news-card-video
Jakarta
imsak
subuh
terbit
dzuhur
ashar
maghrib
isya

Peran Komunikasi dalam Hukum Kesehatan

Enrico A Rinaldi
Dokter dan Doktor Ilmu Komunikasi dan pemerhati masalah hukum kesehatan serta praktisi sumber daya manusia
Konten dari Pengguna
24 Juli 2020 5:19 WIB
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Enrico A Rinaldi tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Oleh dr.Enrico A. Rinaldi,MARS.,MH.,CHRM.      Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
zoom-in-whitePerbesar
Oleh dr.Enrico A. Rinaldi,MARS.,MH.,CHRM. Mahasiswa Doktoral Ilmu Komunikasi Universitas Sahid
ADVERTISEMENT
Kesehatan adalah salah satu dari kebutuhan pokok manusia selain sandang, pangan dan papan, dalam arti hidup dalam keadaan sehat sudah tidak dapat ditawar lagi sebagai kebutuhan yang mendasar. Bukan hanya sehat jasmani, juga sehat rohani (jiwa), bahkan kriteria sehat manusia telah bertambah menjadi juga sehat sosial dan sehat ekonomi.
ADVERTISEMENT
Pemeliharaan kesehatan dan pelayanan kesehatan adalah dua aspek dari upaya kesehatan, istilah pemeliharaan kesehatan dipakai untuk kegiatan upaya kesehatan masyarakat dan istilah pelayanan kesehatan dipakai untuk upaya kesehatan individu (dikenal sebagai upaya kedokteran atau upaya medik).
Pelayanan kesehatan merupakan hubungan segitiga antara tenaga kesehatan, pasien dan sarana kesehatan dan dari hubungan segitiga ini terbentuk hubungan medik dan hubungan hukum. Hubungan medik dilaksanakan upaya kesehatan preventif, kuratif, promotif dan rehabilitatif. Sedangkan hubungan hukum yang terbentuk antara ketiga komponen itu adalah hubungan antara subyek hukum dengan subyek hukum.
Pasien dan dokter adalah subyek hukum pribadi dan rumah sakit (RS) adalah subyek hukum badan hukum. Hubungan hukum yang terbentuk diberi nama perikatan (verbintenis), dan hukum melalui Pasal 1233 KUHPerdata menentukan ada dua macam perikatan yang terbentuk yaitu perikatan yang lahir baik karena perjanjian dan baik karena UU.
ADVERTISEMENT
Kemudian di dalam setiap perikatan selalu ditentukan tentang prestasi tertentu, hukum menentukan melalui Pasal 1234 KUHP bahwa terdapat tiga macam prestasi:
“Tiap-tiap perikatan adalah untuk memberikan sesuatu, berbuat sesuatu dan tidak berbuat sesuatu.”
Hubungan hukum antara dokter, pasien dan RS berbentuk perikatan untuk berbuat sesuatu, yang dikenal sebagai jasa pelayanan kesehatan. Pasien adalah pihak penerima jasa pelayanan kesehatan dan dokter & RS adalah pihak-pihak pemberi jasa pelayanan kesehatan, yaitu untuk berbuat sesuatu yakni mengupayakan kesembuhan pasien.
Hubungan hukum hanya menentukan tiga macam prestasi, tidak memberikan tentang bentuk prestasi yang diberikan, namun terdapat doktrin ilmu hukum yang mengatakan ada dua macam perikatan dilihat dari prestasi yang diberikan yaitu yang dikenal sebagai perikatan hasil dan perikatan ikhtiar. Perikatan hasil meletakkan kewajiban kepada pihak yang satu untuk membuat hasil tertentu & pihak yang lain menerima hasil tertentu. Sedangkan perikatan ikhtiar meletakkan kewajiban pihak yang satu untuk membuat ikhtiar (upaya semaksimal mungkin) dan pihak yang lain menerima ikhtiar.
ADVERTISEMENT
Prestasi perikatan hasil dikatakan dapat diukur, sedangkan prestasi dari perikatan ikhtiar dikatakan sulit untuk diukur. Sehingga untuk mengukur prestasi dokter yang sulit diukur itu, memerlukan ukuran yang dikenal sebagai standar profesi kedokteran.
Sebagai sebuah profesi yang disebut "Officium Nobile" atau profesi terhormat, semua dokter akan dituntut dengan standar kemampuan yang sudah tinggi dan tentunya Zero Tollerance.
Jelas bahwa hampir kebanyakan jasa pelayanan kesehatan berbentuk perikatan ikhtiar, yakni adanya kewajiban dari pemberi jasa pelayanan kesehatan untuk membuat upaya semaksimal mungkin mengobati pasien, dan tidak berdasarkan pada perikatan hasil, kecuali untuk beberapa pelayanan kesehatan, seperti pelayanan bedah kosmetik atau pelayanan gigi dalam mencabut gigi pasien.
Pelayanan kesehatan, tidak baik akan berakibat merugikan kepentingan masyarakat yang memerlukan pelayanan medis. Terlebih apabila rumah sakit tidak memberikan pelayanan yang layak sesuai prosedur yang diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, yang dapat menyebabkan pasien menderita kerugian sehingga mengakibatkan menderita kecacatan ataupun kematian maka hal tersebut merupakan tindak pidana dan dapat dipidanakan sesuai hukum yang berlaku di Indonesia.
ADVERTISEMENT
Pelayanan yang buruk pada suatu Rumah Sakit dapat mengakibatkan timbulnya sengketa. Sengketa medis terjadi karena ada suatu masalah yang dirasa menimbulkan rasa ketidakpuasan dari salah satu pihak yang dianggap merugikan pihak lainnya dan yang sering adalah rasa tidak puas dari seseorang pasien yang mendapatkan pelayanan, pengobatan, atau perawatan dari dokter ataupun rumah sakit.
Rumah sakit merupakan salah satu pelayanan promotif, kuratif dan preventif. Seiring dengan perkembangan hasil pembangunan hasil pembangunan diberbagai bidang ilmu pengetahuan dan teknologi maka meningkat pula taraf kesejahteraan dan pengetahuan masyarakat dalam segala bidang, termasuk bidang kesehatan.
Hal ini dapat dilihat dengan berubahnya cara pandang masyarakat tentang kebutuhan pelayanan kesehatan yang diterima seperti mutu, sarana dan prasarana kesehatan. Rumah sakit dan unsur-unsur yang terdapat didalamnya harus lebih sensitif agar dapat mengantisipasi terjadinya hal-hal yang tidak diinginkan, tentunya dengan melakukan pembenahan pelayanan yang diberikan kepada masyarakat dan mematuhi aturan-aturan yang sudah ditetapkan sesuai hukum yang berlaku dalam konteks pelayanan kesehatan, sehingga bila terjadi konflik antara pasien dan rumah sakit maka sudah ada aturan yang menjadi standart dalam penyelesaiannya.
ADVERTISEMENT
Menurut Surat Menteri Kesehatan RI Nomor: 983/Menkes/SK/XI/1992, tugas rumah sakit umum adalah melaksanakan upaya kesehatan secara berdaya guna dan berhasil guna dengan mengutamakan upaya penyembuhan dan pemeliharaan yang dilaksanakan secara serasi dan terpadu dengan upaya peningkatan dan pencegahan serta melaksanakan rujukan.
Peraturan perundang-undangan juga mengamanatkan bahwa program akreditasi rumah sakit dengan berbagai alasan memang haruslah dilaksanakan. Hal ini dapat dilihat dari dua Undang-Undang yaitu yang pertama Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dan yang kedua Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit.
Dalam Undang-Undang Nomor 29 tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran dapat dilihat bahwa semua penyedia pelayanan kesehatan yang menyediakan pelayanan profesi kedokteran harus membenahi diri, penyedia pelayanan kesehatan tersebut meliputi Puskesmas , Balai Pengobatan, Praktik Dokter, Rumah Sakit, dan sebagainya.
ADVERTISEMENT
Dari beberapa institusi tersebut, Rumah Sakit merupakan institusi yang memiliki beban yang paling berat mempersiapkan diri dalam menyesuaikan Undang-Undang praktik kedokteran tersebut . Dokter umum, dokter gigi dan dokter spesialis mengerjakan kegiatan profesinya paling banyak di Rumah Sakit oleh karena itu di Rumah Sakitlah terdapat paling banyak kegiatan pembenahan administrasi pelayanan kedokteran.
Rumah Sakit haruslah melaksanakan perubahan dalam rangka menyesuaikan diri terhadap Undang-Undang praktik kedokteran tersebut. Mulai mempersiapkan Prosedur Tetap (Standard Operating Procedure) tiap pelayanan kedokteran, memperbaiki kebijakan persetujuan pelayanan oleh pasien (informed consent) dan segala sesuatu yang diamanatkan oleh Undang-Undang tersebut.
Dalam Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 Tentang Rumah Sakit, Pasal 29 huruf b menyebutkan bahwa Rumah Sakit wajib memberikan pelayanan kesehatan yang aman, bermutu, antidiskriminasi dan efektif dengan mengutamakan kepentingan pasien sesuai dengan standar pelayanan rumah sakit, kemudian pada Pasal 40 ayat (1) disebutkan bahwa dalam upaya peningkatan mutu pelayanan Rumah Sakit wajib dilakukan akreditasi secara berkala minimal 3 (tiga) tahun sekali. Akreditasi rumah sakit penting untuk dilakukan dengan alasan agar mutu/kualitas diintegrasikan dan dibudayakan kedalam sistem pelayanan di Rumah Sakit.
ADVERTISEMENT
Pengertian dari Sengketa Medik adalah sengketa yang terjadi antara pasien atau keluarga pasien dengan tenaga kesehatan atau antara pasien dengan rumah sakit / fasilitas kesehatan. Biasanya yang dipersengketakan adalah hasil atau hasil akhir pelayanan kesehatan dengan tidak memperhatikan atau mengabaikan prosesnya.Sebelum terjadinya sengketa medis, bisanya didahului prakonflik dengan adanya tidak puasan dari yang diharapkan (expected) dan yang terjadi (fact) pada diri seorang pasien ataupun keluarganya sehingga kemudian menimbulkan suatu persoalan yang mengganjal di dalam hati, baik yang dimaknai secara internal ataupun secara eksternal untuk diungkapkan keluar dalam bentuk keluhan (complain), hal inilah yang disebut konflik (conflict) yang akhirnya berujung pada sebuah sengketa.
ADVERTISEMENT
Penyebab Terjadinya Sengketa Antara Dokter/Rumah Sakit dan Pasien adalah jika timbul ketidak puasan pasien terhadap dokter dalam melaksanakan upaya pengobatan atau melaksanakan profesi kedokteran, ketidak puasan tersebut dikarenakan adanya dugaan kesalahan /kelalaian dalam melaksanakan profesi yang menyebabkan kerugian dipihak pasien, hal tersebut terjadi apabila ada anggapan bahwa isi perjanjian terapeutik tidak dipenuhi atau dilanggar oleh dokter.
Dalam praktik kedokteran seringkali penyebab terjadinya sengketa karena beberapa hal, yaitu :
1. Isi informasi (tentang penyakit yang diderita pasien) dan alternatif terapi yang dipilih tidak disampaikan secara lengkap.
2. Kapan informasi itu disampaikan (oleh dokter kepada pasien), apakah pada waktu sebelum terapi yang berupa tindakan medis tertentu itu dilaksanakan? Informasi harus diberikan (oleh dokter kepada pasien), baik diminta atau tidak (oleh pasien) sebelum terapi dilakukan. Lebih-lebih jika informasi itu terkait dengan kemungkinan perluasan terapi.
ADVERTISEMENT
3. Cara penyampaian informasi harus lisan dan lengkap serta diberikan secara jujur dan benar, kecuali bila menurut penilaian dokter penyampaian informasi akan merugikan pasien, demikian pula informasi yang harus diberikan kepada dokter oleh pasien.
4. Yang berhak atas informasi ialah pasien yang bersangkutan, dan keluarga terdekat apabila menurut penilaian dokter informasi yang diberikan akan merugikan pasien, atau bila ada perluasan terapi yang tidak dapat diduga sebelumnya yang harus dilakukan untuk menyelamatkan nyawa pasien.
5. Yang berhak memberikan informasi ialah dokter yang menangani atau dokter lain dengan petunjuk dokter yang menangani.
Dari berbagai penelitian yang dilakukan, ternyata bahwa masalah penyampaian informasi oleh dokter kepada pasien mempengaruhi kualitas pelayanan kesehatan dan pelayanan pengobatan, terutama dari pihak pasien.
ADVERTISEMENT
Hubungan dokter-pasien adalah hubungan antara profesional (dokter) dengan klien (pasien). Untuk membuat hubungan dokter-pasien yang baik adalah dengan menguasai teknik komunikasi yang baik dengan pasien. Penggunaan komunikasi pasien dengan dokter adalah hal yang paling penting yang disebut dengan Art of Medicine. Interaksi profesional antara dokter dan pasien, biasanya dimulai dari sejarah, yang disebut sebagai wawancara medis. Wawancara medis adalah bagian yang paling penting dalam proses diagnosis karena akan membantu kita dalam membentuk gambaran penyakit pasien seakurat dan seakurat mungkin. Dokter tidak hanya dibutuhkan saat sakit, tapi bila sehat adalah dokter yang benar-benar dibutuhkan untuk mencegah penyakit atau merawat dan meningkatkan kesehatan fisik dan psikologis pasien. Hubungan dokter-pasien adalah hubungan kepercayaan, jadi tanpa rasa saling percaya di antara keduanya, pengobatan mungkin tidak dilakukan dengan baik.Menurut Maslow dan Cherry informasi memberi peluang pada penerima untuk memilih tindakan di antara berbagai alternatif yang ada.
ADVERTISEMENT
Pada kenyataannya banyak Rumah Sakit di lndonesia yang 'enggan’ dengan persoalan yang ada kaitannya dengan peraturan/hukum karena peraturan/hukum dianggap menghambat jalannya roda lembaga rumah sakit apalagi rumah sakit adalah menyangkut persoalan pelayanan kesehatan. Sehingga untuk jangka mendatang perlu dipikirkan demi perbaikan dan menjadi tuntutan dari sebuah kebutuhan. Sekali lagi peran seorang komunikator kesehatan memegang peranan penting dalam suatu jalannya proses hukum di dalam rumah sakit atau fasilitas pelayanan kesehatan itu sendiri. (dr. Enrico A. Rinaldi,MARS.,MH.,CHRM)