Darah Daging II (Part 13)

Dukun Millenial
INGAT!! Di dunia ini kita tidak pernah sendirian....
Konten dari Pengguna
10 September 2020 20:09 WIB
comment
4
sosmed-whatsapp-white
copy-link-circle
more-vertical
Tulisan dari Dukun Millenial tidak mewakili pandangan dari redaksi kumparan
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
zoom-in-whitePerbesar
Ilustrasi anak kecil menyeramkan, dok: pixabay
ADVERTISEMENT
Malam yang aku kira akan berakhir ternyata tidak. Entah pikiran apa yang ada di kepala aku saat ini, yang aku pikirkan banyak, tentang bagaimana aku akan berjumpa lagi dengan Ibu dan Bayu setelah hampir empat bulan lebih tidak berjumpa dan banyak hal lagi.
ADVERTISEMENT
Baru saja terlelap dalam tidurku hampir empat jam, perasaan ingin ke kamar mandi untuk buang air kecil mengganguku, segera aku bangun dan keluar kamar. Aku melihat mang Deni tidur di sofa, kamar nenek juga terbuka.
“Berbakti sekali mang Deni, hanya untuk memastikan Nenek tetap baik-baik saja, sampai tidur di sofa,” ucapku dalam hati, kemudian aku berjalan ke arah kamar bi Isoh sebelum ke kamar mandi, sama kamarnya terbuka dan melihat bibi tertidur lelap.
Selepas dari kamar mandi aku menuju kamar kembali, melihat jam di dinding baru saja jam 01:00 dini hari, “baru jam segini, nanggung sekali aku bangun,” ucapku, sambil merebahkan badan kembali, lampu kamar yang tidak terlalu terang, memang tidak biasa aku matikan kalau tidur.
ADVERTISEMENT
Aku kembali menatap atap kamar, tidak enak badan bekas kejadian sore itu masih saja membekas dan tidak benar-benar dalam kondisi baik sekarang badanku ini. Menarik nafas dalam-dalam dan mencoba memejamkan mata ternyata tidak mudah malam ini.
Entah kenapa juga tatapanku ingin sekali melihat ke arah pintu yang tidak aku tutup rapat, setengahnya terbuka. Kebetulan sekali ketika aku menatap ke arah pintu itu, ada bayangan yang melewat sangat pelan, pelan sekali, sontak aku terkejut!.
Hah apa itu?, "Bi?, bibi bangun?,” ucapku sambil duduk di kasur.
Tidak ada jawaban sama sekali, aku masih duduk, berat di bagian pundakku tiba-tiba seperti ada yang menduduki sangat berat sekali, pegal. Bahkan ini adalah pegal yang sebelumnya belum aku rasakan.
ADVERTISEMENT
[Cerita ini diadaptasi dari Twitter/qwertyping]
Aku raba pelan bagian pundaku bagian kiri dengan mengunakan tangan bagian kanan. “Kenapa ini tiba-tiba begini sih, sakit sekali lagi,” ucapku dalam hati, semakin aku pijit pelan semakin pegal di pundaku ini menjadi.
Masih bisa aku tahan dengan tenang, sambil memejamkan mata, merasakan sakit pada pundak yang benar-benar sulit aku jelaskan kepada siapapun, bahkan bertanya untuk memainkan logika penyebabnya apapun tidak bisa.
Mataku aku buka pelan-pelan, sangat pelan sekali, tepat ketika pandangan aku buka semuanya, ke arah dimana pintu kamar terbuka.
Deg!, Nenek tua yang sore aku lihat jelas, sedang melihat lurus ke arahku, dengan tatapan melotot yang sangat menakutkan, bahkan darah di bagian kepalanya adalah hal yang sangat-sangat membuat aku melongo ketakutan melihatnya.
ADVERTISEMENT
Rasa sakit yang semakin menjadi sudah tidak bisa aku tahan lagi, apalagi ditambah pandangan dari nenek tua yang membungkuk itu berganti dengan senyuman yang tidak kalah menakutkanya.
Ilustrasi wajah seram, dok: pixabay
“Aaaa sakit!,” teriaku sejadi-jadinya dan sangat kencang sekali.
Langsung badanku tejatuh ke depan, posisinyan seperti sujud, sambil gigiku mengigit seprai kasur “huh… huhh…” suara nafasku yang semakin tidak teratur, karena benar-benar menahan rasa sakit.
“Vin, kenapa Vin ini mamang,” tanya mang Deni aku yakin terbagun karena teriakan kencangku itu.
“Sakitt mang, ini sakitt mang,” ucapku sambil memeganggi pundak.
“Coba-coba jangan begitu posisinya tidurkan ke belakang,” ucap mang Deni kemudian menarik badanku untuk terlentang.
“Aaaaa… sakit… aaaa!,” teriaku sama kencangnya dengan teriakan pertama itu, padahal aku yakin mang Deni menariku sangat pelan. Badanku terbaring, mataku masih terpejam, sambil dipengangi oleh mang Deni yang tidak henti-hentinya membacakan surah-surah suci al-quran dengan pelan.
ADVERTISEMENT
Aku memaksakan untuk membuka mata, perlahan, aku melihat lagi ke arah pintu yang sekarang sudah terbuka lebar, sosok nenek tua itu masih ada berdiri dengan posisi yang sama tidak bergeser sama sekali, memasang muka masih tersenyum yang sangat menakutkan itu.
Tidak lama bi Isoh masuk ke kamarku membawa air putih, aku hanya melihat ke arah lain tidak ke arah pintu lagi.
“Minum dulu Vin, kamu kenapa amang kaget, masih sakit pundaknya?,” tanya mang Deni.
“Itu mang nenek tua itu ada di depan pintu, itu,” ucapku menunjuk ke arah pintu.
Mang Deni dan bi Isoh langsung melihat ke arah pintu yang aku tunjukan, bi Isoh menatapnya beberapa detik, sementara mang Deni langsung melihat ke araku lagi.
ADVERTISEMENT
“Amang tidak melihatnya, tapi amang percaya, amang juga yakin kejadian sore kemarin, penyebanya hal yang sama, kamu bisa tahan?,” ucap mang Deni berbisik ke telingaku.
“Bisa mang, tapi beneran ini sangat sakit mang,” jawabku sambil meneteskan air mata.
“Mana bacaan yang sebelum kamu tidur amang kasih untuk kamu baca?,” tanya mang Deni.
“Ini mang, di sebelah bantal aku,” ucapku sambil memberikan kertas bacaan itu.
Sakit yang aku rasakan tidak berkurang sama sekali, masih tetap sama. Walau bi Isoh tidak henti-hentinya memijitku, tidak lama nenek datang masuk ke kamarku.
“Kenapa lagi nak?,” tanya nenek sambil duduk di sampingku, sambil terlihat sangat khawatir.
“Sakit pundaku nek benar-benar sakit,” ucapku yang tidak bisa lagi berpura-pura baik-baik saja pada nenek.
ADVERTISEMENT
“Den ini gimana, masih bisa aman kondisi Kevin sampai pak Kiai besok datang? atau kamu skarang mau ke rumahnya?,” tanya Nenek dengan sangat cemas.
“Aman Nek, tidak apa-apa, kejadianya sama seperti sore, Kevin sangat peka kepada mahluk yang aku sangka adalah kiriman itu nek, tenang saja tidak akan kenapa-kenapa,” jawab mang Deni menenangkan.
Segera aku dituntun oleh mang Deni, membacakan dengan pelan bacaan al-quran yang tertulis di kertas itu, yang sebelumnya sudah aku baca sebelum tidur. Baru saja selesai membaca surah itu, sakit itu bukanya berkurang dalam pundaku, malah semakin menjadi.
“Tahan yah nak, berdoa kamunya nak,” ucap nenek sambil meneteskan air mata.
“Kang, muka Kevin kenapa jadi memar hijau seperti itu,” ucap bi Isoh.
ADVERTISEMENT
Baru saja aku mendengar ucapan bi Isoh, ingin sekali aku memukuli muka sendiri dengan keras karena di bagian muka sama sakitnya.
“Ahhhh sakit mang mukaku sakitt!” ucapku sambil memukuli muka sendiri.
“Vin, tahan jangan begitu tahan yang kuat Vin,” sahut mang Deni sambil memegang tanganku keras dua-duanya.
Benar-benar sakit sekali, sakit di bagian muka sama pegalnya dengan sakit di punggung aku.
Bersambung...