak negara justru memanifestasikan bom waktu ekonomi. Apa yang gagal dipahami oleh banyak pemerintah atau negara adalah bahwa ini bukan lagi krisis populasi, melainkan krisis ketidaktahuan, kebodohan dan pengabaian.