Proyek Kereta Cepat: Demi Gengsi atau Prestasi?

Dori Asra Wijaya
Penulis - Story Teller - Knowledge Management Specialist. Creative Department Qurrative.id
Konten dari Pengguna
13 Oktober 2021 19:08 WIB
·
waktu baca 4 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dori Asra Wijaya tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
https://pixabay.com/id/photos/kereta-matahari-terbenam-trek-821500/?download
zoom-in-whitePerbesar
https://pixabay.com/id/photos/kereta-matahari-terbenam-trek-821500/?download
ADVERTISEMENT
Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung belakangan kembali menjadi perbincangan dan sorotan publik. Sebelumnya proyek ini sempat beberapa kali dihentikan pekerjaannya sementara waktu. Presiden Jokowi akhirnya mengambil langkah yang dianggap kontroversial dengan meneken Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 93 Tahun 2021. Poin utamanya adalah pembiayaan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung kini akan dibiayai oleh APBN.
ADVERTISEMENT
Ini adalah kali kedua keputusan inkonsistensi Presiden Jokowi dalam proyek Kereta Cepat. Awalnya Jokowi membuat Perpres Nomor 107 tahun 2015 tentang Percepatan Penyelenggaraan Prasarana dan Sarana Kereta Api Cepat antara Jakarta dan Bandung. Peraturan itu menegaskan bahwa Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung sepenuhnya akan dibiayai swasta dan pemerintah tidak akan memberikan jaminan dalam bentuk apa pun.
Hanya berselang beberapa bulan saja, Presiden Jokowi kemudian mengeluarkan Peraturan Presiden Nomor 3 Tahun 2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Peraturan itu dianggap sebagai bentuk langkah inkonsistensi Presiden Jokowi. Poinnya justru membuka peluang Pemerintah memberi jaminan kepada proyek tersebut karena dianggap sebagai proyek strategis nasional dan karena itu bisa mendapatkan jaminan pemerintah dan berpeluang dibiayai oleh APBN.
ADVERTISEMENT
Padahal sejak awal banyak pihak yang menganggap proyek ini terlalu dipaksakan dan diwanti-wanti agar tidak dibiayai oleh APBN. Mantan Menteri Perhubungan Ignasius Jonan salah satunya. Ia mengusulkan agar proyek ini dibatalkan dan diganti dengan kereta medium yang lebih rasional untuk Indonesia dan bisa dibiayai APBN. Ia juga menolak sangat keras jika proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung dibiayai oleh APBN karena akan menyerap anggaran yang sangat besar.
Berkaca dari beberapa proyek Kereta Cepat di negara lain seperti Jepang, Cina, dan Taiwan, proyek Kereta Cepat adalah proyek dengan risiko kegagalan yang sangat besar. Dari perspektif bisnis pun, proyek ini adalah proyek yang balik modalnya sangat lama dan berisiko untuk menimbulkan kerugian besar.
Proyek Kereta Cepat Taiwan misalnya yang terlihat sama dengan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung. Pihak swasta awalnya berjanji mendanai sendiri proyek bernilai Rp 243 triliun itu. Pemerintah Taiwan hanya terlibat dalam studi kelayakan. Menghubungkan Taipei di utara dan Kaohsiung di selatan, Kereta Cepat itu terwujud pada 2007.
ADVERTISEMENT
Hanya dua tahun setelah kereta beroperasi, pemerintah Taiwan terpaksa memberikan bantuan dana agar kereta itu tetap beroperasi. Bukannya menyelesaikan masalah, langkah itu malah menimbulkan masalah yang lebih besar. Konsorsium proyek kembali mengajukan restrukturisasi utang, termasuk mengubah durasi utang dari 35 menjadi 75 tahun. Langkah itu menimbulkan utang menggunung ditambah jangka waktu utang yang sangat lama.
Kasus kereta cepat di Taiwan mirip-mirip dengan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung yang sedang dibangun di Indonesia. Proyek yang awalnya menjadi tanggung jawab swasta sepenuhnya, akhirnya harus dibiayai dan dapat bantuan pemerintah dengan dalih Proyek Strategis Nasional. Pemerintah akan mengorbankan APBN yang jumlahnya hampir setara dengan 30 APBD Provinsi di Indonesia untuk satu tahun anggaran.
Melihat langkah inkonsisten pemerintah dan besarnya anggaran yang akan dihabiskan dalam proyek itu serta masalah-masalah yang terjadi selama pengerjaannya, pemerintah harusnya serius untuk mengkaji ulang dan Presiden Jokowi harus mencabut kembali Peraturan Presiden Nomor 93 Tahun 2021. Bahkan jika memungkinkan untuk menghentikan atau membatalkan proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
ADVERTISEMENT
Negara tetangga Malaysia misalnya. Setelah mengevaluasi tentang proyek Kereta Cepat yang menghubungkan Malaysia dengan Singapura, Malaysia memutuskan untuk menghentikan pembangunan proyek tersebut. Walaupun Malaysia harus menanggung rugi dan membayar kompensasi sebesar Rp 1,1 Triliun ke Singapura.
Membangun moda transportasi massal yang modern, cepat dan dengan niat mengurai kemacetan untuk masyarakat bukan berarti tak penting. Itupun sebenarnya juga cita-cita mulia dari pemerintah. Tapi menghitung risiko kerugian, hitungan bisnis, dan dampak ekonomi nasional juga jauh lebih penting. Jangan sampai proyek ini terkesan hanya proyek latah dan gengsi-gengsian pemerintah lewat Mega Proyek Kereta Cepat Jakarta-Bandung.
Pemerintah harusnya lebih berhati-hati dan tidak terburu-buru mengambil keputusan untuk ikut membiayai proyek tersebut dengan APBN. Pemerintah juga harus melakukan kajian serius terhadap proyek tersebut agar pemerintah mampu memberikan penjelasan yang rasional kepada publik bahwa proyek ini memang harus diprioritaskan dan jaminan bahwa proyek ini memang menguntungkan secara bisnis.
ADVERTISEMENT
Pandemi COVID-19 yang belum jelas kapan akan berakhir. Kondisi dan stabilitas ekonomi nasional yang tidak menentu ditambah utang negara yang terus bertambah selama pandemi, penting sepertinya bagi pemerintah untuk berhemat efisiensi anggaran dan mempertimbangkan serius untuk realisasi anggaran yang angkanya sangat besar agar kerugian dan kegagalan di Taiwan dalam proyek kereta cepat tidak dialami Indonesia.
Dori Asra Wijaya
Wakil Sekretaris Jenderal Bidang Kemitraan Strategis BUMN dan Industri Nasional
PB HMI 2021-2023