Menyoal Kebijakan Survei Lingkungan Belajar Kemendikbud

Donny Widhyanto
Analis Kebijakan Madya Setwapres RI
Konten dari Pengguna
29 Juli 2021 11:13 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
2
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Donny Widhyanto tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi Pelajar. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi Pelajar. Foto: Nugroho Sejati/kumparan
ADVERTISEMENT
Tahun ini, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) secara resmi mengganti ujian nasional dengan Asesmen Nasional. Terdapat tiga komponen utama yang menjadi bagian penting dalam pelaksanaan Asesmen Nasional ini, yaitu asesmen kompetensi minimum, survei karakter, dan survei lingkungan belajar. Ke semua komponen mempunyai peranan berbeda, namun saling terkait. Dalam pelaksanaannya, terdapat beberapa poin Asesmen Nasional yang menunjukkan tujuan utama dalam sekolah, di antaranya adalah pengembangan karakter dan kompetensi siswa.
ADVERTISEMENT
Survei yang diinisiasi oleh Kemendikbud ini dilakukan terhadap kepala sekolah dan guru melalui situs surveilingkunganbelajar.kemdikbud.go.id. Survei Lingkungan belajar adalah bagian dari Asesmen Nasional yang dimaksudkan untuk masukan awal dan mengetahui pendidikan karakter bagi sekolah dan perangkatnya, menumbuhkan iklim yang positif dan kondusif berdasarkan nilai-nilai Pancasila, terutama sila pertama yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa.
Namun banyak pihak menilai, survei itu dinilai sangat tendensius mengingat banyak pertanyaan yang dirasakan mengganjal dan tidak relevan. Anggota Fraksi PKS DPR RI, Fahmy Alaydroes mengatakan, kebijakan survei lingkungan belajar Kemendikbud menuai kegaduhan. Menurutnya, sebagian konten survei mendekati isu sensitif ke masalah agama tertentu dengan bungkus radikalisme dan intoleransi. Menurutnya, Kemendikbud begitu gegap gempita memerangi radikalisme dan intoleransi di sekolah-sekolah. Bahkan disebut sebagai salah satu dosa besar pendidikan.
ADVERTISEMENT
Sementara itu, PP Muhammadiyah menyatakan bahwa sebagian konten survei menyerempet isu sensitif dan tendensius ke masalah agama tertentu dengan bungkus radikalisme dan intoleransi. Yang menjadi persoalan adalah survei itu disusun dengan gegabah dan tidak tepat sasaran, khususnya dalam komponen indikator sikap dan radikalisme atau intoleransi.
Sebagai contoh seorang siswa atau guru dianggap radikal bila memberikan pernyataan setuju terhadap sekolah yang mewajibkan siswa-siswanya mengenakan pakaian sesuai aturan agamanya. Atau, hal lain adalah dianggap tidak toleran bila bersikap bahwa pimpinan politik (Presiden, Gubernur atau Bupati) harus dari yang beragama mayoritas. Bukannya menjadikan pendidikan bagi siswa didik atau perangkat pendidikan yang bercirikan pancasila, namun dinilai cenderung “menyerang” agama mayoritas.
Pada kesempatan sebelumnya, Mendikbud Nadiem Makarim di webinar Cerdas Berkarakter Kemdikbud RI dengan tajuk Puasa, Kemanusiaan, dan Toleransi, Sabtu (8/5/2021) menyatakan "Kami bertekad untuk menghapuskan semua bentuk tiga dosa besar di dunia pendidikan Indonesia, yakni intoleransi, perundungan, dan kekerasan seksual. Pendidikan haruslah bebas dari intoleransi." Menurutnya, kreativitas, nalar kritis, dan inovasi akan berkembang dengan pendidikan yang merdeka tanpa tekanan. Maraknya kasus intoleransi yang terjadi, karena belum ada kebijakan yang mengarah langsung pada pencegahan maupun penanganan praktik intoleransi.
ADVERTISEMENT
Oleh karena yang disasar adalah pelajar maka perlulah kiranya merenungi tentang kiprah para pelajar ini yang masuk sebagai kaum muda. Sebagai penggerak masa depan, kaum muda merupakan masa depan sebuah bangsa yang ingin maju. Kaum muda tidak bisa begitu saja dituduh sebagai kelompok yang mengacaukan, tetapi adalah kelompok masyarakat yang bergerak dan terus mencari. Mereka kaum muda tidak bisa ditempatkan sebagai entitas yang selalu dalam kesesatan pikir dan kesesatan tindakan atas nama agama atau Tuhan. Tidaklah adil dan proporsional jika menjadikan pemuda (kaum muda) sebagai tertuduh, alih-alih melakukan tindak radikal dan intoleransi.
Idealnya, pendidikan kita mengajarkan realitas sehingga anak bangsa akan paham tentang realitas, bukan hidup di dunia abstrak dan maya semata. Pendidikan harus mengajarkan realitas keberagaman, pengakuan sosial atas keberagaman, serta mengajarkan misi damai membangun bangsa dan manusia bermartabat dalam dimensi yang luas. Kaum muda tidak hanya sebagai objek, mereka adalah subjek yang memiliki dunianya sendiri. Mereka perlu mendapatkan perhatian sebagaimana dunianya. Tidak bijak menyodorkan kuesioner kepada pelajar dengan pilihan yang seolah mengindoktrinasi akan suatu paham.
ADVERTISEMENT
Kaum muda dan bahkan perangkat pendidikan perlu mendapatkan pemahaman kondisi sosial, ekonomi, politik dan historis yang memadai, sehingga memiliki gambar yang jelas tentang sebuah fenomena sebuah negara. Tidaklah bisa disesatkan begitu saja. Tidak bisa pula diarahkan harus berbuat ini atau berbuat itu. Mungkin lebih baik untuk diberikan kreativitas dan inisiatif. Berilah mereka ruang untuk berekspresi dan berimajinasi membangun masa depannya asalkan positif dan sesuai dengan cita-cita sosialnya.
Dapat kita saksikan sekarang bahwa kaum muda adalah generasi milenial yang sangat aktif dalam dunia maya. Bukan karena kaum muda itu bodoh ataupun kurang mampu menelaah persoalan-persoalan, tetapi itulah kaum muda sekarang yang disebut sebagai generasi milenial. Generasi yang sangat intensif dengan persoalan media sosial. Berbeda dengan dunia “kaum tua” yang telah lahir jauh sebelum mereka.
ADVERTISEMENT
Berkenaan dengan persoalan radikalisme dan intoleransi, Setara Institute menunjukkan, jenis pelanggaran yang paling banyak terjadi pada 2020 atas kebebasan beragama dan berkeyakinan (KBB) yakni tindakan intoleransi. Direktur Riset Setara Institute, Halili Hasan, menyebutkan tindakan intoleransi banyak dilakukan oleh aktor non-negara, seperti kelompok warga individu, ormas keagamaan, hingga Majelis Ulama Indonesia (MUI).
Sejumlah tindakan yang kerap terjadi, antara lain menolak ibadah agama tertentu, tidak mau berteman dengan orang yang berbeda agama dan melarang perayaan tertentu, karena dianggap bertentangan dengan doktrin agama. Setara Institute mencatat 32 kasus terkait pelaporan penodaan agama, 17 kasus penolakan pendirian tempat ibadah, dan 8 kasus pelarangan aktivitas ibadah. Kemudian, 6 kasus perusakan tempat ibadah, 5 kasus penolakan kegiatan dan 5 kasus kekerasan.
ADVERTISEMENT
Sebuah survei yang dilakukan oleh CSIS menyatakan bahwa kaum muda adalah penikmat media sosial yang sangat tinggi (87 %) dari 5000 pelajar dan mahasiswa angkatan baru menggunakan media sosial tiap harinya. Sementara itu, The Wahid Foundation melaporkan kaum muda sangat intensif dengan media sosial seperti Instagram, twitter, facebook, dan linkedin sebanyak 77 %. Kaum muda belajar agama dari media sosial bukan dari ustaz-ustazah yang berceramah secara langsung. Tidaklah bermasalah ketika kaum muda itu aktif dalam media sosial. Menjadi bermasalah ketika media sosial didominasi dengan adanya pemberitaan kebencian kepada pihak lainnya.
Tugas ini perlu disematkan kepada kaum elite agama melalui dakwah-dakwah di media sosial untuk memberikan pemahaman keagamaan yang inklusif. Sehingga kaum muda mampu memiliki pandangan dan sikap toleran, menghargai perbedaan, menghormati keyakinan keagamaan yang berbeda dengan keyakinan yang dimilikinya.
ADVERTISEMENT
Perlu dikedepankan kearifan dalam mendefinisikan istilah “radikalisme” dan “intoleransi’, sehingga tidak semudah itu menjadikan sebagai instrumen yang kontra produktif. Kalaupun ingin menyaring sikap radikalisme dan intoleran, harus terlebih dahulu mendengar masukan dari berbagai ahli, baik itu ahli agama maupun pendidik terlebih dahulu.
Penafsiran terminologi radikal atau intoleran tidak bisa seenaknya berdasarkan perspektif pemerintah semata, dan hanya berdasarkan pikiran-pikiran sekuler, paham komunisme dan liberalisme, karena negara kita adalah negara yang berdasarkan Pancasila dan UUD 1945 yang sangat luhur, mulia dan penuh dengan pesan-pesan moral dan spiritual. Survei yang dilakukan secara diam-diam dan tertutup, dikhawatirkan akan memunculkan kegelisahan di banyak kalangan. Terlebih, dasar hukum kebijakan survei masih bermasalah. Di tengah suasana pandemi yang sangat membebani negara dan bangsa, sebaiknya kebijakan Mendikbud-Ristek lebih bijak dan lebih produktif.
ADVERTISEMENT