Bersembunyi dalam Terang (Part 8)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
2 Juni 2021 17:45 WIB
·
waktu baca 6 menit
comment
0
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi bersembunyi, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi bersembunyi, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Tiga hari berlanjut begitu, setelah kepergian sely anak perempuan pak Budi, kabar di lingkungan termasuk di pangkasku begitu ramai, mungkin karna keluarga pak Budi adalah orang paling ternama disini, itu hal yang wajar. Tapi entah kenapa, orang-orang lebih suka berperasangka buruk, dari pada mengutamakan berperasangka baik.
ADVERTISEMENT
Bahkan beberapa orang yang mengeahui kedatangan pak Budi ke pangkasku, tidak jarang menanyakan kebenaran kabar yang beredar, dengan rendah hati aku selalu menjawab “kebetulan saja pak Budi berkunjung hanya memang untuk di pangkas, tidak lebih, mana tau aku hal-hal begituan” selalu itu jawaban paling aman, supaya tidak menimbulkan pertanyaan lain.
Malam ketiga setelah kepergian sely juga, ada perasaan yang menganjal dalam perasaanku, apalagi di malam sely pergi, kembali pada yang kuasa, aku melihat Guruku yang sepintas dan tersenyum, hal itu yang membuatku rindu, apalagi kejadian seperti ini baru pertama kali, Guru ada dalam akhir masalah yang bagiku tidak biasanya.
Pulang dari pangkas sekitar jam 2 dini hari, karena memang dari memulai kerja, tidak henti-hentinya orang berdatangan, apalagi di akhir pekan, waktunya orang-orang menyempatkan diri berdatangan dan keluar dari rumahnya.
ADVERTISEMENT
Sampai di rumah, membuka pintu, aku menyapa Imas yang sedang tertidur dan hanya mencium keningnya saja.
“A udah pulang, mau Imas buatkan kopi?” ucap Imas masih dalam kondisi mengantuk
“Ssstttt… udah tidur lagi aja mah, aa bisa sendiri, kasian mamah pasti lelah ngurusin dua jagoan aa yah” jawabku, sambil kembali mencium kening Imas, dan membenarkan selimut untuk Imas
Imas hanya tersenyum, dan itu adalah obat setiap lelahku yang paling sempurna, segera aku melihat kedua anakku yang sama sudah dalam kondisi tertidur pulas. Setelah selsai mandi dan melakukan solat sunnah malam, segera aku terbaring di kasur, samping Imas.
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Dengan mata yang memang butuh istirahat, perlahan aku pejamkan mata dan mengikuti kemauanya untuk terpejam.
ADVERTISEMENT
“Assalamualaikum,”
Suara serak yang sudah aku kenal bertahun-tahun ke belakang, dan aku yakin tidak akan salah lagi ketika mendengar suara ini, segera aku menuju pintu, membukakan pintu, benar saja, perlahan air mataku menetes, mencium tanganya dengan perasaan tenang.
“Walaikumsalam Guru,” jawabku sambil menundukan badan dan tatapan.
“Tidak akan lama, rasa bersalahmu buang jauh-jauh, kepergian sudah bukan milik kita yang hidup keabadian setelah ini, menolong sudah jadi kewajiban. Kita tidak bisa merubah masa lalu, dan kita tidak bisa tau masa depan, semua bukan kuasa kita, semua kuasa pencipta. Terus seperti itu rendahkan hatimu, tajamkan ilmumu dengan menolong dan memberi,” ucap Guru sambil mengelus kepalaku perlahan.
Air mata yang aku tahan semakin turun sebagaimana mestinya, air mata ketenangan mendengar ucapan dari suara yang serak penuh kasih dan sayang, aku hanya terdiam.
ADVERTISEMENT
“Baik guru,” jawabkku sangat pelan sekali.
Perlahan segera aku kembali menatap wajahnya, sosoknya sudah tidak ada lagi di depan pintu, segera aku perlahan kembali menutup pintu dan berjalan pelan ke arah kamar, melihat jasadku yang sedang tertidur, dan aku kembali dengan sebuah kalimat penenang yang luar biasa aku butuhkan.
Perjalanan mistiku berawal pada suatu hari di mana keadaan ibu sedang sakit, keadaan keluarga tidak lebih, hanya cukup. Sementara aku adalah anak lelaki satu-satunya dari empat bersaudara, memiliki satu kakak perempuan dan dua adik sama juga perempuan.
Ilustrasi, dok: pixabay
Kondisi sakit Ibu memang cukup parah waktu itu, dengan waktu yang sama lumayan lama juga, sebagai anak lelaki, aku sudah banyak belajar sejak kecil dari ilmu berdisiplin agama dan sosial dari pergaulan dan pertemanku yang banyak.
ADVERTISEMENT
Bahwa lelaki yang dilihat pertama adalah tanggung jawabnya kepada keluarga itu adalah keharusan. Orang-orang pintar berdatangan karna atas saran dari bapaku, setiap pengobatan pasti dan selalu harus memberi amplop dengan jumlah yang memang tidak banyak, tapi untuk ukuran keluarga yang cukup, itu bisa digunakan untuk keperluan lain.
Persayaratan dari mulai yang masuk akal dan tidak masuk akal sekalipun selalu dilakukan, hanya untuk kesembuhan ibu, sementara medis tidak bisa menjamin apapun untuk kondisi ibu apalagi biaya yang memang bukan sedikit adalah penghambat cara medis dilakukan.
Aku yang baru saja berkeluarga dengan Imas sangat tertampar pada tahun itu dengan keadaan ibu, malam itu juga aku mengajak Imas untuk menginap di rumah Ibu, waktu itu aku belum memliki anak.
ADVERTISEMENT
Ini sudah hari ke 9 ibu tidak bangun dalam tidurnya, entah sakit apa yang ibu derita sama sekali tidak jelas, ada perasaan ingin mengobati ibu dengan segala yang aku bisa, sama seperti mengobati, menolong beberapa orang yang sudah aku lalukan di luaran sana.
Sampai di rumah Ibu sudah ada 2 tokoh agama yang bisa dikatakan sangat ternama di sini yang sudah mencoba mengobati ibu, dan sudah ada juga semua keluarga berkumpul. Melihat kondisi seperti ini andai aku wanita, sudah menangis sedari datang melihat kondisi Ibu.
“Ndi sudah ikhlaskan saja ibu, kasian, katanya tidak akan lama lagi,” ucap bapak kepadaku yang sedang memandangi dekat dimana ibu sedang terbaring.
“Sudah lebih dari 7 hari Ibumu Ndi dalam keadaan seperti ini kasian,” sahut 1 orang bisa dikatakan ustad yang bisa mengobati hal-hal di luar medis.
ADVERTISEMENT
Aku masih saja tidak menjawab, perlahan air mataku turun, dalam hatiku dengan yakin “terlalu kecil kuasa Allah SWT baginya hidup dan mati atas kuasanya, bukan kuasa mahluk ciptaanya,” segera aku mundur perlahan dan mengambil air wudhu, hatiku tergerak untuk melakukan solat.
Ilustrasi, dok: pixabay
Sama sekali tidak ada benci atau emosi dengan ucapan bapak, juga satu orang ustad itu, karena yang aku mau Ibu sadar juga sembuh, selesai solat aku berdoa dan meminta, ikhlas jika memang yang terbaik sembuhkan ibu, dan aku janji akan ikhlas juga selanjutnya menolong orang-orang yang membutuhkan apa yang aku bisa atas izin yang kuasa. Benar-benar air mata menetes, sebagai rasa balasan kasih dan cinta ibu untukku dalam doa yang aku panjatkan, aku percaya yang bisa menembus ruang dan waktu juga segala keajaiban lainya.
ADVERTISEMENT
Segera aku kembali menghadap Ibu yang terbaring, dan keluarga serta dua orang itu juga sama masih ada, tangan kanan yang memegang gelas berisi air putih segera aku asongkan kepada Ibu, sambil berbisik di telinganya dengan pelan.
“Bismillah yah bu, Andi ingin Ibu sembuh, Andi sudah meminta kepadanya, dan atas izinnya ibu harus bangun dan sembuh yah bu, bismillah,” ucapku sambil meneteskan air mata.
Perlahan aku bukakan mulut ibu, kumasukan ujung gelas berisi air putih, napasnya merespon apa yang aku katakan, tengorokanya tidak menolak, perlahan bergerak dan sedikit demi sedikit air itu masuk dalam mulut ibu “ya allah aku ikhlas, jika atas kehedakmu aku ikhlas,” ucapku dalam hati sambil bergetar.
Tiba-tiba mata ibu perlahan terbuka, sangat pelan, tatapanya kosong, sangat kosong mentap ke atas arah atap rumah, beberapa detik kemudian menyanyu matanya, sambil menatapku dengan pelan.
ADVERTISEMENT
“Andi,” ucapnya pelan.
“Iya Ibu ini Andi bu,” jawabku sambil menangis, tangisan pertamaku sebagai lelaki.
Segera aku peluk Ibu sambil menangis penuh rasa haru, terbagun dari sakit yang tidak jelas dan tidur yang sama tidak jelasnya, semenjak kejadian itu aku berusaha terus menanamkan sedekah untuk kesembuhan Ibu dan Ikhlas juga berjanji tidak akan menerima bayaran apapun yang sipatnya membayar niatku menolong, karena aku tau betul rasanya harus mengeluarkan banyak uang untuk sebuah kesembuhan sangatlah tidak baik, apalagi dengan kondisi tidak punya.
Bersambung...